Akademi Kepausan untuk Kehidupan
PANDEMI DAN PERSAUDARAAN UNIVERSAL
Catatan tentang Kedaruratan Covid-19
30 Maret 2020
Seluruh umat manusia sedang diuji. Pandemi Covid-19 menempatkan kita dalam sebuah situasi kesusahan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dramatis dan global yang daya kekuatannya untuk mengacaukan segala rencana yang kita miliki bagi hidup kita semakin meningkat dari hari ke hari. Merebaknya ancaman ini menggugat aspek-aspek cara hidup kita yang telah kita terima begitu saja adanya. Kita sedang menjalani suatu paradoks yang menyakitkan yang tidak akan pernah kita bayangkan: untuk bertahan hidup dari penyakit, kita harus mengisolasi diri kita dari satu sama lain, tetapi jika kita pernah belajar hidup terisolasi satu sama lain, kita akan segera menyadari betapa pentingnya bagi hidup kita yakni hidup bersama orang lain.
Di tengah-tengah euforia teknologi dan manajerial kita, kita telah mendapati diri kita tidak siap secara sosial dan teknis terhadap penyebaran penularan ini: sulit bagi kita untuk mengenali dan mengakui dampaknya. Dan sekarang, kita tengah tergesa-gesa untuk membatasi penyebarannya. Tetapi, jika kita memikirkan ketidakstabilan eksistensial yang disebabkannya, kita melihat ketidaksiapan serupa —belum lagi perlawanan tertentu— terkait dengan pengakuan kerapuhan fisik, budaya, dan politik kita dalam menghadapi fenomena ini. Destabilisasi ini berada di luar jangkauan sains dan teknologi peralatan terapeutik. Tidak adil —dan suatu kekeliruan— untuk melekatkan tanggung jawab atas situasi ini kepada para ilmuwan dan teknisi. Pada saat yang sama, memang benar bahwa kedalaman visi yang lebih besar dan input yang berasal dari refleksi yang lebih bertanggung jawab tentang makna dan nilai-nilai humanisme memiliki urgensi yang sama dengan penelitian tentang obat-obatan dan vaksin. Dan bukan hanya itu. Menyadari kedalaman dan tanggung jawab ini menciptakan konteks keterikatan dan persatuan, persekutuan dan persaudaraan, karena kemanusiaan kita bersama, yang jauh dari menghambat sumbangan laki-laki dan perempuan dalam sains dan pemerintahan, justru sangat mendukung mereka dan menegaskan kembali peran-peran mereka. Dedikasi mereka — yang pada mereka sudah berhutang rasa terima kasih yang selayaknya dan setulusnya dari semua orang — melalui masa ini pasti akan diperkuat dan dihargai.
Dalam konteks ini, Akademi Kepausan untuk Kehidupan, yang melalui mandat institusionalnya mengembangkan dan mendukung perpaduan antara sains dan etika dalam pencarian akan humanisme terbaik yang dimungkinkan, ingin memberikan sumbangan dalam refleksinya sendiri. Maksudnya adalah untuk menempatkan unsur-unsur tertentu dari situasi ini dalam semangat baru yang harus memupuk hubungan sosial dan kepedulian bagi pribadi. Situasi luar biasa yang dewasa ini menantang persaudaraan humana communitas (komunitas manusiawi) pada akhirnya harus mengubah dirinya sendiri menjadi suatu kesempatan bagi semangat humanisme ini agar dapat mempengaruhi kultur kelembagaan secara teratur: di dalam bangsa-bangsa sendiri, dan dalam ikatan harmonis di antara bangsa-bangsa.
Solidaritas dalam kerapuhan dan dalam keterbatasan.
