Yang Tak Terbagi
( Mesbah Kudus suami istri – 4 )
SATU gaya hidup modern yang lagi ngetop saat ini, yaitu selingkuh. Dalam salah satu kunjungan misa dan dialog di komunitas Basis Gerejani, seorang bapa tidak malu-malu mengatakan, “mo, di lingkungan ini banyak perselingkuhan”. Warga komunitas Basis terdiam. Ada suara lain yang sangat berwibawa dan penuh kuasa. “Barangsiapa yang tidak berdosa hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada wanita itu!” (Yoh. 8:7) Ini kata-kata kenabian dari sang Juru Selamat! Ia mengkawal setiap gerak langkah manusia. Apapun yang mereka lakukan hendaknya sesuai dengan maksud Allah menciptakan manusia.
Sang juru selamat tahu saat yang tepat untuk bersuara. Tanpa takut, Ia harus mengatakan yang sebenarnya. Ketika Ia mengatakan yang benar, kuasa kegelapan terancam menetap dalam hati manusia. “Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggalah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya” (Yoh 8:9).
Kejahatan yang menetap dalam uluh hati kesadaran manusia tergusur pergi. Ada rasa malu bercampur rasa salah mendalam. Mulai dari yang tertua, artinya praktik salah dan dosa itu mulai dari yang tertua. Monumen model atau keteladanan dalam hidup iman dan moralitas kita terancam roboh. Orang seenak hati mengikuti gerakan naluri kenikmatan. Ada satu keutamaan yang hilang dari kehidupan suami istri, yaitu ketahanan diri. Bobolnya ketahan diri ini disebabkan oleh kurangnya kualitas kesadaran untuk mencintai dan bertanggungjawab atas pasangan. Itu sebabnya, setiap pasangan suami istri mesti memiliki satu hati tak terbagi dan tak tergadaikan oleh apapun hanya untuk pasangan.
Warga komunitas Basis malam itu terdiam saat mendengar suara sang bapa tua :”mo, di sini ada perselingkuhan. “ Malam itu aduhai dinginnya. Tangan mereka terkatup rapat di dada pratanda ingin menyembunyikan sesuatu. Namun, di atas sana sang rembulan setia memancarkan cahayanya kepada semua makhluk di bumi. Kadang datang awan kelam membuat redup cahaya itu. Namun di balik awan cahaya rembulan tetap bersinar cemerlang.
Maraknya perselingkungan ibarat awan gelap menyelimuti kehidupan sosial masyarakat, komunitas Basis dan keluarga. Betapa dingin dan hambarnya relasi personal suami istri bagai garam kehilangan rasa saat mereka sendiri terlibat dalam perselingkuhan bahkan menjadi buah tutur warga kampong. Itulah hantu yang menakutkan masyarakat. Tetapi hantu itu rupanya sudah menjadi teman dalam kehidupan dimana orang sudah benar-benar kehilangan rasa salah melakukan hal yang menjadi momok dalam kehidupan dan relasi suami istri.
Suara sang bapa di malam itu bagai cahaya yang mengenyahkan kegelapan. Masih adakah suami –istri dan orangtua teladan yang setia menjaga api iman dan moralitas tetap bersinar di zaman ini???? Bukan hanya melalui suara kenabian . Tetapi juga lewat contoh hidup menjadi suami –istri dan orangtua kebanggaan baik pasangan, anak, sanak saudara maupun seluruh masyarakat.
Di era keterbukaan ini semua rahasia kehidupan seksualitas terbuka. Tidak ada lagi kata tabu dalam seksualitas. Semua organ seksual hingga kegiatan persetubuhan bukan rahasia lagi di semua tingkatan usia pendidikan dan masyarakat. Karena itu, Suami istri mesti menyadari bahwa sudah saatnya mereka wajib memposisikan diri sebagai pasangan ‘tahan banting’ dari terpaan badai kehidupan keluarga. Evolusi kehidupan relasi suami istri secara tahap demi tahap harus mencapai kualitas batu karang. Mereka sudah seharusnya mencontoh rasul Petrus, wadas, pengikat dan pondasi kehidupan gereja rumah tangganya.
Jika demikian, apa yang mesti dilakukan?? Bukankah mereka harus semakin membina keakraban relasi suami istri dalam seluruh sepak terjang kehidupan mereka setiap hari? Keakraban itu akan semakin solid, semakin kukuh kuat saat mereka membuka ruang kehidupan dan waktu mereka mendengarkan suara Tuhan dalam doa, dalam sabdaNya, dalam ekaristi dan dalam seluruh pengalaman hidup mereka sebagai suami istri maupun sebagai orangtua dan warga masyarakat. Bukankah suara bapa tua di tengah kedinginan malam itu adalah lonceng kematian rekasi suami istri ?
Tetapi suara itu juga menjadi tanda harapan bagi suami istri untuk semakin menyadari tugas dan panggilan mereka menjalani suatu kehidupan yang tak terbagi. Sejauh mana suami istri memberi waktu untuk meninjau kembali kehidupan relasi mereka dengan pasangan dan dengan Tuhan sendiri yang selalu setia mengasihi mereka.??? Bukankah rekoleksi, retret dan penerimaan sakramen tobat dalam rangka penguatan dan penyegaran relasi cinta suami istri menjadi kesempatan istimewa dimana mereka wajib meluangkan waktunya untuk hadir dan saling menguatkan??? Sejauhmana tanggungjawab gereja memberdayakan keluarga-keluarga sebagai dapur iman dari kehidupan gereja dalam lingkup wilayah paroki hingga komunitas Basis Gerejani??***
Kredit Foto: Ilustrasi (Ist)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.