“Maka kata orang-orang Yahudi itu, ‘Apakah Ia mau bunuh diri dan karena itu dikatakan-Nya: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang?’” (Yoh 8, 22)
SEORANG bapak dan anak bunuh diri, yakni Oktavianus Cahyo Saputro dan Santa Maria Claudia. Mereka menabrakkan diri pada Kereta Api Gajayana, jurusan Solo – Jakarta, di daerah Brengosan, Manahan Solo.
Claudia yang masih berumur 8 tahun sempat menuliskan rasa sedihnya, karena papah dan mamahnya bercerai dan berpisah. Kangennya sama mamanya tidak kesampaian. Yang bisa dilakukannya hanyalah berdoa pada Tuhan. Surat itu ditulisnya setelah ulang tahunnya yang kedelapan dan beberapa bulan sebelum peristiwa bunuh diri terjadi.
Bunuh diri merupakan salah satu masalah sosial.
Cahyo dan putrinya merupakan salah satu dari sekian banyak kasus bunuh diri yang sering terjadi. Bunuh diri tidak hanya merupakan tindakan yang merusak diri sendiri, tetapi juga bisa mengakhiri kehidupan sendiri dan orang lain juga. Cahyo mengajak putrinya bunuh diri karena persoalan keluarga yang dihadapi. Ketidakmampuan untuk mempertahankan keutuhan keluarga merupakan salah satu alasan seseorang untuk bunuh diri.
Keterpecahan hidup bersama bisa menimbulkan rasa sendiri, terasing, dan gagal. Orang tidak lagi menemukan arti atau makna hidupnya dan cenderung mengakhirinya. Bunuh diri bisa terjadi saat orang gagal membangun integrasiatau keutuhan dalam kehidupan bersama.
Apakah Yesus mau bunuh diri? Tentu tidak. Kepergian-Nya dilakukan bukan untuk bunuh diri atau agar para murid-Nya bunuh diri. Tetapi agar para murid tidak mati di dalam dosa, melainkan hidup kekal bersama Bapa di surga.
Teman-teman selamat sore dan selamat beristirahat. Berkah Dalem.
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.