Pertama, pandemi menegaskan dengan ketajaman tak terduga, kerawanan yang secara radikal menjadi ciri kondisi manusiawi kita. Di beberapa wilayah di dunia, kerawanan ini dalam kehidupan individu dan komunitas merupakan pengalaman sehari-hari karena kemiskinan yang tidak memungkinkan setiap orang mendapat akses ke perawatan, pun jika itu tersedia, atau makanan dalam jumlah yang cukup, bahkan jika tidak kurang di seluruh dunia. Di bagian lain dunia, jumlah area ketidakpastian telah semakin berkurang melalui kemajuan-kemajuan dalam sains dan teknologi, sampai titik di mana kita menipu diri kita sendiri dengan berpikir bahwa kita kebal atau bahwa kita dapat menemukan solusi teknis untuk semuanya. Namun, betapapun banyaknya upaya yang kita lakukan, tidaklah mungkin untuk mengendalikan pandemi yang sedang berlangsung, bahkan dalam masyarakat yang paling maju secara ekonomi dan teknologi sekalipun, di mana pandemi telah melampaui kemampuan laboratorium dan fasilitas pelayanan kesehatan. Proyeksi optimis kita tentang kemampuan ilmiah dan teknologi kita barangkali telah membiarkan kita membayangkan bahwa kita akan dapat mencegah penyebaran epidemi global sebesar ini, sedemikian rupa sehingga kemungkinannya tampak semakin jauh. Kita harus mengakui bahwa bukan ini masalahnya. Dan saat ini kita bahkan didorong untuk berpikir bahwa, bersama dengan sumber-sumber daya perlindungan dan perawatan luar biasa yang dihasilkan oleh kemajuan kita, ada juga efek samping yang menunjukkan kelemahan sistem kita dan kita belum cukup waspada dalam hal ini.
Bagaimanapun juga, sangat jelas bahwa kita bukan tuan atas nasib kita sendiri. Dan sains juga menunjukkan keterbatasannya. Kita sudah mengetahui hal ini: kesimpulan-kesimpulan sains selalu tidak lengkap, apakah karena itu terfokus —demi kenyamanan atau karena alasan-alasan penting— pada aspek-aspek realitas tertentu dan mengabaikan yang lain, atau karena sifat teori-teori ilmiah, yang bersifat sementara dalam hal apapun dan dapat direvisi. Tetapi dalam ketidakpastian yang telah kita alami dalam mengatasi virus Covid-19 ini, kita telah menyadari dengan kejelasan baru kebertahapan dan kompleksitas yang merupakan bagian dari pengetahuan ilmiah, yang memiliki persyaratan khusus terkait metodologi dan validasi. Kerawanan dan batas-batas pemahaman kita juga tampak global, nyata, dan sama; tidak ada argumen nyata yang memungkinkan beberapa kebudayaan atau entitas bisa menganggap diri mereka sendiri berdaulat, lebih baik daripada yang lain dan mampu mengisolasi diri mereka manakala sesuai (dengan tujuan). Sekarang, kita cukup dekat untuk “menyentuh” saling keterhubungan kita. Memang, kita lebih saling terhubung lewat keterpaparan kita terhadap kerapuhan daripada lewat efisiensi alat-alat kita. Penularan menyebar dengan sangat cepat dari satu negara ke negara lain; apa yang terjadi pada satu orang menjadi penentu bagi setiap orang. Situasi ini membuat semakin jelas apa yang kita ketahui, tetapi tidak cukup diinternalisasi: baik atau buruk, konsekuensi dari tindakan kita selalu menimpa orang lain maupun diri kita sendiri. Tidak ada tindakan perseorangan tanpa konsekuensi sosial. Hal ini berlaku bagi setiap individu, dan bagi setiap komunitas, masyarakat dan pusat kependudukan. Perilaku ceroboh atau bodoh, yang tampaknya hanya mempengaruhi diri kita sendiri, menjadi ancaman bagi semua orang yang terpapar pada risiko penularan, barangkali bahkan tanpa mempengaruhi si pelaku sendiri. Dengan cara ini kita belajar bagaimana keselamatan setiap orang tergantung pada keselamatan orang lain.
