Beranda OPINI Orangtua belum nikah Gereja, anak tidak boleh dibaptis?

Orangtua belum nikah Gereja, anak tidak boleh dibaptis?

April 2021, Keluarga Katolik, Baptis, Gereja Katolik Indonesia, In Jesus We Trust, Katekese, Katolik, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Lawan Covid-19, Opini, Katekese, Sabda Tuhan, Umat Katolik, Yesus Kristus
Ilustrasi

Orangtua belum nikah Gereja, anak tidak boleh dibaptis?

Demikian pertanyaan seorang awam melalui pesan singkat Whatsapp. Yang empunya pertanyaan mengaku  kecewa  dengan kebijakan pastor paroki di wilayah  tertentu  yang menunda pembaptisan bayi/anak dari orangtua yang belum menikah Gereja padahal kedua orangtua dari bayi/anak tersebut telah datang meminta pembaptisan dan menjamin pendidikan imannya.  Apakah kebijakan pastor paroki seperti ini  dapat dipertanggungjawabkan secara hukum kanonik?

Pertanyaan yang diajukan ini  perlu ditanggapi secara hati-hati  mengingat keterbatasan informasi yang diberikan. Jika  apa yang disampaikan tersebut sungguh-sungguh terjadi, maka  jawaban  atasnya merupakan sebuah keharusan, kendati mungkin tidak memuaskan. Ada  beberapa pertimbangan mendasar, yakni  pertama, setiap umat beriman  memiliki hak  untuk menyampaikan kepada para Gembala Gereja keperluan-keperluan mereka, terutama yang rohani, dan  juga harapan-harapan mereka (KHK, kan. 212, §2); kedua, kasus yang diangkat ini berhubungan erat dengan hal yang vital dan fundamental, yakni keselamatan jiwa manusia (bayi/anak) yang merupakan  suprema lex dalam Gereja; ketiga, ‘kebijakan  pastoral’  seperti ini   tidak sesuai dengan  ketentuan hukum kanonik yang berlaku universal dan karena itu perlu ditinjau kembali.

Baptisan bayi/anak, untuk apa?

Dalam Kodeks Lama 1917 pembaptisan adalah mutlak perlu (necessitas absoluta) untuk keselamatan kekal. Begitu mutlaknya pembaptisan itu sehingga dalam kanon 746 ditetapkan  berbagai  norma yang mengatur pembaptisan bayi atau janin.  Katekismus Gereja  Katolik  secara eksplisit menegaskan bahwa Tuhan sendiri mengatakan pembaptisan itu perlu untuk keselamatan (KGK, n. 1257) dan bahwa pun anak-anak yang dilahirkan dengan kodrat manusia yang jatuh dan dinodai dosa asal, membutuhkan kelahiran kembali  di dalam pembaptisan supaya dibebaskan dari kekuasaan kegelapan dan menjadi anak-anak Allah (KGK, n. 1250). Oleh karena Hukum Gereja mengikuti teologi, maka tidak mengherankan bahwa ajaran ini juga tampak dalam Kitab Hukum Kanonik, casu quo kan. 849 di mana dinyatakan bahwa baptis, pintu sakramen-sakramen, perlu untuk keselamatan. Pentingnnya pembaptisan bayi/anak juga didasarkan atas pertimbangan bahwa pembaptisan itu sendiri  bersentuhan erat dengan tugas dan tanggung jawab orangtua mendidik anak.

Atas dasar itulah maka para  orangtua  wajib mengusahakan agar bayi-bayi dibaptis dalam minggu-minggu pertama; segera sesudah kelahiran anaknya (Kan. 867, §1). Ungkapan “segera sesudah” (quam primum) mengalami perkembangan penafsiran. Jika dalam Kodeks Lama 1917, hal ini bermaksud untuk menunjukkan kedekatan antara  ‘kelahiran biologis’ dan ‘kelahiran spiritual’ serta mempertimbangkan situasi dan kondisi pada waktu itu di mana  angka kematian bayi sangat tinggi, maka dewasa ini, bayi-bayi umumnya  dibaptis setelah mencapai usia beberapa bulan dan hal ini  memudahkan  orangtua dan juga bayi mengikuti upacara pembaptisan.

