Dari Mesir Ke Tanah Terjanji
SATU syarat bagi setiap calon pasangan nikah yaitu mereka harus sudah memiliki rumah sendiri. Kelengkapan dari rumah itu adalah gudang makanan, kebun, ternak dan tabungan. Itu artinya mereka harus mulai mandiri, bertanggungjawab atas hidup mereka sendiri. Tidak ada orang lain selain suami istri bertanggungjawab atas pasangannya, membahagiakan pasangan hidupnya dan anak –anak buah cinta mereka. Dalam kenyataan belum banyak pasangan yang siap memasuki bahtra kehidupan keluarga dan benar-benar mandiri.
Ibu Hartini, bukan nama sebenarnya merasa letih dan capeh menghadapi perilaku ibu mertuanya. “Siang malam aku selalu menjadi orang yang kalah. Saya bukan lagi seorang ibu yang bertanggungjawab pada kehidupan keluargaku, suami dan anak melainkan pembantu rumah tangga ibu mertuaku. Banyak energi terkuras habis dalam relasi penuh konflik dengan Ibu mertua yang bertindak sebagai penguasa dalam keluargaku. Suamiku kemudian tidak bisa mengendalikan emosi lalu ikut memojokan aku dan membela Ibunya. Akulah yang salah dan kalah”.
Pengalaman tertindas itu terasa bagaikan pengalaman bangsa Israel di Mesir. Bangsa Mesir di bawah kuasa Firaun melakukan penindasan, kekerasan terhadap bangsa Israel. Keputusan Allah membawa keluar bangsa israel dari Mesir di bawah pimpinan Musa adalah satu pilihan yang tepat. Sejalan dengan pengalaman bangsa Israel itu, Ibu Hartinipun memutuskan untuk segera meninggalkan rumah, tinggalkan suami dan anak. Pilihannya untuk keluar dari situasi yang menindas ternyata merupakan satu pilihan yang membawa angin segar bagi kehidupan keluarganya.
Di luar sana, tepatnya di Timor Leste ia menemukan peluang kerja yang memberi harapan hidup. Ia kembali menjemput anak dan suaminya. Perjalanan keluar dari tanah kelahiran merupakan kesempatan berahmat. Mereka benar-benar merasa diri sebagai orang bebas dan mandiri menentukan pilihan hidup sendiri.
Timor Leste bagaikan tanah terjanji. Di tempat ini Ibu Hartini, suami dan anak hidup bahagia. Mereka mulai terbuka melihat potensi dalam diri yang bisa mengubah kehidupan mereka. Banyak kegiatan kreatip dan halal sesuai bakat mulai mereka kerjakan. Berkatpun mulai mengalir dalam kehidupan keluarganya hari demi hari.
Konflik memang membuat orang putusasa. Tetapi bukan demikian pada Ibu Hartini dan keluarganya. Ia berani melihat harapan hidup di masa depan, berani memutuskan pilihan yang terbaik dan berani pulah mewujudkan impiannya. “Saya tidak pernah diam. Saya selalu tergerak untuk mencari jalan terbaik di tengah kesulitan hidup keluargaku. Saya tahu kepada siapa saja aku bisa bertanya dan menemukan jalan hidup yang benar”, ucap Ibu Hartini.
Hidup manusia memang mesti mengalir terus seperti air. Sekalipun air itu harus menghadapi kesulitan tetapi ia selalu dapat menemukan jalannya. Ia harus mengalir dan memberi kehidupan. Pikiran, perasaan atau emosi bahkan cita-cita manusia pun tidak boleh terhenti dan membeku di tempatnya. Allah menciptakan manusia dengan kemampuan itu untuk terus berkreasi, terus bergerak mewujudkan keberadaannya demi hidup itu sendiri yang Allah anugerahkan kepada kita.
Mengelolah kehidupan keluarga adalah satu seni. Di dalam kesulitan apapun suami-istri mesti menemukan seni bagaimana mengembangkan pikiran, bakat dan kesanggupannya. Buah dari seni mengembangkan potensi dalam diri itu adalah semangat baru, bangkit dan bergerak menuju kemandirian dan kemerdekaan dari segala tekanan atau penindasan. Keluar dari Mesir adalah juga berarti keluar dari kemalasan, kebodohan, keangkuhan diri; berani meninggalkan satu bentuk kehidupan yang beku dan mati rasa, mati inisiatip.
Konflik apa yang sedang atau akan terjadi dalam kehidupan keluarga anda? Temukan sebab-sebanya dan mulailah dengan berani melakukan gerakan keluar dari ‘Mesir’ menuju ‘tanah terjanji’ yaitu hidup keluarga yang sejahtra, mandiri dan merdeka. Gerakan keluar dari ‘diri sendiri’ itu adalah satu seni bagaimana mengelola semua potensi dalam diri anda sendiri untuk kehidupan keluarga anda. ***
Kredit Foto: Ilustrasi (Ist)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.