Merebaknya epidemi tentu merupakan hal konstan dalam sejarah manusia. Tetapi kita tidak bisa menyembunyikan karakteristik ancaman sekarang ini, yang menunjukkan bahwa itu dapat menyesuaikan daya rebaknya dalam cara hidup kita saat ini dengan sangat baik dan dapat menghindari tindakan perlindungan. Dengan jaringan transportasi dan pengiriman kita yang efisien dan luas, kita harus sadar akan dampak dari model-model pembangunan kita, yang mengeksploitasi kawasan hutan yang hingga kini belum terjamah di mana ditemukan mikroorganisme yang tidak dikenal oleh sistem imun manusia. Kita mungkin akan memperoleh solusi atas apa yang sedang menyerang kita saat ini. Namun, kita harus melakukannya, dengan ilmu pengetahuan bahwa jenis ancaman ini sedang mengumpulkan potensi sistemik jangka panjang.
Kedua, akan lebih baik untuk mengatasi masalah dengan sumber-sumber daya ilmiah dan organisasi terbaik yang kita miliki, dengan menghindari tekanan ideologis terhadap model masyarakat yang mempersamakan keselamatan dengan kesehatan. Alih-alih dianggap sebagai kekalahan bagi sains dan teknologi —yang tentunya harus selalu menyemangati kita karena kemajuannya, tetapi sekaligus juga harus membuat kita dengan rendah hati hidup dengan keterbatasannya—, penyakit dan kematian adalah luka yang dalam bagi afeksi kita yang terkasih dan terdalam. Namun, itu tidak bisa memaksa kita untuk meninggalkan kebenaran afeksi tersebut dan terputusnya ikatan-ikatan afektif. Bahkan juga ketika kita harus menerima ketidakmampuan kita untuk menggenapkan kasih dalam afeksi dan ikatan yang terkandung di dalamnya. Meskipun hidup kita selalu fana, kita memiliki pengharapan yang tidak demikian halnya dengan misteri kasih tempat hidup bersemayam.
Dari saling keterhubungan de facto ke pilihan solidaritas
Kita tidak pernah dipanggil untuk menyadari ketimbal- balikan yang menjadi dasar hidup kita sebanyak yang kita miliki selama kedaruratan yang mengerikan ini. Dengan menyadari bahwa setiap kehidupan adalah kehidupan dalam kebesamaan, kita bersama-sama membentuk kehidupan, dan hidup berasal dari “yang lain.” Sumber-sumber daya dari sebuah komunitas yang menolak memandang hidup manusia hanya sebagai fakta biologis adalah aset berharga yang juga secara bertanggung jawab menyertai semua kegiatan lain yang perlu untuk diperhatikan. Mungkin kita dengan sembrono telah menyia-nyiakan warisan ini, yang nilainya menjadi berbeda di saat-saat seperti ini, dan telah secara serius meremehkan kebaikan relasional yang dapat dibagikan dan disebarluaskan ketika ikatan emosional dan semangat komunitas sungguh diuji, tepatnya oleh kebutuhan kita akan perlunya melindungi kehidupan biologis.
Dua cara berpikir yang agak kasar yang, meskipun demikian, tampaknya telah menjadi hal biasa dan menjadi titik acuan ketika kita berbicara tentang kebebasan dan hak-hak yang cenderung diangkat dalam diskusi-diskusi sekarang ini. Yang pertama adalah, “Kebebasanku berakhir ketika kebebasan orang lain dimulai.” Rumusan ini, yang sudah sangat ambigu, tidak tepat untuk memahami pengalaman yang nyata, dan bukan karena kebetulan, rumusan itu ditegaskan oleh mereka yang sungguh-sungguh berada dalam posisi yang kuat: kebebasan kita selalu terjalin dan tumpang tindih, baik atau buruk. Sebaliknya, kita harus belajar untuk memberikan kebebasan kita secara kolaboratif demi kebaikan bersama, untuk mengatasi kecenderungan, yang dapat ditimbulkan oleh epidemi, untuk melihat dalam diri orang lain ancaman “menular” yang membuat kita menjauhkan diri kita, musuh yang membuat kita melindungi diri kita sendiri. Yang kedua adalah, “Hidupku sepenuhnya bergantung padaku sendiri.” – Tidak, tidak demikian. Kita adalah bagian dari umat manusia dan umat manusia adalah bagian dari kita. Kita harus menerima ketergantungan ini dan menghargai tanggung jawab yang menjadikan kita peserta dan pelaku utama di dalamnya. Tidak ada hak yang tidak memiliki kewajiban yang serentak menyertainya: koeksistensi dari mereka yang bebas dan setara adalah persoalan etis yang sangat indah, bukan masalah teknis.
