Orangtua belum nikah Gereja, anak tidak boleh dibaptis?
Demikian pertanyaan seorang awam melalui pesan singkat Whatsapp. Yang empunya pertanyaan mengaku kecewa dengan kebijakan pastor paroki di wilayah tertentu yang menunda pembaptisan bayi/anak dari orangtua yang belum menikah Gereja padahal kedua orangtua dari bayi/anak tersebut telah datang meminta pembaptisan dan menjamin pendidikan imannya. Apakah kebijakan pastor paroki seperti ini dapat dipertanggungjawabkan secara hukum kanonik?
Pertanyaan yang diajukan ini perlu ditanggapi secara hati-hati mengingat keterbatasan informasi yang diberikan. Jika apa yang disampaikan tersebut sungguh-sungguh terjadi, maka jawaban atasnya merupakan sebuah keharusan, kendati mungkin tidak memuaskan. Ada beberapa pertimbangan mendasar, yakni pertama, setiap umat beriman memiliki hak untuk menyampaikan kepada para Gembala Gereja keperluan-keperluan mereka, terutama yang rohani, dan juga harapan-harapan mereka (KHK, kan. 212, §2); kedua, kasus yang diangkat ini berhubungan erat dengan hal yang vital dan fundamental, yakni keselamatan jiwa manusia (bayi/anak) yang merupakan suprema lex dalam Gereja; ketiga, ‘kebijakan pastoral’ seperti ini tidak sesuai dengan ketentuan hukum kanonik yang berlaku universal dan karena itu perlu ditinjau kembali.
Baptisan bayi/anak, untuk apa?
Dalam Kodeks Lama 1917 pembaptisan adalah mutlak perlu (necessitas absoluta) untuk keselamatan kekal. Begitu mutlaknya pembaptisan itu sehingga dalam kanon 746 ditetapkan berbagai norma yang mengatur pembaptisan bayi atau janin. Katekismus Gereja Katolik secara eksplisit menegaskan bahwa Tuhan sendiri mengatakan pembaptisan itu perlu untuk keselamatan (KGK, n. 1257) dan bahwa pun anak-anak yang dilahirkan dengan kodrat manusia yang jatuh dan dinodai dosa asal, membutuhkan kelahiran kembali di dalam pembaptisan supaya dibebaskan dari kekuasaan kegelapan dan menjadi anak-anak Allah (KGK, n. 1250). Oleh karena Hukum Gereja mengikuti teologi, maka tidak mengherankan bahwa ajaran ini juga tampak dalam Kitab Hukum Kanonik, casu quo kan. 849 di mana dinyatakan bahwa baptis, pintu sakramen-sakramen, perlu untuk keselamatan. Pentingnnya pembaptisan bayi/anak juga didasarkan atas pertimbangan bahwa pembaptisan itu sendiri bersentuhan erat dengan tugas dan tanggung jawab orangtua mendidik anak.
Atas dasar itulah maka para orangtua wajib mengusahakan agar bayi-bayi dibaptis dalam minggu-minggu pertama; segera sesudah kelahiran anaknya (Kan. 867, §1). Ungkapan “segera sesudah” (quam primum) mengalami perkembangan penafsiran. Jika dalam Kodeks Lama 1917, hal ini bermaksud untuk menunjukkan kedekatan antara ‘kelahiran biologis’ dan ‘kelahiran spiritual’ serta mempertimbangkan situasi dan kondisi pada waktu itu di mana angka kematian bayi sangat tinggi, maka dewasa ini, bayi-bayi umumnya dibaptis setelah mencapai usia beberapa bulan dan hal ini memudahkan orangtua dan juga bayi mengikuti upacara pembaptisan.
