Beranda OPINI Editorial Berapa Kali Seorang Imam Boleh Merayakan Misa Sehari?

Berapa Kali Seorang Imam Boleh Merayakan Misa Sehari?

Priest celebrate mass at the church

Non licet sacerdoti plus semel in die celebrare, exceptis casibus in quibus ad normam iuris

Tentang Berapa Kali Seorang Imam Boleh Merayakan Misa Sehari?

RD. Rikardus Jehaut

 Pengantar     

Setelah membaca tulisan kami sebelumnya: “Tidak Diwajibkan Secara Hukum Tapi Sangat Dianjurkan: Tentang Misa Setiap Hari Untuk Imam”, seorang rekan imam, melalui WhatsApp, bertanya demikian:“Bolehkan seorang imam menentukan atau memutuskan sendiri berapa banyak Misa yang ia rayakan atau berapa banyak perayaan konselebrasi yang boleh ia ikuti dalam sehari atau haruskah ia perlu mendapat izinan dari Uskup Diosesan? Apakah seorang imam, yang tidak terhalang hukum, dapat merayakan Misa atau ikut konselebrasi dalam sehari sebanyak yang ia mau, kapan dan dimana saja, sejauh ia available ataukah adakah ketentuan umum yang mengatur hal ini”. Pertanyaan seperti ini barangkali sering terdengar dan menjadi bahan perbincangan di antara rekan-rekan imam ataupun diantara umat Allah. Praktek sebagian imam yang “sibuk ke sana kemari”merayakan Misa Kudus lebih dari sekali dalam sehari seringkali menimbulkan pertanyaan sinikal yang tajam. Hal seperti ini tentu perlu disikapi secara serius.

Pertanyaan rekan imam diatas, hemat saya, penting untuk direfleksikan lebih lanjut.  Bukan saja karena pertanyaanya in se berbobot, tapi lebih dari itu, lahir dari sebuah kegelisahan pastoral yang tertempias keluar melihat adanya praktek atau kebiasaan yang layak untuk dipertanyakan. Untuk membantu kita dalam pergumulan reflektif ini, kita perlu melihat kembali (selayang pandang) latarbelakang sejarah, mencermati berbagai ketentuan normatif sebagaimana tertuang dalam Kitab Hukum Kanonik dan berbagai norma liturgis Gereja universal yang berlaku hingga saat ini.

Meneropong Sejarah

Praktek atau kebiasaan merayakan misa harian mulai berkembang luas menjelang akhir abad keenam. Pada masa itu para imam merayakan misa Kudus sebanyak dua atau tiga kali, bahkan lebih dalam sehari sesuai dengan keinginan atau pertimbangan imam yang bersangkutan. Kebiasan ini mulai berkurang setelah adanya ketentuan dari Gereja yang membatasi perayaan misa harian tersebut (Bdk. Gratian, De Conseer., dist. I, can. 53).

Paus Alexander II lewat dekritnya menetapkan bahwa seorang imam hanya diperbolehkan merayakan misa satu kali sehari. Izinan merayakan misa untuk kedua kalinya pada hari yang sama – dan tidak lebih dari itu – hanya dalam kasus orang yang meninggal. Penegasan ini ditindaklanjuti oleh Paus Inosensius III yang menetapkan bahwa seorang imam harus merayakan misa sekali sehari; perayaan Misa Kudus sebanyak tiga kali hanya boleh dilakukan pada hari raya Natal.  Pertanyaan yang sering mengoda akal ialah mengapa ada pembatasan seperti ini? Jika kita mempelajari berbagai catatan sejarah, alasan dibalik pembatasan seperti ini adalah untuk melawan berbagai praktek abusif yang berkembang pada waktu itu di mana ada imam yang merayakan misa sebanyak yang ia kehendaki dalam sehari karena alasan devosi pribadi kepada Sakramen Maha Kudus dan ada pula yang didorong oleh motivasi ekonomis, yakni demi mengumpulkan stipendium sebanyak-banyaknya (Bdk. J. Jungmann, Missarum Sollemnia, Torino 1954, hlm. 188).