Persyaratan Yuridis

Pembapatisan bayi/anak  bukanlah sekedar kebiasaan atau formalitas belaka.  Gereja menetapkan  dua syarat  demi halalnya pembaptisan bayi/anak  dalam situasi normal dan biasa. Kedua  syarat tersebut  digariskan dalam Kitab Hukum Kanonik, kan. 868, § 1, yakni:

Pertama, orangtua, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang secara legitim menggantikan orangtuanya, menyetujuinya. Kata “menyetujui” merujuk pada pengakuan dan ekspresi imam orangtua yang meminta pembaptisan tersebut. Pada umumnya orangtua katolik yang sungguh-sungguh mau mewariskan  harta  iman  kepada bayi/anak  dan akan memberikan pendidikan kristiani kepadanya, hampir pasti menyetujui bahkan meminta pembaptisan bayi/anak mereka (kan. 226, §2; kan. 774, §2). Dalam kasus di mana hanya suami atau isti yang menyetujui pembaptisan sedangkan pihak yang lain menolak, maka pembaptisan tetap dapat dilaksanakan jika pastor paroki menilai alasan penolakan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Namun jika penolakan tersebut sungguh-sungguh berpotensi menggangu keutuhan hidup perkawinan dan keluarga serta pendidikan anak, maka pembaptisan bayi/anak bisa ditunda untuk sementara waktu.

Kedua, ada harapan cukup beralasan (spes habeatur fundata) bahwa bayi/anak itu akan didik dalam agama katolik; bila harapan itu tidak ada, baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan memperingatkan orangtuanya mengenai alasan itu. Sebagai gembala jiwa, pastor paroki diwajibkan oleh hukum untuk menentukan bahwa ada harapan atau alasan untuk percaya bahwa bayi tersebut akan dibesarkan secara katolik. Harapan ini berasal dari orangtua si bayi/anak itu sendiri bahwa mereka sungguh-sungguh berkehendak untuk mendidik bayi/anak tersebut dalam iman katolik. Jika harapan atau jaminan pendidikan iman bayi/anak itu tidak ada  dalam diri kedua orangtua, pembaptisan tetap diberikan jika orangtua si bayi/anak memberikan jaminan pendidikan itu dengan mempercayakannya kepada orang lain yang dekat dengan mereka dan terutama dekat dengan si bayi/anak, seperti anggota keluarga lain, bapa/ibu baptis, katekis atau komunitas paroki itu sendiri. Seandainya harapan ini juga tidak ada, maka pastor paroki dapat menunda (bukan menolak!) pembaptisan  sesuai  ketentuan hukum partikular yang ditetapkan oleh Uskup Diosesan dan selanjutnya menyampaikan alasan penundaan tersebut kepada orangtua si bayi/anak.

Jadi ?

Secara yuridis, hanya dua  prasyarat  untuk pembaptisan bayi dan tidak ada syarat tambahan lain, seperti kewajiban membereskan perkawinan secara gerejani terlebih dahulu sebelum bayi/anak dibaptis.  Jika syarat tambahan ini  menjadi bagian dari syarat untuk pembaptisan bayi, maka pasti  undang-undang Gereja  expressis verbis  menyatakan hal  itu secara tegas; nyatanya undang-undang tidak  mengatakan apa-apa. Di sini berlaku prinsip  ubi lex voluit dixit, ubi noluit tacuit.  Undang-undang Gereja harus dimengerti  dan diterapkan menurut arti kata-katanya sendiri (kan. 17).

Oleh karena undang-undang Gereja tidak menambahkan syarat tentang keharusan  orangtua untuk  membereskan  perkawinan  terlebih dahulu sebelum  bayi/anaknya  dapat dibaptis  maka  tidak  seorang pun  berhak menetapkan  syarat  tambahan secara  sepihak. Setiap peraturan atau kebijakan pastoral yang bertentang dengan undang-undang yang lebih tinggi tidak dapat dibenarkan secara hukum.

Lalu bagaimana ?

