MIRIFICA.NET – Muncul keprihatinan saat ini di kalangan dunia media. Para jurnalis cenderung meninggalkan hakikat jurnalisme. Mereka mulai enggan turun ke lapangan.
Cara kerja wartawan, juga media akhir-akhir ini ditengarai jauh dari hakikat jurnalisme. Kecenderungan ini akhirnya memunculkan fenomena-fenomena negatif dalam dunia jurnalistik yang dikenal dengan jurnalisme opini, yaitu jurnalisme yang hanya memuat opini hasil dari wawancara jurnalis dengan narasumber, tetapi tidak disertai kekuatan data maupun informasi hasil investigasi di lapangan.
Hal ini mengemuka dalam webinar yang diselenggarakan oleh Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia, pada Kamis (22/4/2021). Webinar yang mengusung tema “Pesan Paus Pada Hari Komsos Tahun 2021 Bagi Para Pekerja Media” ini diselenggarakan untuk menyambut Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-55 yang jatuh pada 16 Mei. Demi menyambut Hari Komsos ini, Paus secara khusus menyampaikan pesannya bertajuk “Datang dan Lihatlah – Berkomunikasi dengan Menjumpai Orang Lain Apa Adanya”. Webinar yang menghadirkan narasumber utama seorang wartawan senior Errol Jonathans, dihadiri para wartawan media Katolik khususnya para pekerja komsos dari berbagai keuskupan di seluruh Indonesia.
Errol yang juga Direktur Utama Suara Surabaya Media mengatakan, apa yang disampaikan Paus Fransiskus sangat relevan untuk saat ini. Ini menjadi sindiran atau refleksi bagi para pekerja media. “Apakah para awak media masih memegang teguh semangat untuk turun ke lapangan atau istilahnya menghabiskan sol sepatu?,”ujar wartawan yang memulai kariernya sejak tahun 1977 ini.
Errol menegaskan, turun ke lapangan merupakan hakikat dan cara kerja seorang jurnalis. Hakikat jurnalisme yang pertama dan terutama, menurut Errol untuk kepentingan masyarakat (based on public). Yang kedua, seperti yang diungkapkan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elemen of Journalism (2001) yakni kewajiban menyampaikan kebenaran dan cara kerja yang selalu memverifikasi data. “Verifikasi hanya bisa diperoleh dengan turun langsung, melakukan cek dan ricek dengan fakta di lapangan,”ujar Errol.
Mengutip pesan Paus, Errol menegaskan, wartawan wajib bergerak, pergi melihat sendiri, tinggal bersama orang-orang, mendengarkan kisah mereka, dan mengumpulkan pelbagai pendapat atas realitas yang akan selalu mengejutkan dalam beberapa aspek. Namun kecenderungan saat ini para jurnalis enggan turun ke lapangan.
Wartawan senior Alexander Madji yang juga menjadi pembicara dalam webinar ini meneguhkan apa yang disampaikan Errol bahwa perkembangan teknologi dan media sosial saat ini sangat memudahkan para wartawan memperoleh berita. Tanpa turun ke lapangan pun, jurnalis sudah bisa mendapat berita secara cepat dan faktual. Berita seakan malah mendatangi wartawan. Media sering mendapat berita sudah jadi, baik dari institusi maupun dari tokoh tertentu, kata Alex yang pernah menjadi Wartawan Suara Pembaharuan selam puluhan tahun.
Menurut pengalaman Alex, demikian pria ini biasa disapa, banyak wartawan yang lebih gemar menerima press rilis. Mereka tinggal mengganti nomor kode wartawan dan mengirimnya ke ruang redaksi atau redaktur. Meski sudah di tangan redaktur, berita rilis ini pun, kata Alex terkadang tidak diolah dengan baik. Kadang malah tidak disunting dan langsung ditayangkan. Maka sering terjadi kesalahan dari rilis muncul di media.
Fenomena Negatif Jurnalistik
Fenomena-fenomena negatif lain dalam dunia jurnalistik yang menyimpang dari hakikat jurnalisme merupakan hal yang mesti menjadi perhatian para wartawan, kata Errol. Berbagai macam fenomena itu bisa disebutkan antara lain munculnya media partisan atau media pesanan. Sebuah media yang dibuat hanya untuk menyokong kepentingan-kepentingan tertentu. Karena berdasarkan pesanan atau menyokong kepentingan tertentu, akibatnya produk jurnalistiknya menjadi tidak independen.
Muncul pula framing atau pembingkaian berita. Jurnalis secara sengaja melakukan pembingkaian untuk mengarahkan isi atau opini sesuai dengan situasi atau opini yang ingin dibangun. Judul ‘clickbait’ yang biasa muncul di media online juga merupakan gejala yang disoroti Errol. Ini merupakan kecenderungan saat judul sengaja dibuat menarik agar orang melakukan klik atau membuka tautan satu berita. Dalam hal ini, kata Errol, judul dan isi kadang tidak relevan.
Marak juga plagiarisme. Dalam ini, Errol mengamatai bahwa banyak produk berita yang dicomot dari satu media ke media lain. Wartawan, kata Errol mencomot berita dari media lain tanpa menyebutkan narasumber atau sumbernya. Yang memprihatinkan, muncul juga para wartawan pemulung berita. Wartawan seolah-olah membuat berita baru, tetapi sumbernya diambil dari berbagai media. Dan yang terakhir yang menjadi sorotan Errol adalah munculnya pola kerja News Pool. “Wartawan bersepakat dengan teman-temannya bertemu di satu titik, dan saling membagi tugas di beberapa tempat peliputan. Kemudian setelah selesai, mereka saling berbagi berita,”ujar Errol.
Maka, kata Errol, tidak heran Paus Fransiskus menyoroti peran media dan mengajak media untuk kembali hakikat jurnalisme. Karena kalau tidak, berbagai persoalan yang muncul akibat penyelewengan ini sudah kita rasakan, yakni maraknya hoaks atau fabrikasi berita. “Saat ini ada persoalan besar dalam pemberitaan yaitu adanya suara-suara yang sejak lama prihatin atas risiko digantikannya liputan investigatif yang orisinal dalam surat kabar, siaran televisi, radio dan website menjadi liputan berisi narasi tendensius,”ujar Errol mengutip pesan Paus.
Kembali turun ke lapangan, harus menjadi cara kerja atau standar operasi utama dalam mencari dan menyiarkan berita. Wartawan harus didorong terus untuk melakukan hal ini. “Menerima berita atau press rilis masih bisa diterima. Asal itu dianggap sebagai informasi awal. Wartawan harus tetap melakukan cek dan ricek atas informasi yang didapat,”ujar Alex.
Terhadap para pekerja profesional yang masih mempunyai integritas dan memegang teguh sikap profesionalnya, Errol Jonathans sangat mengapresiasi pernyataan Paus terhadap para profesional. Pernyataan tersebut berbunyi ”Kita harus berterima kasih atas keberanian dan komitmen dari begitu banyak pekerja profesional: para wartawan, para pekerja film, editor, dan sutradara yang kerap bekerja dengan penuh risiko”. Bernadeta Wiwik Hesti
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.