Beranda OPINI Orang Katolik Yang Belum Menerima Sakramen Penguatan, Tidak Diperbolehkan Untuk Nikah Gereja?

Orang Katolik Yang Belum Menerima Sakramen Penguatan, Tidak Diperbolehkan Untuk Nikah Gereja?

April 2021, Sakramen Krisma, Gereja Katolik Indonesia, In Jesus We Trust, Katekese, Katolik, Keluarga Katolik, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Lawan Covid-19, Opini, Sabda Tuhan, Umat Katolik, Yesus Kristus, Uskup Indonesia
Photo: google

Pertanyaan ini  meluncur dari mulut  seorang  awam yang mengaku bingung dengan  peraturan  dalam Gereja  yang tampaknya diterapkan  secara berbeda  dari  satu tempat ke tempat lain.  Mengapa di tempat tertentu  menjadi sebagian dari  prasyarat yang dituntut  untuk menikah, sementara di tempat lain hal ini  tidak terlalu dipaksakan?  Pertanyaan ini serius dan karena itu harus dijawab secara serius pula. Di balik pertanyaan ini, ada masalah konkrit, sementara di sisi lain, para gembala  jiwa  berkewajiban  untuk memberikan  bantuan  secara pastoral dan yuridis untuk mengatasi masalah tersebut (Bdk. KHK, kan. 213; kan. 529, §1).  Jika  ada  calon mempelai  katolik  atau satu diantaranya katolik (nikah campur)  hendak menikah (dan belum tinggal bersama) namun belum menerima sakramen penguatan, apakah mereka tidak diperkenankan untuk menikah?   Jika  ada calon mempelai katolik atau satu diantaranya katolik (nikah campur)  telah hidup bersama  sebagaimana layaknya suami-istri, hendak menikah namun belum menerima sakramen penguatan, apakah hal ini menjadi halangan untuk menikah? Untuk  mengurai benang kusut  persoalan  seperti ini,  pertama-tama  kita perlu menyegarkan  kembali  pemahaman  tentang makna sakramen penguatan  dalam  hubungannya  dengan perkawinan katolik.

Pentingnya Sakramen  Penguatan  Untuk  Kehidupan Perkawinan

Sakramen penguatan menganugerahkan karunia Roh yang “menyempurnakan imamat bersama  umat beriman yang diterima dalam pembaptisan” (KGK 1305) dan memungkinkan yang dibaptis mempersembahkan korban Kristus dan juga untuk memenuhi misi dan pelayanannya  sendiri  seturut  status hidupnya.  Kitab Hukum Kanonik menegaskan bahwa sakramen ini, yang memberikan materai dan dengannya orang-orang yang telah dibaptis melanjutkan perjalanan inisiasi kristiani dan diperkaya dengan anugerah Roh Kudus serta dipersatukan secara lebih sempurna dengan Gereja, menguatkan dan semakin mewajibkan mereka untuk dengan perkataaan dan perbuatan menjadi saksi-saksi Kristus, menyebarkan dan membela iman (KHK, kan. 879).

Sakramen ini penting untuk kehidupan perkawinan.  Calon mempelai katolik  dapat memperoleh  rahmat  berlimpah dari sakramen perkawinan dan menghayati hidup perkawinan dengan penuh  tanggungjawab jika mereka sudah ditempa dalam proses pendewasaan iman melalui penerimaan sakramen penguatan. Sakramen ini, jika diberikan dengan sah dan licit oleh pelayan resmi gereja (KHK, kan. 882) dan diterima oleh mereka  yang berdisposisi baik (KHK, kan. 889, §2), membawa rahmat dan kekuatan yang dibutuhkan untuk berjuang dalam hidup perkawinan.