Karena itu, kita dipanggil untuk mengakui, dengan emosi baru dan mendalam, bahwa kita dipercayakan satu sama lain. Tidak pernah sebanyak sekarang hubungan kepedulian menunjukkan dirinya sebagai paradigma mendasar bagi koeksistensi manusia. Perubahan dari saling ketergantungan de facto ke pilihan solidaritas bukanlah perubahan otomatis. Namun kita sudah memiliki berbagai tanda pergeseran ke arah tindakan yang bertanggung jawab dan perilaku bersaudara. Kita melihat ini dengan sangat jelas dalam komitmen tenaga pelayanan kesehatan yang dengan murah hati mencurahkan seluruh energy mereka, kadang-kadang bahkan berisiko pada hidup atau kesehatan mereka sendiri, demi meringankan penderitaan orang sakit. Profesionalisme mereka jauh melampaui batas-batas kewajiban kontrak, dengan demikian memberi kesaksian bahwa pekerjaan terutama merupakan ranah ungkapan, ranah makna dan nilai-nilai, bukan sekadar “transaksi” atau “barang dagangan” semata untuk ditukar dengan suatu harga. Tetapi hal yang sama terjadi pada para peneliti dan para ilmuwan yang menempatkan keterampilan mereka untuk melayani orang lain. Komitmen untuk berbagi daya kekuatan dan informasi telah memungkinkan terciptanya kerjasama yang cepat antara jaringan pusat penelitian tentang protokol eksperimental untuk menetapkan keamanan dan kemanjuran obat-obatan.
Demikian juga, kita tidak boleh melupakan semua perempuan dan laki-laki lain yang setiap hari memilih secara positif dan berani untuk menjaga dan memupuk persaudaraan. Mereka adalah para ibu dan para bapak keluarga, para orang lanjut usia dan orang-orang muda; mereka adalah orang-orang yang, bahkan dalam situasi yang sulit secara obyektif, terus melakukan pekerjaan mereka dengan jujur dan hati-hati; mereka adalah ribuan relawan yang tiada henti melayani; mereka adalah para pemimpin komunitas keagamaan yang terus melayani orang-orang yang dipercayakan pada perhatian mereka, bahkan dengan mempertaruhkan nyawa mereka sendiri, seperti yang telah diungkapkan oleh kisah-kisah tentang begitu banyak imam yang telah meninggal karena Covid-19.
Secara politis, situasi saat ini mendesak kita untuk mengambil pandangan luas. Dalam hubungan-hubungan internasional (dan dalam hubungan-hubungan di antara Anggota-anggota Uni Eropa) merupakan logika yang kurang bijaksana dan menyesatkan dengan berupaya memberikan jawaban dalam hal “kepentingan nasional.” Tanpa kerja sama dan koordinasi yang efektif, yang secara tegas mengatasi perlawanan politik, perdagangan, ideologis dan relasional yang tak terelakkan, virus tidak akan berhenti. Tentu saja, ini adalah keputusan yang sangat serius dan memberatkan: kita membutuhkan sebuah visi dan pilihan-pilihan terbuka yang tidak selalu memuaskan keinginan langsung tiap-tiap penduduk. Tetapi mengingat dinamika global saat ini yang nyata, respons kita agar efektif, tidak bisa dibatasi hanya pada apa yang terjadi di dalam batas-batas wilayah masing-masing sendiri.