Persyaratan Yuridis
Pembapatisan bayi/anak bukanlah sekedar kebiasaan atau formalitas belaka. Gereja menetapkan dua syarat demi halalnya pembaptisan bayi/anak dalam situasi normal dan biasa. Kedua syarat tersebut digariskan dalam Kitab Hukum Kanonik, kan. 868, § 1, yakni:
Pertama, orangtua, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang secara legitim menggantikan orangtuanya, menyetujuinya. Kata “menyetujui” merujuk pada pengakuan dan ekspresi imam orangtua yang meminta pembaptisan tersebut. Pada umumnya orangtua katolik yang sungguh-sungguh mau mewariskan harta iman kepada bayi/anak dan akan memberikan pendidikan kristiani kepadanya, hampir pasti menyetujui bahkan meminta pembaptisan bayi/anak mereka (kan. 226, §2; kan. 774, §2). Dalam kasus di mana hanya suami atau isti yang menyetujui pembaptisan sedangkan pihak yang lain menolak, maka pembaptisan tetap dapat dilaksanakan jika pastor paroki menilai alasan penolakan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Namun jika penolakan tersebut sungguh-sungguh berpotensi menggangu keutuhan hidup perkawinan dan keluarga serta pendidikan anak, maka pembaptisan bayi/anak bisa ditunda untuk sementara waktu.
Kedua, ada harapan cukup beralasan (spes habeatur fundata) bahwa bayi/anak itu akan didik dalam agama katolik; bila harapan itu tidak ada, baptis hendaknya ditunda menurut ketentuan hukum partikular, dengan memperingatkan orangtuanya mengenai alasan itu. Sebagai gembala jiwa, pastor paroki diwajibkan oleh hukum untuk menentukan bahwa ada harapan atau alasan untuk percaya bahwa bayi tersebut akan dibesarkan secara katolik. Harapan ini berasal dari orangtua si bayi/anak itu sendiri bahwa mereka sungguh-sungguh berkehendak untuk mendidik bayi/anak tersebut dalam iman katolik. Jika harapan atau jaminan pendidikan iman bayi/anak itu tidak ada dalam diri kedua orangtua, pembaptisan tetap diberikan jika orangtua si bayi/anak memberikan jaminan pendidikan itu dengan mempercayakannya kepada orang lain yang dekat dengan mereka dan terutama dekat dengan si bayi/anak, seperti anggota keluarga lain, bapa/ibu baptis, katekis atau komunitas paroki itu sendiri. Seandainya harapan ini juga tidak ada, maka pastor paroki dapat menunda (bukan menolak!) pembaptisan sesuai ketentuan hukum partikular yang ditetapkan oleh Uskup Diosesan dan selanjutnya menyampaikan alasan penundaan tersebut kepada orangtua si bayi/anak.
Jadi ?
Secara yuridis, hanya dua prasyarat untuk pembaptisan bayi dan tidak ada syarat tambahan lain, seperti kewajiban membereskan perkawinan secara gerejani terlebih dahulu sebelum bayi/anak dibaptis. Jika syarat tambahan ini menjadi bagian dari syarat untuk pembaptisan bayi, maka pasti undang-undang Gereja expressis verbis menyatakan hal itu secara tegas; nyatanya undang-undang tidak mengatakan apa-apa. Di sini berlaku prinsip ubi lex voluit dixit, ubi noluit tacuit. Undang-undang Gereja harus dimengerti dan diterapkan menurut arti kata-katanya sendiri (kan. 17).
Oleh karena undang-undang Gereja tidak menambahkan syarat tentang keharusan orangtua untuk membereskan perkawinan terlebih dahulu sebelum bayi/anaknya dapat dibaptis maka tidak seorang pun berhak menetapkan syarat tambahan secara sepihak. Setiap peraturan atau kebijakan pastoral yang bertentang dengan undang-undang yang lebih tinggi tidak dapat dibenarkan secara hukum.
Lalu bagaimana ?