Norma umum dan Pengecualian

Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, kan. 905, § 1 ditegaskan bahwa: “Exceptis casibus inquibus ad normam iuris licitum est pluries eadem die Eucharistiam celebrare aut concelebrare, non licet sacerdoti plus semel in die celebrare”.  Artinya bahwa seorang imam tidak boleh merayakan misa lebih dari satu kali sehari, kecuali dalam kasus dimana menurut ketentuan hukum diperbolehkan merayakan ekaristi atau berkonselebrasi lebih dari satu kali pada hari yang sama. Norma kanon ini menggarisbawahi kembali ketentuan yang tertuang dalam KHK 1917, kan. 806, § 1  dan Instruksi yang dikeluarkan pada 1967 oleh Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen (Bdk. Sacra Congregazione dei Riti, Istruzione Eucharisticum mysterium, 25 Mei 1967, dalam “Enchridion Vaticanum”, 2, Bologna, hlm. 1137).  Norma kanon 905, § 1 ini memuat  beberapa hal penting:

Pertama, ordinarily seorang imam tidak boleh merayakan Misa lebih dari sekali dalam sehari. Norma kanon tidak mencantumkan secara eksplisit alasan di balik pembatasan seperti ini. Namun jika kita menelusuri sejarah dan menelaah berbagai dokumen Magisterium Gereja, alasan dibalik pembatasan frekuensi perayaan Misa Kudus adalah demi menjaga sakralitas Sakramen Ekaristi. Jika seorang imam merayakan Misa Kudus terlalu sering dalam sehari, maka hal ini dapat membawa risiko tertentu: kesakralan liturgi menjadi berkurang, Ekaristi berubah menjadi tindakan rutin belaka dan imam memposisikan dirinya sebagai “tukang” misa.  Pembatasan ini juga dimaksudkan untuk melindungi imam dari godaan untuk merayakan misa lebih dari sekali dalam sehari demi mendapatkan stipendium sebanyak-banyaknya. Di samping itu, pembatasan ini juga dibuat demi menghindari misunderstanding berkaitan dengan hakekat perayaan Ekaristi. Ekaristi bukanlah tindakan privat seorang imam, melainkan tindakan Kristus sendiri dan Gereja (bdk. kan. 899, §1).  Oleh karena itu, seorang imam tidak dapat sesuka hati, kapan saja ia mau, merayakan Ekaristi sebanyak-banyaknya dalam sehari atas dasar alasan devosi pribadi terhadap Sakramen Maha Kudus atau demi mengejar kekudusan pribadi.

Kedua, norma kanon menetapkan pengecualian: “Exceptis casibus inquibus ad normam iuris licitum est pluries eadem die Eucharistiam celebrare aut concelebrare”, artinya bahwa kendati seorang imam tidak boleh merayakan Misa lebih dari sekali dalam sehari namun ada pengecualian terhadap norma yang memberi kemungkinan bagi seorang imam untuk merayakan Misa atau berkonselebrasi dalam perayaan ekaristi dua atau tiga kali sehari. Norma kanon ini merujuk pada norma liturgis (Bdk. Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen, Institutio Generalis Missalis Romani, editio typical tertia, 2000, no. 204) yang menyatakan bahwa untuk alasan khusus, dengan tetap mempertimbangkan makna dari ritus atau dari pesta yang dirayakan, seorang imam diberi kewenangan untuk merayakan Misa atau konselebrasi lebih dari sekali pada hari yang sama.

Secara eksplisit norma liturgis ini menyatakan bahwa imam yang telah merayakan atau konselebrasi Misa Krisma pada Hari Kamis Putih dapat merayakan atau konselebrasi Misa Malam Perjamuan Tuhan; imam yang telah merayakan atau konselebrasi Misa Malam Paskah dapat merayakan atau konselebrasi Misa Minggu Paskah;  pada Hari Raya Natal, semua imam dapat merayakan atau konselebrasi Misa tiga kali sejauh perayaan tersebut dirayakan pada jam yang telah ditetapkan; pada peringatan Arwah semua orang beriman, semua imam boleh merayakan atau konselebrasi Misa tiga kali sejauh  dirayakan dalam waktu yang berbeda; imam dapat  berkonselebrasi dalam perayaan yang memiliki makna khusus, seperti konselebrasi dengan Uskup Diosesan atau delegatus-nya pada kesempatan sinode atau kunjungan pastoral atau konselebrasi pada pertemuan khusus para imam.