Sains, dunia pengobatan dan politik: hubungan sosial diuji
Keputusan-keputusan politik tentu harus mempertimbangkan data ilmiah, tetapi keputusan itu tidak bisa terbatas hanya pada faktor-faktor tersebut. Membiarkan fenomena manusiawi ditafsirkan semata-mata berdasarkan kategori-kategori ilmu-ilmu empiris akan menghasilkan jawaban-jawaban hanya di tingkat teknis. Hal itu akan berakhir dengan logika yang menganggap proses-proses biologis sebagai penentu pilihan-pilihan politik, seturut jalan berbahaya yang telah diajarkan bio-politik kepada kita. Itu juga tidak menghormati aneka perbedaan di antara pelbagai budaya agar memahaminya secara teknis-ilmiah tunggal: konotasi berbeda yang dikaitkan dengan kesehatan, penyakit, kematian dan sistem pelayanan kesehatan dapat menjadi kekayaan bagi semua orang.
Sebaliknya, kita membutuhkan perpaduan antara sains dan humanisme, yang harus diintegrasikan dan tidak dipisahkan, atau lebih buruk, saling dipertentangkan. Keadaan darurat seperti dalam Covid-19 diatasi terutama dengan antibodi solidaritas. Sarana-sarana pengamanan teknis dan klinis harus diintegrasikan ke dalam pencarian yang luas dan mendalam demi kebaikan bersama, yang harus menolak kecenderungan untuk mengarahkan manfaat kepada orang-orang yang memiliki hak istimewa dan pengabaian terhadap orang-orang yang rentan menurut kewarganegaraan, penghasilan, politik atau usia.
Hal ini berlaku juga bagi semua pilihan yang dibuat sesuai dengan “kebijakan perawatan,” termasuk mereka yang lebih dekat terhubung dengan praktik klinis. Kondisi darurat (terjadi) di mana banyak negara mendapati diri mereka bisa memaksa para dokter untuk mengambil keputusan-keputusan dramatis dan menyakitkan, sehubungan dengan penjatahan sumber daya terbatas yang tidak tersedia bagi semua orang pada saat yang sama. Dalam kasus-kasus semacam itu, setelah dilakukan di tingkat organisasi segala sesuatu yang mungkin untuk menghindari penjatahan, harus selalu diingat bahwa keputusan-keputusan tidak bisa didasarkan pada perbedaan dalam nilai hidup manusia dan martabat setiap orang, yang selalu setara dan tak ternilai. Keputusan tersebut lebih terkait pada pemakaian terapi-terapi dengan cara sebaik mungkin berdasarkan kebutuhan pasien, yaitu keparahan penyakitnya dan perlunya perawatan, dan evaluasi manfaat klinis yang dapat diberikan oleh perawatan, berdasarkan prognosisnya. Usia tidak dapat diperhitungkan sebagai satu-satunya kriteria otomatis yang mengatur pilihan. Melakukan hal itu dapat menimbulkan sikap diskriminatif terhadap orang lanjut usia dan orang yang sangat lemah. Bagaimanapun juga, perlulah merumuskan kriteria, yang disetujui sebanyak mungkin (orang) dan berdasarkan argumen yang kuat, untuk menghindari kesewenang-wenangan atau improvisasi dalam situasi-situasi kedaruratan, sebagaimana yang telah diajarkan oleh pengobatan kebencanaan kepada kita. Tentu saja, ini harus diulang: penjatahan harus menjadi pilihan terakhir. Mencari upaya terapi yang setara sejauh mungkin, berbagi sumber daya, dan pemindahan para pasien, adalah alternatif-alternatif yang harus dipertimbangkan dengan hati-hati, dalam kerangka keadilan. Dalam kondisi buruk, kreativitas juga telah memberi jalan keluar untuk kebutuhan-kebutuhan khusus, seperti penggunaan ventilator yang sama bagi banyak pasien. Bagaimanapun juga, kita tidak boleh meninggalkan orang sakit, bahkan ketika tidak ada lagi terapi yang tersedia: perawatan paliatif, manajemen rasa sakit dan pendampingan pribadi tidak pernah boleh dihilangkan.