Dalam menyelesaikan kasus seperti yang diangkat oleh di awal tulisan ini, hemat kami, pastor paroki, sebagai gembala jiwa, di satu pihak, harus tetap memang prinsip dasar bahwa pelayanan sakramen-sakramen kepada orang yang memintanya secara wajar, berdisposisi baik, serta tidak terhalang oleh hukum untuk menerimanya tidak boleh ditolak (KHK, kan. 843, §1). Perkawinan orangtua yang belum dibereskan, tidak termasuk dalam halangan hukum untuk pembaptisan bayi/anak. Kanon 868, §1 hanya menentukan dua syarat sebagaimana disinggung diatas. Sejauh mereka memintanya dengan wajar dan menjamin pendidikan iman dari bayi/anak, maka tidak ada alasan untuk menolak permintaan tersebut. Sangatlah keliru jika atas dasar perkawinan orangtua yang belum beres lalu ditarik kesimpulan bahwa orangtua tersebut hampir pasti tidak dapat memberikan pendidikan iman kepada bayi/anak yang dibaptis. Kenyataan bahwa orangtua si bayi/si anak belum menikah secara gerejani tidak dengan sendirinya menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai intensi untuk membesarkan anak secara katolik. Juga tidak bijaksana untuk ‘memaksa’ mereka untuk segera membereskan perkawinan sebagai syarat untuk pembaptisan bayi/anak mereka, karena dalam kasus tertentu persoalan jauh lebih kompleks karena tidak hanya berurusan dengan kesiapan fisik dan mental spiritual untuk menikah, tetapi juga berkaitan dengan masalah ekonomi dan ‘tetek bengek’ urusan adat istiadat yang dalam beberapa kasus, menuntut untuk dipenuhi, sementara di lain pihak, di hadapan kita ada bayi/anak, yang dalam kepolosannya, menantikan rahmat keselamatan Allah melalui sakramen baptis.
Jika menurut penilaian pastor paroki orangtua si bayi/anak tidak dapat memberikan jaminan tersebut, pembaptisan tetap dapat diberikan dengan syarat bahwa kedua orangtua tersebut mempercayakan hal tersebut kepada bapa/ibu baptis. Kelayakan cara hidup kristiani lebih dituntut pada bapa/ibu baptis ketimbang orangtua atau wali dari bayi/anak tersebut (kan. 874, §1, 3°).
Penutup
Pembaptisan adalah tanda dan sarana kasih Allah yang membebaskan manusia dari dosa dan menganugerahkan partisipasi dalam hidup ilahi. Seorang bayi/anak memiliki hak untuk mengakses dan menerima kekayaan anugerah ilahi tersebut melalui iman kedua orang tua atau yang menggantikannya, serta berdasarkan iman bapa/ibu baptis dan iman seluruh Gereja.
Gereja menetapkan dua syarat yang jelas dan tegas untuk pembaptisan bayi. Dan hanya itu; tidak ada syarat tambahan lain. Tidak seorang pun, kecuali Paus sebagai Legislator universal, berwenang mengurangi atau menambah syarat lain. Atas dasar itu maka setiap bentuk kebijakan pastoral yang berlawanan dengan ketentuan Gereja yang berlaku harus dicabut atau direvisi kembali. Kata-kata Paus Fransiskus penting untuk kita renungkan bersama: “Kalau ada suatu yang harus dan pantas menyusahkan kita atau mengusik hati nurani kita, hal itu adalah kenyataan bahwa begitu banyak saudara-saudari kita hidup tanpa kekuatan […]. Lebih daripada oleh perasaan takut tersesat, saya berharap bahwa kita akan digerakkan oleh perasaan takut, tetap tertutup dalam struktur struktur yang memberikan kita rasa aman palsu, dalam peraturan peraturan yang menjadikan kita hakim-hakim yang kejam, dalam kebiasaan-kebiasaan yang membuat kita merasa aman..”. (Instruksi Pertobatan Pastoral 2020, n. 3).
Inspirasimu: Pesan Paus Fransiskus Pada Hari Komunikasi Sedunia ke-55
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.