Pertimbangan lain mengapa sakramen ini penting dalam hubungan dengan sakramen perkawinan didasarkan atas panggilan dan tugas khas suami-istri untuk  memberi kesaksian iman dan cinta kasih Kristus di antara mereka berdua dan kepada anak-anak (Lumen Gentium 35 ). Melebihi semua yang lain, mereka terikat kewajiban untuk membina anak-anak dalam iman dan praktek kehidupan kristiani, baik dengan perkataan maupun dengan teladan hidup (KHK, kan. 774, §2).

Aktualisasi konkrit dari tugas dan kewajiban ini tentu saja mengandaikan adanya daya jiwa dan kehendak yang kuat.  Dan persis di sinilah peran rahmat adikodrati yang diterima melalui sakramen penguatan yang tidak lain merupakan sakramen kedewasaan dan kekuatan kristiani.

Ketentuan Normatif Kitab Hukum Kanonik 1983

Pentingnya penerimaan sakramen penguatan sebelum menikah  ditegaskan dalam kanon 1065, §1: “Orang-orang katolik yang  belum menerima sakramen penguatan, hendaklah menerimanya sebelum diizinkan untuk melangsungkan perkawinan..”. Jadi, formulasi hukum jelas dan tegas: penerimaan sakramen penguatan sebelum menikah merupakan sebuah kewajiban yuridis.

Namun demikian, Legislator menyisipkan klausul pengecualian  sebagaimana secara eksplisit dinyatakan dalam kanon yang sama: “si id fieri possit sine gravi incommodo”, bila hal itu dapat dilaksanakan tanpa kesulitan berat. Di sini kita lihat bagaimana Legislator juga bersikap realitas dengan keadaan dan situasi  konkrit calon mempelai.  Jika, misalnya, calon  mempelai  katolik  merencanakan perkawinan sekurang-kurangnya setahun sebelumnya, pastor paroki  dapat meminta yang bersangkutan untuk mempersiapkan diri untuk menerima sakramen penguatan dalam kurun waktu tersebut dengan pengadaian bahwa tersedia cukup waktu bagi calon pasangan tersebut untuk mengikuti program persiapan  penerimaan sakramen penguatan  di paroki  atau di paroki sekitar dan menerima sakramen tersebut sebelum tanggal pernikahan. Jika  situasi dan kondisi  ini yang terjadi, maka situasi ini sangat ideal menurut norma kanonik.

Tetapi  situasi ideal seperti dilukiskan diatas seringkali tidak terjadi  karena alasan-alasan praktis tertentu. Ada situasi tertentu di mana  terdapat  kesulitan berat (gravi incommodo) dari pihak calon mempelai terkait kesempatan dan kemampuan mereka untuk  menerima sakramen penguatan sebelum menikah. Ada situasi obyektif atau subyektif  yang membuat penerimaan sakramen penguatan sebelum perkawinan menjadi kesulitan besar untuk calon mempelai.  Kita membayangkan, misalnya, pastor paroki  di sebuah  daerah pedalaman  baru mengetahui   beberapa minggu sebelum hari-H perkawinan bahwa calon mempelai  belum menerima sakramen penguatan, sementara  di sisi lain, jadwal  pelayanan sakramen  penguatan  dari Uskup  baru dilaksanakan dalam dua tahun ke depan.  Atau calon mempelai yang hendak menikah, yang setelah diselidiki belum menerima sakramen penguatan, adalah anggota tentara  yang mendapat  izin  cuma seminggu dari pimpinan  hanya untuk menikah.  Dalam contoh  kasus  imaginer seperti  ini, yang de facto bisa terjadi, rencana perkawinan  tidak boleh dibatalkan hanya karena yang bersangkutan  belum menerima sakramen penguatan. Penundaan atau pembatalan akan menimbulkan kesulitan tertentu bagi calon mempelai dan lebih jauh  daripada itu merupakan sebuah bentuk pelanggaran terhadap hak seseorang untuk menikah (ius connubii).

