Pertanyaan ini meluncur dari mulut seorang awam yang mengaku bingung dengan peraturan dalam Gereja yang tampaknya diterapkan secara berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Mengapa di tempat tertentu menjadi sebagian dari prasyarat yang dituntut untuk menikah, sementara di tempat lain hal ini tidak terlalu dipaksakan? Pertanyaan ini serius dan karena itu harus dijawab secara serius pula. Di balik pertanyaan ini, ada masalah konkrit, sementara di sisi lain, para gembala jiwa berkewajiban untuk memberikan bantuan secara pastoral dan yuridis untuk mengatasi masalah tersebut (Bdk. KHK, kan. 213; kan. 529, §1). Jika ada calon mempelai katolik atau satu diantaranya katolik (nikah campur) hendak menikah (dan belum tinggal bersama) namun belum menerima sakramen penguatan, apakah mereka tidak diperkenankan untuk menikah? Jika ada calon mempelai katolik atau satu diantaranya katolik (nikah campur) telah hidup bersama sebagaimana layaknya suami-istri, hendak menikah namun belum menerima sakramen penguatan, apakah hal ini menjadi halangan untuk menikah? Untuk mengurai benang kusut persoalan seperti ini, pertama-tama kita perlu menyegarkan kembali pemahaman tentang makna sakramen penguatan dalam hubungannya dengan perkawinan katolik.
Pentingnya Sakramen Penguatan Untuk Kehidupan Perkawinan
Sakramen penguatan menganugerahkan karunia Roh yang “menyempurnakan imamat bersama umat beriman yang diterima dalam pembaptisan” (KGK 1305) dan memungkinkan yang dibaptis mempersembahkan korban Kristus dan juga untuk memenuhi misi dan pelayanannya sendiri seturut status hidupnya. Kitab Hukum Kanonik menegaskan bahwa sakramen ini, yang memberikan materai dan dengannya orang-orang yang telah dibaptis melanjutkan perjalanan inisiasi kristiani dan diperkaya dengan anugerah Roh Kudus serta dipersatukan secara lebih sempurna dengan Gereja, menguatkan dan semakin mewajibkan mereka untuk dengan perkataaan dan perbuatan menjadi saksi-saksi Kristus, menyebarkan dan membela iman (KHK, kan. 879).
Sakramen ini penting untuk kehidupan perkawinan. Calon mempelai katolik dapat memperoleh rahmat berlimpah dari sakramen perkawinan dan menghayati hidup perkawinan dengan penuh tanggungjawab jika mereka sudah ditempa dalam proses pendewasaan iman melalui penerimaan sakramen penguatan. Sakramen ini, jika diberikan dengan sah dan licit oleh pelayan resmi gereja (KHK, kan. 882) dan diterima oleh mereka yang berdisposisi baik (KHK, kan. 889, §2), membawa rahmat dan kekuatan yang dibutuhkan untuk berjuang dalam hidup perkawinan.
Pertimbangan lain mengapa sakramen ini penting dalam hubungan dengan sakramen perkawinan didasarkan atas panggilan dan tugas khas suami-istri untuk memberi kesaksian iman dan cinta kasih Kristus di antara mereka berdua dan kepada anak-anak (Lumen Gentium 35 ). Melebihi semua yang lain, mereka terikat kewajiban untuk membina anak-anak dalam iman dan praktek kehidupan kristiani, baik dengan perkataan maupun dengan teladan hidup (KHK, kan. 774, §2).
Aktualisasi konkrit dari tugas dan kewajiban ini tentu saja mengandaikan adanya daya jiwa dan kehendak yang kuat. Dan persis di sinilah peran rahmat adikodrati yang diterima melalui sakramen penguatan yang tidak lain merupakan sakramen kedewasaan dan kekuatan kristiani.
Ketentuan Normatif Kitab Hukum Kanonik 1983
Pentingnya penerimaan sakramen penguatan sebelum menikah ditegaskan dalam kanon 1065, §1: “Orang-orang katolik yang belum menerima sakramen penguatan, hendaklah menerimanya sebelum diizinkan untuk melangsungkan perkawinan..”. Jadi, formulasi hukum jelas dan tegas: penerimaan sakramen penguatan sebelum menikah merupakan sebuah kewajiban yuridis.
Namun demikian, Legislator menyisipkan klausul pengecualian sebagaimana secara eksplisit dinyatakan dalam kanon yang sama: “si id fieri possit sine gravi incommodo”, bila hal itu dapat dilaksanakan tanpa kesulitan berat. Di sini kita lihat bagaimana Legislator juga bersikap realitas dengan keadaan dan situasi konkrit calon mempelai. Jika, misalnya, calon mempelai katolik merencanakan perkawinan sekurang-kurangnya setahun sebelumnya, pastor paroki dapat meminta yang bersangkutan untuk mempersiapkan diri untuk menerima sakramen penguatan dalam kurun waktu tersebut dengan pengadaian bahwa tersedia cukup waktu bagi calon pasangan tersebut untuk mengikuti program persiapan penerimaan sakramen penguatan di paroki atau di paroki sekitar dan menerima sakramen tersebut sebelum tanggal pernikahan. Jika situasi dan kondisi ini yang terjadi, maka situasi ini sangat ideal menurut norma kanonik.