Bahkan dari segi kesehatan masyarakat, pengalaman yang sedang kita alami menunjukkan pada kita ujian yang serius, bahkan jika itu hanya dapat dilakukan di masa depan, dalam masa-masa yang kurang sulit. Yang dimaksudkan adalah keseimbangan antara pendekatan preventif dan pendekatan terapeutik, antara terapi individu dan dimensi kolektif (mengingat korelasi erat antara kesehatan dan hak-hak pribadi, dan kesehatan masyarakat). Inilah permasalahan yang didasarkan pada kepedulian lebih dalam tentang tujuan yang dapat ditetapkan oleh pengobatan bagi dirinya sendiri, dengan mempertimbangkan keseluruhan peran kesehatan dalam kehidupan sosial dengan segala dimensinya, seperti pendidikan dan kepedulian terhadap lingkungan. Seseorang dapat melihat keberhasilan perspektif bioetika global, yang memperhitungkan banyaknya kepentingan yang dipertaruhkan dan ruang lingkup masalah global yang lebih besar daripada pandangan individualistis dan reduktif tentang isu-isu hidup manusia, kesehatan dan perawatan.
Risiko epidemi global menuntut, dalam konteks tanggung jawab, dimulainya koordinasi global dalam sistem pelayanan kesehatan. Sadarilah bahwa kekuatan proses ditentukan oleh jalinan hubungan terlemah, perihal kecepatan diagnosis, kecepatan reaksi dan tindakan pengamanan proporsional, struktur yang memadai, sistem penyimpanan rekam data dan kemampuan untuk berbagi informasi dan data. Penting bahwa pihak berwenang yang dapat menangani kedaruratan secara komprehensif, membuat keputusan-keputusan, dan mengatur komunikasi, juga dapat diandalkan sebagai titik acuan untuk menghindari badai komunikasi yang telah merebak (“infodemik”), dengan data yang tidak tepat dan laporan-laporan yang tidak lengkap.
Kewajiban untuk melindungi yang lemah: Iman Injili diuji
Dalam skenario ini, perhatian khusus harus diberikan kepada mereka yang paling rapuh, dan kami berpikir terutama untuk orang-orang lanjut usia dan orang-orang dengan kebutuhan khusus. Semua hal lain dianggap sama, angka kematian epidemi bervariasi dalam kaitannya dengan situasi negara-negara yang terdampak —dan di dalam setiap negara— sehubungan dengan sumber daya yang tersedia, kualitas dan organisasi sistem pelayanan kesehatan, kondisi hidup penduduk, kemampuan untuk mengetahui dan memahami karakteristik dari fenomena dan untuk menafsirkan informasi. Akan ada lebih banyak kematian ketika dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sudah tidak terjamin dalam layanan kesehatan dasar yang sederhana.
Pertimbangan terakhir ini, juga, terhadap hal-hal negatif yang lebih besar yang dihadapi oleh mereka yang paling rapuh, mendesak kita untuk memberi perhatian besar pada bagaimana kita berbicara tentang tindakan Allah dalam krisis historis ini. Kita tidak bisa menafsirkan penderitaan yang tengah dialami umat manusia menurut skema kasar yang menetapkan korelasi antara “lèse-majesté” (pemberontakan) terhadap yang ilahi dan “pembalasan suci” yang dilakukan oleh Allah. Fakta bahwa dalam skenario semacam itu mereka yang paling lemah akan menderita, tepatnya mereka yang paling Dia pedulikan dan dengan siapa Dia menyerupakan diri-Nya (Mat 25: 40-45) mencegah bertentangan dengan kemungkinan ini. Mendengarkan Kitab Suci dan pemenuhan janji yang digenapi Yesus menunjukkan bahwa berada di sisi kehidupan, sebagaimana diperintahkan Allah kepada kita, diwujudnyatakan melalui gerakan kemanusiaan bagi “yang lain.” Gerakan yang, sebagaimana telah kita lihat, tidak kurang di hari-hari ini.
