“IBU segala keberhasilan adalah ketekunan”. Adagium ini punya makna sangat dalam. Bagi masyarakat berbudaya seni tenun ikat, seorang Ibu terlahir sebagai ibu ketekunan. Jari-jemarinya menari –nari di atas benang membentuk ikon motif demi motif. Karya seni itu tercipta dalam keheningan yang melahirkan manusia kreatif, bersahaja dan rendah hati. Intisari kehidupan batiniah ibu ketekunan terungkap melalui ikon motif yang khas dalam budaya masyarakat setempat..
Siapapun yang mau memiliki ketrampilan itu harus menyatukan diri dalam tuntutan yang sedikit memaksanya untuk tekun duduk. Kesendirian dan keheninganlah yang akan menginspirasinya. Ia belajar berproses dan menjumpai ketekunan dalam dirinya sendiri dan dalam apa yang ia hasilkan untuk kehidupan keluarga.
Itulah pengalaman bu Ani dan suaminya bapa Tian. Tatkalah krisis sosial-ekonomi menerpa kehidupan keluarga , ibu ketekunan setia menemani keluarga mereka. Awal pernikahannya dengan Tian, bu Ani menghadapi badai penghinaan dari para ibu lain sebagai orang miskin dan bodoh yang tidak tahu urus keluarga. Begitu pula Tian suaminya hampir terbunuh di rumah oleh orang-orang yang main hakim sendiri.
Pengalaman terluka secara sosial dan ekonomi itu tidak menggoncangkan iman mereka. Bu Ani dan Tian suaminya terus berdoa mohon kekuatan dari Tuhan. Mereka malah mencontoh keibuan Maria. “ Ia menyimpan semua perkara itu dalam hati dan merenungkannya” (Luk 2:19).
Dengan kekuatan rohani itu bu Ani kembali menekuni ketrampilannya dalam seni tenun ikat. Syukurlah ibunya telah dengan keras melatih bu Ani sejak kecil. Semua harta kekekayaan dari sebuah ketrampilan tenun ikat yang tersimpan dalam memorinya mulai ia wujudkan. Dalam keheningan, ibu ketekunan merealisasikan ikon motip-motip yang indah dari memorinya ke atas benang-benang putih. Kemudian memberi warna dengan zat pewarta tradisional dari akar sejenis kayu hutan yang mereka sebut “Klore”.
Motif-motif yang terekam dalam benang itu bu Ani tenun menjadi sarung adat yang dalam bahasa setempat disebut “Kwatek”. Satu jenis sarung memiliki nilai jual Rp 3 juta perlembar. “Saya meletakan di bahu beberapa lembar sarung adat dan berjalan keliling di satu kampung. Ternyata sarung-sarung itu laris terjual. Para pembeli sangat membutuhkan sarung adat itu untuk urusan belis. Lebih lagi kata mereka ketekunan dalam seni tenun ikat saat ini mulai terabaikan. Karena itu sarung adat memang semakin langkah dan nilai tawarnya pun sungguh menggiurkan”, ucap bu Ani.
Pengalaman ini memacu bu Ani terus menekuni ketrampilannya dalam seni tenun ikat. Tian suaminya mendukung pekerjaan bu Ani. Mereka membuat aturan harian dan pembagian tugas jelas yang mendukung usaha tenun ikat. Semua pekerjaan mereka lakukan dengan baik. Doa, kebersamaan dan budaya disiplin dalam kerja membuahkan hasil yang nyata.
Kerukunan hidup kedalam keluarga terpancar dalam kehidupan sosial masyarakat. Bu Ani mengalami hal yang berbeda. Orang yang dulu menghina dan melukai martabat keibuannya kini menjadi teman. Dalam seni tenun ikat, bu Ani sungguh-sungguh menjumpai ibu ketekunan yang mengubah seluruh kehidupannya menjadi ibu yang kreatip, bersahaja, rendah hati dan pengampun.
Kreasi dan hasil dari seni tenun ikat telah menjadi satu pos penerimaan dan usaha produktif yang sangat menunjang investasi pendidikan anak-anak mereka. Kepada para ibu, bu Ani berpesan: “Kesulitan atau tantangan apapun selalu membawa berkat melimpah untuk kehidupan keluarga. Hanya dengan mata, telinga dan hati yang bening serta doa dan budaya kerja yang berdisiplin berkat itu dapat mengalir terus dalam kehidupan keluarga dan anak-anak”.
Itulah pesan dari mulut seorang ibu yang terlahir kembali dalam perjumpaannya dengan ‘Ibu Ketekunan’ yang kian terabaikan dalam budaya seni tenun ikat.***
Oleh: Romo Antonius Prakum Keraf,Pr
Kredit Foto: Seorang ibu dari kampung Bena,Kabupaten Ngada sedang menenun, id.wikipedia.org
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.