Tetapi situasi ideal seperti dilukiskan diatas seringkali tidak terjadi karena alasan-alasan praktis tertentu. Ada situasi tertentu di mana terdapat kesulitan berat (gravi incommodo) dari pihak calon mempelai terkait kesempatan dan kemampuan mereka untuk menerima sakramen penguatan sebelum menikah. Ada situasi obyektif atau subyektif yang membuat penerimaan sakramen penguatan sebelum perkawinan menjadi kesulitan besar untuk calon mempelai. Kita membayangkan, misalnya, pastor paroki di sebuah daerah pedalaman baru mengetahui beberapa minggu sebelum hari-H perkawinan bahwa calon mempelai belum menerima sakramen penguatan, sementara di sisi lain, jadwal pelayanan sakramen penguatan dari Uskup baru dilaksanakan dalam dua tahun ke depan. Atau calon mempelai yang hendak menikah, yang setelah diselidiki belum menerima sakramen penguatan, adalah anggota tentara yang mendapat izin cuma seminggu dari pimpinan hanya untuk menikah. Dalam contoh kasus imaginer seperti ini, yang de facto bisa terjadi, rencana perkawinan tidak boleh dibatalkan hanya karena yang bersangkutan belum menerima sakramen penguatan. Penundaan atau pembatalan akan menimbulkan kesulitan tertentu bagi calon mempelai dan lebih jauh daripada itu merupakan sebuah bentuk pelanggaran terhadap hak seseorang untuk menikah (ius connubii).
Jadi kesimpulannya adalah bahwa sekalipun penerimaan sakramen penguatan penting untuk perkawinan dan menjadi sebuah kewajiban yuridis, namun kewajiban ini bukanlah persyarat yang menentukan validitas atau liceitas perkawinan. Oleh karena sakramen perkawinan tetap dapat diterima sekalipun yang bersangkutan belum menerima sakramen penguatan. (Dalam kasus calon mempelai yang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan atau menikah secara sipil, penerimaan sakramen penguatan dilakukan setelah perkawinan berdasarkan situasi obyektif hidup mereka yang jelas bertentangan dengan norma moral, yang dengan sendirinya mencegah penerimaan sakramen penguatan sebelum perkawinan. Mereka perlu membereskan situasi terlebih dahulu lalu menerima sakramen perkawinan dan kemudian menerima sakramen penguatan). Tentu saja tetap ada kewajiban untuk menerima sakramen penguatan setelah menikah setelah situasi dan kondisi yang menimbulkan kesulitan berat tersebut sudah tidak ada lagi. Penerimaan sakramen penguatan setelah menikah hendaknya dibuat sedemikian tanpa penudaan yang tidak perlu dan menghindari kesan hanya sebagai formalitas belaka.
Solusi Pastoral
Demi membantu calon mempelai yang hendak menikah namun belum menerima sakramen penguatan, jalan keluar yang dapat ditempuh adalah pastor paroki bersama dewan pastoral melakukan pendataan setiap tahun untuk menjaring umat yang sudah mencapai usia dapat menggunakan akal budi, atau usia lain yang ditentukan oleh Konferensi Para Uskup (KHK, kan. 891), yang belum menerima sakramen penguatan.
Tahap selanjutnya adalah berkonsultasi dengan pihak keuskupan untuk menentukan waktu pelaksanaan penerimaan sakramen tersebut di paroki. Kepastian akan waktu pelaksanaan penting diketahui demi membantu pastor paroki mempersiapkan segala sesuatu, terutama pengajaran kateketik sakramen yang semestinya dengan memperhatikan norma-norma yang dikeluarkan oleh otoritas gereja yang berwenang (KHK, kan. 843, §2, kan. 890).
Jika upaya seperti ini dibuat maka penerimaan sakramen dapat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang ditentukan, kecuali jika ada alasan situasional yang wajar dan masuk akal untuk menunda penerimaan sakramen, misalnya pada masa Covid-19. Namun penundaan seperti ini seyogyanya tidak didasarkan atas pertimbangan disponibilitas pelayan karena sakramen ini dapat diberikan, selain oleh Uskup Diosesan sebagai pelayan bisia (kan. 882), juga oleh imam-imam lain yang mendapat delegasi khusus dari Uskup (KHK, kan. 884, §1).
Penutup
Tidak dapat disangkal bahwa penerimaan sakramen penguatan sebelum menikah sangat berguna bagi calon mempelai katolik. Ada hubungan antara penerimaan sakramen ini dengan kehidupan perkawinan. Gereja mewajibkan calon mempelai untuk menerima sakramen ini sebelum menikah jika tidak ada kesulitan berat. Namun penting untuk diingat bahwa penerimaan sakramen ini bukanlah persyaratan wajib yang menentukan validitas atau halalnya perkawinan. Atas dasar itu maka jika ada ‘kebijakan pastoral’ yang tidak memperbolehkan penerimaan sakramen perkawinan lantaran calon mempelai belum menerima sakramen penguatan, hal ini perlu ditinjau kembali karena tidak bersesuaian dengan aturan hukum yang lebih tinggi.
Inspirasimu: Orangtua belum nikah Gereja, anak tidak boleh dibaptis?
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.