Mengakhiri Konflik Papua
Dugaan pelanggaran HAM di tanah Papua diangkat dalam Sidang Umum PBB 2016 oleh tujuh Negara Pasifik yakni Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Tonga, Tuvalu, Kepulauan Marshaal, dan Palau. Pembahasan isu Papua ini memperlihatkan bahwa masalah Papua belum diakhiri dan telah terjadi eksternalisasi isu Papua.
Kita tidak mengharapkan semakin banyak lembaga internasional dan negara turut membahas konflik Papua di masa mendatang. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengakhiri konflik Papua tanpa tekanan dari pihak eksternal.
Mengantisipasi berkembangnya konflik Papua menjadi isu internasional, Kementerian Luar Negeri mendorong pemerintah harus bekerja keras mempercepat pembangunan Papua (Kompas, 29/9). Dorongan kemlu ini tepat karena Papua membutuhkan pembangunan.
Namun, selain pembangunan, Papua mendambakan juga perdamaian. Maka tepatlah pernyataan pemerintah pusat melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto, yang mengangkat isu pentingnya pembangunan dan perdamaian di Papua.
Konflik vertikal
Pembangunan dan perdamaian sudah lama didambakan oleh warga Negara Indonesia (WNI) yang mendiami bumi cenderawasih. Impian masyarakat untuk menikmati kedua hal ini terhambat karena adanya konflik Papua yang berlangsung sejak Papua diintegrasikan ke Republik Indonesia tahun 1963 hingga kini.
Konflik Papua yang berlangsung selama 53 tahun ini pada kodratnya merupakan konflik vertikal, yakni perlawanan antara negara dan orang Papua. Negara dalam hal ini direpresentasikan oleh aparat keamanan – baik TNI maupun PORI -berhadapan dengan orang Papua, sekalipun tidak semuanya, yang direpresentasikan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB); sayap militer dari Organisasi Papua Merdeka.
Perkelahian di antara kedua kelompok ini mengakibatkan tersendatnya kegiatan pembangunan dan menewaskan tidak sedikit WNI –baik sipil maupun anggota TNI dan POLRI – di Papua. Selama konflik ini belum diakhiri, pembangunan dan perdamaian akan sulit diwujudkan, serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akan terus terjadi di tanah Papua.
Lalu bagaimana mengakhiri konflik vertikal ini? Pemerintah sebenarnya sudah berupaya mengatasi konflik Papua ini dengan cara yang berbeda-beda.
Sejak 1963 hingga 1998, pemerintah menekankan pendekatan keamanan. Implementasi pendekatan ini terlihat dalam bentuk, antara lain, operasi-operasi militer yang secara masif dilancarkan untuk menumpas gerakan separatis Papua, dan pemberlakuan Papua sebagai daerah operasi militer (DOM).
Pendekatan ini terbukti tidak membuahkan hasil. Malah justru memperkokoh nasionalisme Papua. Generasi muda Papua yang kini turun berdemonstrasi di sejumlah kota di Indonesia adalah mereka yang lahir pada era DOM ini. Mereka mewarisi ingatan yang terluka (wounded memory) sebagai akibat dari pendekatan keamanan.
Pendekatan keamanan ini berakhir ketika Jenderal Wiranto selaku Panglima TNI dan Menteri Pertahanan dan Keamanan (ketika itu) mencabut status DOM dari Papua tahun 1998. Selanjutnya pemerintah menggunakan pendekatan kesejahteraan yang diawali dengan pemberian status Otonomi khusus (Otsus). Pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua.
Namun, selama 15 tahun pemberlakuan Otsus ternyata tak berhasil meredam konflik Papua. Masalah-masalah fundamental yang menjadi penyebab konflik belum tersentuh karena ketidakkonsistenan pemerintah pusat dan daerah dalam mengimplementasikan UU Otsus Papua.
Pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla melancarkan percepatan pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Namun, pada saat yang bersamaan, konflik Papua -yang adalah urusan domestik Indonesia -sudah berkembang menjadi masalah pasifik. Bahkan, masalah itu kini sudah mulai dibahas dalam Sidang Umum PBB.
Pemerintah juga berusaha meredam konflik Papua dengan cara melarang orang Papua berdemontrasi mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), menangkap dan memenjarakan anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang mengorganisasi demonstrasi rakyat Papua, menerapkan pasal makar terhadap pendukung ULMWP, dan melarang mahasiswa Papua yang melakukan tindakan separatis tinggal di kota-kota di luar Papua. Semua cara ini tidak menyelesaikan konflik Papua.
Peta jalan
Apabila pemerintah sungguh berkomitment untuk menyelesaikan konflik Papua yang menghambat pembangunan dan perdamaian, perhatian utama perlu difokuskan pada penanganan masalah-masalah yang menyebabkan adanya konflik tersebut.
Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, 2008) menunjuk empat masalah utama yang mendorong adanya konflik Papua. Keempat masalah tersebut adalah (1) kegagalan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur, (2) diskriminasi dan marginalisasi terhadap orang asli Papua, (3) kekerasan negara terhadap orang Papua yang berakibat pada terjadinya pelanggaran hak-hak asasi manusia, (4) dan perbedaan tafsiran mengenai sejarah integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia.
Satu hal yang sangat diperlukan saat ini adalah sebuah peta jalan penyelesaian konflik Papua, yang isinya memperlihatkan penanganan terhadap keempat masalah pokok tersebut secara bersamaan. Pemerintah perlu menyusun peta jalan tersebut.
Dengan adanya peta jalan ini, semua pihak dapat mengetahui bagaimana konflik Papua akan diakhiri. Semua pemangku kepentingan perlu juga dilibatkan dalam proses pembahasan peta jalan tersebut sehingga pembangunan dan perdamaian di tanah Papua menjadi sebuah usaha bersama.
Kredit Foto: RD. Neles Tebay, pengajar pada STF Fajar Timur dan Koordinator Jaringan Damai Papua di Abepura
Imam diosesan (praja) Keuskupan Weetebula (Pulau Sumba, NTT); misiolog, lulusan Universitas Urbaniana Roma; berkarya sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi Sosial (Komsos) KWI, Juli 2013-Juli 2019