Dalam menyelesaikan kasus seperti yang diangkat  oleh di awal tulisan ini, hemat kami, pastor paroki, sebagai gembala jiwa, di satu pihak, harus  tetap  memang prinsip  dasar bahwa   pelayanan sakramen-sakramen kepada orang yang memintanya secara wajar, berdisposisi baik, serta tidak terhalang oleh hukum untuk menerimanya  tidak boleh ditolak (KHK, kan. 843, §1). Perkawinan orangtua yang belum dibereskan, tidak termasuk dalam halangan hukum untuk pembaptisan bayi/anak. Kanon 868, §1 hanya menentukan dua syarat sebagaimana disinggung diatas. Sejauh  mereka memintanya dengan wajar dan  menjamin pendidikan iman dari bayi/anak, maka tidak ada alasan untuk menolak permintaan tersebut. Sangatlah keliru jika atas dasar perkawinan orangtua yang belum beres lalu ditarik kesimpulan bahwa orangtua tersebut  hampir  pasti tidak dapat memberikan pendidikan iman kepada bayi/anak yang dibaptis. Kenyataan bahwa orangtua si bayi/si anak belum menikah secara gerejani tidak dengan sendirinya menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai intensi untuk membesarkan anak secara katolik. Juga tidak bijaksana  untuk ‘memaksa’ mereka  untuk  segera  membereskan perkawinan  sebagai syarat untuk pembaptisan bayi/anak mereka, karena  dalam  kasus tertentu persoalan jauh lebih kompleks karena tidak hanya berurusan dengan kesiapan fisik dan mental spiritual untuk menikah,  tetapi juga  berkaitan dengan masalah  ekonomi dan ‘tetek bengek’ urusan  adat istiadat yang dalam beberapa kasus, menuntut untuk dipenuhi,  sementara di lain pihak, di hadapan kita  ada bayi/anak, yang dalam kepolosannya, menantikan  rahmat keselamatan Allah melalui sakramen baptis.

Jika menurut penilaian pastor paroki orangtua si bayi/anak tidak  dapat memberikan  jaminan tersebut, pembaptisan  tetap dapat diberikan dengan syarat bahwa  kedua  orangtua tersebut  mempercayakan hal tersebut kepada bapa/ibu baptis. Kelayakan  cara hidup kristiani  lebih dituntut  pada bapa/ibu baptis ketimbang orangtua atau wali dari bayi/anak tersebut (kan. 874, §1, 3°).

Penutup

Pembaptisan adalah tanda dan sarana kasih Allah yang membebaskan manusia dari dosa dan menganugerahkan partisipasi dalam hidup ilahi. Seorang bayi/anak memiliki hak untuk mengakses dan  menerima kekayaan anugerah ilahi tersebut  melalui  iman kedua orang tua atau yang menggantikannya, serta berdasarkan iman bapa/ibu baptis dan iman seluruh Gereja.

Gereja menetapkan dua  syarat yang jelas dan tegas untuk pembaptisan bayi. Dan hanya itu; tidak ada syarat tambahan lain.  Tidak seorang pun, kecuali Paus sebagai Legislator universal, berwenang mengurangi atau menambah syarat lain. Atas dasar itu maka setiap bentuk kebijakan pastoral yang  berlawanan dengan ketentuan Gereja yang berlaku  harus  dicabut atau direvisi kembali. Kata-kata Paus Fransiskus penting untuk kita renungkan bersama: “Kalau ada suatu yang harus dan pantas menyusahkan kita atau mengusik hati nurani kita, hal itu adalah kenyataan bahwa begitu banyak saudara-saudari kita hidup tanpa kekuatan […]. Lebih daripada oleh perasaan takut tersesat, saya berharap bahwa kita akan digerakkan oleh perasaan takut, tetap tertutup dalam struktur  struktur yang memberikan kita rasa aman palsu, dalam peraturan peraturan yang menjadikan kita hakim-hakim yang kejam, dalam kebiasaan-kebiasaan yang membuat kita merasa aman..”. (Instruksi Pertobatan Pastoral 2020, n. 3).

Inspirasimu: Pesan Paus Fransiskus Pada Hari Komunikasi Sedunia ke-55