MANADO, MIRIFICA.NEWS – Setelah menulis puisi per kelompok, peserta pelatihan menulis Komsos Regio MAM-PU dihantar Budi Sutedjo belajar menulis opini.
Budi menegaskan, opini menggambarkan sudut pandang seseorang, mengenai ilmu, keterampilan, kita, dan pengalaman terhadap sebuah kejadian dan kondisi.
Mereka diberi kebebasan untuk keluar dari ruang aula dan menulis di manapun yang kondusif. Ada yang tetap di aula karena ada meja, ada juga yang duduk di bawah bayangan pohon sekitar. Ada yang menjauh dari aula, menyendiri, dan mengambil waktu ‘merenung’ untuk mencari inspirasi.
Waktu fokus ini membuahkan hasil. Berikut salah satu tulisan kilat terbaik peserta:
AJARAN YANG SALAH
oleh: Sr. Fransicio Langi
“Jangan ribut, nanti dimarahi suster!”, ” Jangan nakal nanti dimarahi pastor,” “Suster, pastor, lihat dia nakal.” Kalimat ini sering dilontarkan para orangtua kepada anak-anak mereka saat berada bersama para biarawan maupun biarawati.
Kalau kita mendengar kalimat tersebut dengan sambil lalu, memang kalimat ini hanya sebuah larangan biasa agar si anak tidak nakal lagi. Tetapi, coba kita simak lebih dalam arti kalimat tersebut, sebenarnya menjadi benteng antara anak-anak dan kaum biarawan/ti.
Pemikiran anak akan terpola bahwa suster, pastor, frater, bruder itu adalah sosok pemarah. Ini akan membuat anak-anak takut untuk berada dekat dengan mereka, dan dampaknya, para kaum berjubah mengalami kesulitan untuk bisa dekat dengan anak-anak.
Maksud orangtua memang baik: agar anak mereka bersikap sopan. Namun mereka tidak menyadari bahwa yang menjadi korban dengan mendapat cap pemarah adlah kaum biarawan/ti; padahal anak-anak adalah target utama dalam evangelisasi. Mereka adalah awal dari penanaman semangat pewartaan, dan ketika dewasa mereka dapat mempertanggungjawabkan iman masing-masing, dan menjadi pewarta.
Bagaimana semua itu dapat terjadi oleh para biarawan/ti kalau telah dihambat dengan kalimat serupa? Seharusnya orangtua dapat mendekatkan kaum selibat dengan anak-anaknya.
Larangan tersebut dapat ditukar dengan kalimat lain yang tidak ‘mengorbankan’ satu pihak, misalnya, “Jangan ribut karena kita sedang berdoa,”,”Jangan nakal, itu tidak sopan”. Dengan kalimat semacam itu, anak-anak akan mengerti bahwa saat berdoa tidak boleh berisik, dan nakal itu tidak baik. Pandangan anak-anak terhadap kaum biarawan/ti pun akan berubah, memudahkan pendekatan tanpa benteng pemikiran yang tidak baik.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.