Wewenang Ordinaris Wilayah

Norma kanon 905, § 2 memberikan beberapa ketentuan tambahan: “Si sacerdotum penuria habeatur, concedere potest loci Ordinarius ut sacerdotes, iusta de causa, bis in die, immo, necessitate pastorali id postulante, etiam ter in diebus dominicis et festis de praecepto, celebrant”. Artinya bahwa jika ada kekurangan imam, Ordinaris wilayah dapat mengizinkan para imam, untuk merayakan misa lebih dari sekali dalam hari yang sama.

Ordinaris Wilayah dapat memberikan izin kepada seorang imam untuk merayakan misa dua kali (bination) dalam hari yang sama jika beberapa prasyarat mendasar berikut ini terpenuhi:

Pertama, jika ada kekurangan imam (si sacerdotum penuria habeatur). Kekurangan imam yang dimakud tidak hanya terbatas pada kekurangan absolut melainkan juga berhubungan dengan kebutuhan pastoral pada waktu itu, misalnya tidak ada imam lain yang dapat mempersembahkan Misa pada waktu atau tempat yang telah ditentukan atau tidak ada imam yang bersedia atau ada imam, namun yang bersangkutan terhalang secara hukum untuk merayakan Misa publik.

Kedua, jika ada alasan yang wajar (iusta de causa). Alasan yang wajar ini tidak harus berat atau bersifat publik; cukup bahwa hal ini demi memenuhi kebutuhan devosional khusus dari sekelompok umat beriman atau berhubungan dengan perayaan ritual tertentu, misalnya misa Nikah, misa tahbisan imam, misa pemakaman.

Di lain pihak, izinan untuk merayakan misa tiga kali (trination) dalam sehari dapat diberikan pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib jika ada kekurangan imam (dengan penjelasan yang sama seperti diatas) dan jika ada kebutuhan pastoral (necesitas pastoralis). Kriteria terkait kebutuhan pastoral yang dimaksud di sini sangat luas, dan mencakup kebutuhan khusus dari kelompok umat tertentu meskipun hal ini diaplikasikan secara eksklusif pada hari-hari raya yang diwajibkan.

Penting untuk diingat bahwa kondisi “kekurangan” imam untuk merayakan Misa dua atau tiga kali dalam sehari tidak dapat dibenarkan jika alasannya demi kenyamanan pribadi imam yang bersangkutan. Ordinaris Wilayah adalah otoritas yang berhak dalam menilai berbagai alasan sebelum memberikan kewenangan bagi seorang imam untuk merayakan Misa sebanyak dua atau tiga kali dalam sehari. Yang pasti bahwa kewenangan seperti ini tidak dapat diberikan atas dasar alasan devosi pribadi imam yang bersangkutan (Bdk. M. Morgante, I sacramenti nel Codice di Diritto Canonico, Roma 1984, hlm. 42). Ordinaris Wilayah dapat menetapkan norma partikular menyangkut fakultas yang diberikan kepada imam untuk merayakan misa lebih dari dua atau tiga kali dalam sehari di dalam wilayah keuskupannya.

Wewenang Tahta Suci

Tahta Suci adalah otoritas tertinggi yang berwewenang untuk mengubah ketentuan normatif kan. 905 menyangkut banyaknya misa yang boleh dirayakan oleh seorang imam (Bdk. Communicationes 15, 1983, hlm. 192). Dengan kata lain, hanya Tahta Suci yang berhak memberikan kewenangan kepada seorang imam untuk merayakan misa dalam sehari yang melampaui batasan yang ditentuan dalam kanon ini.