Jadi  kesimpulannya  adalah  bahwa  sekalipun  penerimaan sakramen penguatan penting untuk perkawinan dan menjadi sebuah kewajiban yuridis, namun  kewajiban ini bukanlah persyarat  yang menentukan  validitas atau liceitas perkawinan. Oleh karena sakramen  perkawinan tetap dapat diterima  sekalipun yang bersangkutan belum menerima sakramen penguatan. (Dalam kasus  calon mempelai  yang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan atau menikah secara sipil,  penerimaan sakramen  penguatan dilakukan setelah perkawinan berdasarkan situasi obyektif hidup  mereka yang jelas bertentangan dengan norma moral, yang dengan sendirinya mencegah penerimaan sakramen penguatan sebelum perkawinan.  Mereka  perlu membereskan  situasi   terlebih dahulu  lalu  menerima sakramen perkawinan  dan kemudian menerima sakramen penguatan). Tentu saja  tetap  ada kewajiban  untuk menerima sakramen penguatan  setelah menikah  setelah  situasi  dan kondisi yang menimbulkan kesulitan berat tersebut  sudah tidak ada lagi.  Penerimaan sakramen penguatan  setelah menikah hendaknya  dibuat sedemikian  tanpa penudaan yang tidak perlu dan menghindari kesan hanya sebagai  formalitas belaka.

Solusi Pastoral

Demi membantu calon mempelai yang hendak menikah  namun  belum menerima sakramen penguatan, jalan keluar  yang  dapat  ditempuh  adalah  pastor paroki bersama dewan pastoral  melakukan  pendataan  setiap tahun  untuk  menjaring  umat yang sudah mencapai usia dapat menggunakan akal budi, atau usia lain yang ditentukan oleh Konferensi Para Uskup (KHK, kan. 891),  yang  belum menerima sakramen penguatan.

Tahap selanjutnya adalah berkonsultasi dengan pihak keuskupan untuk menentukan  waktu pelaksanaan penerimaan sakramen  tersebut  di paroki. Kepastian akan waktu  pelaksanaan  penting diketahui  demi membantu pastor paroki  mempersiapkan  segala sesuatu, terutama  pengajaran kateketik sakramen yang semestinya  dengan  memperhatikan norma-norma  yang dikeluarkan oleh  otoritas gereja yang berwenang (KHK, kan. 843, §2, kan. 890).

Jika  upaya  seperti  ini dibuat  maka  penerimaan sakramen  dapat  dilaksanakan sesuai dengan waktu yang ditentukan, kecuali jika ada alasan  situasional  yang  wajar   dan masuk akal untuk menunda penerimaan sakramen, misalnya pada masa Covid-19.  Namun penundaan  seperti ini seyogyanya tidak didasarkan atas  pertimbangan  disponibilitas pelayan karena  sakramen ini dapat diberikan, selain oleh Uskup Diosesan sebagai pelayan bisia (kan. 882), juga  oleh imam-imam lain yang mendapat  delegasi khusus dari  Uskup (KHK, kan. 884, §1).

Penutup

Tidak dapat disangkal bahwa penerimaan  sakramen  penguatan sebelum menikah  sangat berguna bagi calon mempelai katolik. Ada hubungan antara penerimaan sakramen ini dengan kehidupan perkawinan.  Gereja  mewajibkan  calon mempelai  untuk menerima sakramen ini  sebelum menikah  jika tidak ada kesulitan berat.  Namun  penting untuk diingat bahwa penerimaan sakramen ini bukanlah persyaratan wajib yang menentukan  validitas atau halalnya perkawinan.  Atas dasar itu  maka jika ada   ‘kebijakan pastoral’  yang  tidak memperbolehkan  penerimaan  sakramen perkawinan  lantaran  calon mempelai   belum menerima sakramen penguatan,  hal ini   perlu  ditinjau kembali  karena  tidak  bersesuaian  dengan  aturan  hukum yang  lebih tinggi.

Inspirasimu: Orangtua belum nikah Gereja, anak tidak boleh dibaptis?