Berbagai kejadian memilukan dan memalukan akhir-akhir ini membuat bangsa ini kian kehilangan rasa optimistis untuk keluar dari krisis.
Busung lapar, polio, kurang gizi, kelaparan, krisis bahan bakar minyak, pendidikan menurun, korupsi dan pemberantasannya, narkoba, penegakan hukum yang payah, ketidaknyamanan fasilitas pelayanan publik, dan seterusnya, membuat rasa optimisme menjadi bangsa yang kuat semakin menipis.
Optimisme mulai pudar ketika sebagian besar elite bangsa mulai kehabisan empatinya terhadap berbagai persoalan yang menimpa bangsa. Busung lapar, misalnya, belum berhasil membuat elite bangsa ramai-ramai bersolidaritas mengeluarkan sebagian depositonya untuk membantu mengurangi beban penderitaan.
Empati lahir dari ketulusan hati. Namun, meski elite memiliki nurani, tetapi empati terhadap persoalan bangsa belum menjadi bagian dari cara mereka melihat, merasa, dan memikirkan bangsa. Realitasnya, empati kian lama kian tidak dianggap sebagai bagian terpenting proses bangsa keluar dari krisis. Jangankan bergerak menjadi simpati, sebagai sikap hidup, nyatanya rasa empati pun kian hilang dari sanubari.
Tak pernah dibatinkan
Bangsa ini telah kehilangan kepercayaan diri sebagai kaum yang mampu bergerak bersama untuk memiliki dan meraih harapan yang tersisa. Harapan yang dinantikan tak kunjung datang karena kita melupakan hal yang paling mendasar sebagai bangsa, yakni tidak berani melihat sejarah.
Sejarah sebagai bangsa tidak pernah dibatinkan dalam kehidupan bersama karena hanya ditulis oleh jenderal pemenang perang dan selalu dimanipulasi untuk melestarikan kekuasaan.
Katanya, kebesaran dan adidaya suatu bangsa bisa ditengok dari bagaimana sejarah suatu bangsa dibangun. Nyatanya, sejarah kita lepas dari pembatinan. Sejarah kita hanya menjadi materi pendidikan di sekolah dan perdebatan yang membosankan.
Akibatnya, sikap obyektif tidak menjadi bagian dari kultur kehidupan. Hidup hanya dimaknai apa yang menyenangkan indrawi. Kebijakan diambil tanpa memedulikan dasar hukum. Semua serba kacau, serba bertentangan.
Pertentangan demi pertentangan boleh dijadikan ukuran bagaimana demokrasi bangsa dihargai. Namun, pertentangan itu hanya tameng bagi elite untuk mengelabui publik bahwa bangsa ini sudah demokratis. Seolah-olah demokrasi hanya sekadar berbeda pendapat. Seolah demokrasi hanya berisi pertentangan dan boleh mengabaikan kepentingan yang lebih besar, yakni kesejahteraan rakyat.
Bangsa yang tak pernah membaca dan membatinkan sejarah adalah bangsa yang tidak memiliki pathos, yakni bangsa yang sedikit demi sedikit menghilangkan ingatan secara kolektif akan nilai-nilai ketulusan dan kejujuran. Yang ada adalah ambisi politik dan kekuasaan untuk menguasai dan menipu publik.
Dalam kenyataannya, uang menjelma menjadi monster baru dalam dinamika demokrasi. Dalam pemilihan gubernur, bupati/walikota, pejabat, dan pos-pos kekuasaan lain, uanglah yang berbicara, bukan nurani.
Tanpa pertimbangan akal
Uang juga berbicara dalam berbagai perumusan kebijakan negara. Berbagai aturan dibuat tanpa ada pertimbangan akal sehat dan nurani. Tanah boleh digusur, orang boleh ditipu. Semua dibungkus dalam aturan yang disahkan atas nama bersama.
Kita tidak menyangkal karena sering kali aturan dibuat sebagai bentuk deal dengan cukong. Dengan bahasa sarkastik, aturan dibuat karena ada pesanan para cukong. Para cukong itu, di negeri ini, merasa paling berkuasa.
Negeri ini sudah dipenuhi para cukong berdasi yang mengatur deal demi deal dengan politisi.
Dan deal tentu secara logis dibuat dengan sama sekali meminggirkan kepentingan rakyat. Lalu, di mana posisi rakyat dalam pertarungan dan perumusan deal-deal antara mafia, politisi busuk, makelar politik, pemodal hitam, atau para cukong?
Posisi rakyat amat dilematis karena tak berdaya menghadapi semua ini. Sudah lama rakyat tidak memiliki kekuatan dan minim daya tawar akibat sejak lama ditipu oleh aturan-aturan menyesatkan. Selama ini, publik tidak pernah mendapat kecerdasan yang membuat mereka paham mengenai demokrasi sebenarnya. Warga tidak pernah mendapat pendidikan politik memadai.
Partai politik, entah besar entah gurem, perilakunya masih zaman Orba, tidak berubah. Yang menjadi orientasi partai, bagaimana menguasai aset negara sebanyak-banyaknya untuk kepentingan diri elite dan partainya! Dalam kategori Maslow, kelompok politik ini masih dalam proses pemenuhan kebutuhan paling mendasar, yakni rasa kenyang!
Partai hanya akan berbunyi bila dipandang ada kepentingan politik praktis yang menguntungkan. Karena itu, jangan harap partai memiliki empati terhadap berbagai penderitaan bangsa. Jangankan peduli penegakan hukum, peduli busung lapar atau bencana alam pun amat rendah.
Inilah yang membuat negeri ini kian kehilangan daya nalar dan hati jernih. Negeri yang serakah. Negeri yang menghasilkan orang tidak tahu diri, tidak sadar atas kemampuan dan keterbatasannya.
Negeri dengan penghuni yang berlomba-lomba ingin menduduki kekuasaan, tetapi tidak memiliki sikap kenegarawanan babar blas.
Negeri kita sedang menderita penyakit, akut dan kronis. Diperlukan kesadaran kolektif yang bisa mendobrak semua kebekuan. Bencana di Aceh hanya menghasilkan simpati sesaat, busung lapar belum menghasilkan elite-elite dengan empati yang tangguh. Lalu, dengan cara apa bangsa ini harus diajar dan dididik?
BENNY SUSETYO Pr Budayawan
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.