Penegasan magisterium sebagaimana tertuang dalam Communicationes 15 tahun 1983 ini membuat invalid, untuk selanjutnya, praktek merayakan misa lebih dari tiga kali sehari pada hari-hari yang diwajibkan atas dasar penafsiran yang sepihak terhadap maksud Legislator. Penegasan ini sekaligus mencegah kemungkinan bagi Ordinaris Wilayah untuk memberikan kewenangan secara verbal kepada imam di wilayah keuskupannya untuk merayakan misa lebih dari tiga kali dalam sehari.

Apakah hal ini berarti bahwa seorang Uskup Diosesan sama sekali tidak memiliki kuasa dalam memberikan kewenangan?  Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu mencermati ketentuan kanon 87: “Episcopus diocesanus fideles, quoties id ad eorundem spiritual bonum conferre iudicet, dispensare valet in legibus disciplinaribus pro suo territorio vel suis subditis a suprema Ecclesiae auctoritate latis…”, artinya bahwa uskup diosesan dapat memberi dispensasi dari undang-undang disipliner universal maupun partikular, yang diberikan oleh kuasa tertinggi Gereja untuk wilayahnya atau bawahanya, jika menurut penilaiannya berguna untuk kebaikan spiritual umat beriman. Jika kita menarik hubungan antara norma kanon ini dengan wewenang Tahta Suci sebagaimana disinggung di atas maka kita dapat mengatakan bahwa Uskup Diosesan dapat memberikan kewenangan kepada para imam di wilayah keuskupannya untuk merayakan ekaristi tiga kali dalam sehari dan empat kali pada hari Minggu dan pada hari-hari raya yang diwajibkan jika memang menurut penilaianya hal ini membawa manfaat rohani yang besar bagi umat Allah, attamen ! untuk maksud ini, ad normam iuris, Uskup Diosesan harus meminta izin kepada Tahta Suci.

Penutup

Adanya pembatasan frekuensi perayaan misa dalam sehari bagi para imam, hemat saya, harus dilihat secara positif. Legislator Gereja Universal tidak bermaksud untuk membendung semangat seorang imam dalam mengejar kesalehan, sebaliknya, justru membantu imam dalam menghayati ekaristi dengan sebaik-baiknya. Perayaan Ekaristi menuntut persiapan pribadi yang cukup dan keterlibatan diri yang intens, jiwa dan raga, dan bukan sekedar komat kamit membaca rubrik Tata Perayaan Ekaristi secara cepat tanpa penghayatan. Perayaan Ekaristi yang dirayakan sekali saja dalam sehari – jika sungguh-sungguh dipersiapkan dan dirayakan dengan baik dan benar – dapat membawa manfaat rohani yang besar bagi imam yang bersangkutan dan umat Allah yang berpartisipasi di dalamnya. Pembatasan ini juga menjauhkan imam dari godaan untuk menjadikan Misa sebagai ladang untuk mencari nafkah dengan mengumpulan stipendium sebanyak-banyaknya. Sejarah telah menorehkan catatan kelabu tentang hal ini.

Pada titik ini, peran seorang Uskup Diosesan sangat penting. Sebagai orang yang dipercayakan dengan segala kuasa berdasarkan jabatan yang dibutuhkan dalam menjalankan tugas pastoralnya (bdk. kan. 381, §1), ia wajib memajukan disiplin umum untuk seluruh Gereja dan mendesak pelaksanaan undang-undang gerejawi serta menjaga agar penyalahgunaan jangan menyusup ke dalam disiplin gerejawi, khususnya menyangkut perayaan sakramen (bdk. kan. 392), casu quo menyangkut ketentuan normatif kanon 904 dan norma liturgis berkaitan dengan berapa kali seorang imam dapat merayakan Misa dalam sehari.

Baca juga opini terkait: https://www.mirifica.net/2018/06/19/tidak-diwajibkan-secara-hukum-tapi-sangat-dianjurkan-tentang-misa-setiap-hari-untuk-imam/

 

Editor: RD. Kamilus

Kredit Foto: https://www.google.co.id/