Setiap bentuk kepedulian, setiap ungkapan kemurahan hati merupakan suatu kemenangan Yesus yang Bangkit. Memberi kesaksian tentang hal ini adalah tanggung jawab umat Kristiani. Selalu dan untuk semua orang. Pada titik waktu ini, misalnya, kita tidak bisa melupakan bencana-bencana lain yang menimpa mereka yang paling rapuh, seperti para pengungsi dan para imigran, atau bangsa-bangsa yang terus dilanda konflik, perang, dan kelaparan.
Doa umat
Ketika kedekatan injili menjumpai keterbatasan fisik atau pertentangan yang bermusuhan, permohonan umat —yang berlandaskan pada Salib— mempertahankan kekuatannya yang tak terhentikan dan menentukan, bahkan jika orang-orang tampaknya tidak hidup sesuai dengan berkat Allah (Yes 32: 9-13). Seruan permohonan dari umat beriman ini menjadi tempat di mana kita dapat berdamai dengan misteri kematian yang tragis, ketakutan yang merupakan bagian dari semua kisah kita hari ini. Di kaki salib Kristus, dimungkinkan untuk berpikir tentang keberadaan manusia sebagai peziarahan yang hebat: cangkang keberadaan kita seperti sebuah kepompong yang menunggu pembebasan menjadi kupu-kupu. Seluruh ciptaan, kata Santo Paulus, sedang menghayati “rasa sakit saat melahirkan.”
Dalam terang inilah kita harus memahami makna doa. Sebagai permohonan bagi setiap orang dan semua orang yang sedang menderita —dan Yesus telah membawa mereka juga ke dalam solidaritas bersama kita— dan sebagai momen untuk belajar dari-Nya cara menghayati penderitaan sebagai ungkapan kepercayaan kepada Bapa. Inilah dialog dengan Allah yang menjadi sumber yang memampukan kita untuk mempercayai manusia juga. Dari sini kita memperoleh kekuatan batiniah untuk melaksanakan semua tanggung jawab kita dan membuat diri kita terbuka kepada pertobatan, menurut kenyataan yang membuat kita memahami tentang bagaimana hidup berdampingan yang lebih manusiawi bisa dimungkinkan di dunia kita. Kita ingat kata-kata Uskup dari Bergamo, salah satu di antara kota-kota yang paling terdampak di Italia, Uskup Francesco Beschi: “Doa-doa kita bukanlah rumus ajaib. Iman akan Allah tidak secara ajaib menyelesaikan masalah-masalah kita, tetapi memberi kita kekuatan batin untuk melaksanakan komitmen itu bahwa semua saja, dengan cara yang berbeda, dipanggil untuk hidup, terutama mereka yang dipanggil untuk mengendalikan dan mengatasi kejahatan ini. “
Bahkan seseorang yang tidak beriman seperti ini setidak-tidaknya dapat memperoleh pencerahan dari kesaksian persaudaraan universal yang menunjukkan bagian terbaik kondisi manusia. Umat manusia, yang demi kehidupan sebagai kebaikan bersama yang tak tergoyahkan, tidak meninggalkan bidang di mana manusia mencintai dan bekerja keras bersama, mendapatkan rasa terima kasih dari semua orang dan rasa hormat akan Allah.
Download Dokumen Akademi Kepausan untuk Kehidupan versi PDF melalui link di bawah ini:
Pandemi dan Persaudaraan Universal
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.