JAYAPURA,MIRIFICA.NET- Apa reaksi anda ketika mendengar atau membaca kisah seseorang yang mengatakan menulis itu mudah? Pertanyaan ini sengaja disampaikan narasumber Indonesia Menulis, Budi Sutedjo kepada peserta workshop menulis pada Kamis (6/8) di rumah retret Maranatha, Jayapura.
Peserta yang nampak antusias mengikuti workshop tersebut spontan saja memberikan beragam jawab. Pada umumnya peserta mengatakan jika pengalaman stres, “mati aku, duh susahnya. Bisakah kewajiban ini diganti dengan tugas lain, sering bahkan selalu menjadi tantangan awal saat menulis.
Berbicara di hadapan para calon imam, Budi Sutedjo mengisahkan pengalaman awal pergumulannya menjadi penulis. Ia menuturkan bahwa ia sempat stres ketika hendak menulis. Ia sendiri bukan berasal dari jurusan bahasa, namun berkat dorongan yang kuat dari dalam dirinya, kini ia telah menghasilkan sekitar 630 buku. “Jangan katakan menulis itu kalau ada bakat dalam diri seseorang. Orang berbakat menulis itu karena sudah mulai menulis dan sukses setelah memulai sesuatu,” katanya.
Pena mengubah dunia
Penggagas “Indonesia Menulis” itu mengajak peserta untuk kembali melihat sejarah ketika pena para penulis mampu mengubah dunia. “Lihatlah pena para penulis Indonesia yang telah mengubah dunia. Kartini menulis pada usia 22 tahun, ia menulis di Media Internasional yang mampu menggoncangkan monarki di Eropa oleh karena pertanyaan-pertanyaan kritis seputar etika bangsa Belanda sebagai penjajah.Tulisan Kartini yang kedua ketika ia menggoncangkan monarki Belanda. Akhirnya Ratu Belanda terpikat dan memberikan beasiswa kepada Kartini. Soekarno, 44 tahun, menulis di atas secarik kertas gagasan-gagasan yang kemudian berkembang menjadi Pancasila.
“Bagi anda, minimal anda mampu mengubah dunia di sekitar anda. Kalau itu yang diinginkan, maka inilah kesempatan bagi anda sebagai calon imam untuk mulai menulis. Masalahnya, apa visi anda. Apakah anda hadir di tempat workshop ini karena sedang menjalankan tugas pimpinan, atau karena anda mengikuti kemauan pimpinan, atau sekedar mengikuti lokakarya, atau menyalurkan hobi menulis. Atau anda punya visi besar untuk bangsa ini, untuk Gereja yang kita cintai ini,” demikian Sutedjo ketika menantang peserta untuk bangkit dan mulai menulis.
Anda adalah harapan Indonesia. Anak-anak yang saaat ini sedang belajar di bangku sekolah dasar sedang menaruh harapan pada generasi pendahulu untuk dapat membagikan pengetahuan dan pengalaman hidupnya dengan menulis.
Pentingya tulisan para (calon) imam
Tidak dapat dibayangkan bahwa dengan tulisan, para (calon) imam dapat dikenal dan diterima baik oleh umat dimanapun imam itu berada. dan dibaca oleh umat, mampu mengubah hati mereka. Dengan semakin pesatnya perkembangan media informasi saat ini, Indonesia mulai memasuki era ekonomi informasi, informasi sebagai komoditas. Setiap saat orang butuh informasi. Sejak bangun tidur orang langsung pergi mencari informasi yang terjadi dan berkembang hari itu.
Berkenaan dengan kebutuhan akan informasi, lanjut Sutedjo, informasi apa yang dicari umat berpendidikan? Menurutnya, kebutuhan umat akan informasi saat ini meliputi ulasan tentang firman yang dapat disebarluaskan melalui audio, video maupun tulisan, termasuk pengalaman akan Allah melalui upacara liturgial dan kehidupan sehari-hari.
Kredit Foto: Budi Sutedjo ketika memberikan pelatihan menulis bagi para calon imam di Rumah retret Maranatha, (Foto: Dok.Komsos KWI)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.