SABTU sore itu seperti biasa Pk 15.30 bel pastoran berdering lembut dan singkat, tanda aku sudah dijemput oleh seorang ibu volunteer (bekerja tanpa gaji/honor) dan suster Maria Grazia untuk mempersembahkan Perayaan Ekaristi di rumah sakit pusat untuk pengobatan kanker di Torino, Italia dan mengunjungi pasien-pasien hebat di sana (Suster Agnesia yang biasa menemaniku sudah berangkat liburan di Pulau Sardegna, tanah kelahirannya).
Sinar matahari yang panas menyengat saat aku membuka pintu pastoran sedikit menyuntikan sinyal malas ke dalam rongga-rongga otakku, tetapi hatiku berkata : “Ayo jangan kalah dengan malasmu, seorang pekerja pembersih jalan telah terjemur 8 jam sehari, rasa panasmu belumlah apa-apa dibandingan rasa panas yang mereka rasakan.”
Mobil Fiat berwarna biru 2 pintu telah siap mengantarku (istilah 2 pintu jangan disamakan dengan mobil-mobil canggih serta super mahal seperti yang ada di Indonesia. Mobil 2 pintu artinya : mobil kecil tua tahun 80-an yang hanya berkapasitas 4 orang. Cat biru mudanya sudah mulai banyak yang terlepas di sana-sini, asesoris interior mobil hanya setir dan tape yang mungkin sudah lama sekali tidak dapat lagi memutar lagu-lagu merdu jaman Diana Ross. AC??? Angin cepoi-cepoi, membuat setiap orang di dalamnya tampak seperti bolu gulung dengan selai stroberi di dalam lekuk-lekuk 360 derajatnya yang sedang dipanggang di atas oven berapi sedang.
Yang membuat aku kagum adalah sang supir. Maria Lena namanya, berumur 50-an seorang pengajar honorer di taman kanak-kanak. Dia tidak menikah, cukup puas dengan 11 kucing peliharaan di rumahnya. Bulu-bulu kucing dan aroma …… kucing menambah parfum bunga gladiol kering yang ada di dalam mobil itu. Maria Lena menjadi seorang volunteer sejak masa mudanya. Dia baktikan hidupnya untuk orang-orang sakit dengan mengunjungi mereka. Di dalam diri orang-orang yang menderita sakit , dia menemukan semangat dan tujuan hidupnya, HIDUP UNTUK SESAMA. Sungguh wanita yang berhati mulia.
Di sepanjang jalan kulihat ladang-ladang jagung mulai ranum bulir-bulirnya, musim panen hampir tiba. Kulihat perempuan-perempuan imigran Afrika dan Rumania sedang berdiri di pinggir jalan dengan latar belakang pohon-pohon randu nan lebat. Tak jarang daun-daunnya bergoyang sendiri tanpa ada semilir angin yang menggerakkannya. Apa yang mereka lakukan? Mereka memegang payung berwarna warni, pakaian super mini dan riasan mencolok di wajah mereka. Oh my God, ternyata mereka PS… ups.. di tengah panas terik 40 ‘C, jam setengah empat sore?
Tapi pikiranku saat itui sedang tidak mau diganggu oleh eksistensi mereka di desa ini. Hati dan pikiranku sedang terpusat dan terarah pada kata-kata apa yang aku akan ucapkan saat bertemu dengan pasien-pasien di rumah sakit.
Sore itu entah malaikat apa yang mendampingiku, sebab semua pasien menerima kunjungan kami dengan gembira. Semua pasien meminta komuni kudus, tanpa ditawari terlebih dahulu. Kegembiraan hatiku jauh melebihi mbok-mbok penjual tempe di pasar yang semua tempe dagangannya diborong habis pada pukul 8 pagi. Tak sedikit dari pasien-pasien senior di RS ini yang langsung menyapaku: “Don Josepe, Indonesiano….” (wow what is this??? Aku sudah mulai dikenal oleh mereka, thank God). Suster yang menemaniku pun terheran-heran, mengapa hampir semua pasien bersedia menerima komuni (soalnya waktu minggu pertama kunjungan kami dari 15 pasien hanya 2 yang mau menerima komuni). Terima kasih Tuhan untuk kemurahanMu, doa dalam relung hatiku yang terdalam.
Tiba saatnya aku masuk ke kamar 418, dari kaca pintu kulihat pasangan suami istri sedang berdoa di dalamnya. Keduanya menggunakan masker yang menutupi mulut dan hidung mereka. Maria Lena dan Suster Maria Grazia melihatku aneh, “Don, apakah kamu mau masuk juga?”, tanya mereka, sebab di depan pintu tertulis “KAMAR INI TERISOLASI”. Ketika aku berpikir 1 detik, pada detik ke-2, laki-laki muda bermasker melambaikan tangan kepadaku, memintaku untuk masuk. Aku pun menggunakan masker yang sama dan pakaian khusus isolasi yang tersedia di pintu masuk (aku sudah mirip dokter, cita-citaku sewaktu aku SD dulu).
Kulihat laki-laki muda itu begitu pucat dan tak ada sehelai pun rambut di kepalanya. Dia berkata terbata-bata tak jelas dari balik maskernya, “PASTOR, MAUKAH PASTOR MENDOAKAN SAYA“. Lalu kuulurkan tanganku di atas kepalanya, lalu aku berdoa dengan segenap hatiku, seperti yang biasa aku lakukan kepada pasien-pasien lain.
Setelah aku selesai berdoa dan menumpangkan tanganku di atas kepalanya, dia bertanya kepadaku, “PASTOR, ANDA MASIH BEGITU MUDA, MENGAPA ANDA BERANI MENYENTUH SAYA?”
Akupun terkejut dengan kata-katanya. Jawabku, “Sudah memang tugasku sebagai pastor bertindak demikian”.
Dia pun berkisah ”Perkenalkan nama saya Ivan, ini istri saya Laura,kami baru menikah 10 tahun, dan tahun ketiga pernikahan kami, saya divonis kanker oleh dokter. Pastor, baru Anda, seorang pendoa yang berani menyentuh saya.”
Dia bercerita, kanker lidah dan mulut sudah merusak lidah dan bibirnya bahkan setengah dari wajahnya. Dengan alasan demikian dia menggunakan masker. Padahal kalau aku boleh jujur, aku menyentuhnya karena kebiasaan ku memang begitu kepada setiap pasien dan juga terlebih lagi aku tidak tahu keadaannya sebelumnya, mungkin kalau aku tahu sebelumnya aku akan berpikir 10 kali.
Saat pikiran nakal itu lewat di benakku, dia melanjutkan ceritanya, “DALAM SENTUHAN TANGAN ANDA KURASAKAN TANGAN TUHAN YANG MENJAMAH SAYA. RASANYA BEGITU DASYAT SAMPAI JAUH KE DALAM HATIKU. BAGAI AIR SURGA YANG MENYIRAMI PADANG GURUN GERSANG. TERIMA KASIH PASTOR. AKU SUNGGUH MENGHARGAINYA.”
Dia pun mulai menangis bahagia. Saat itu, tanpa berpikir panjang kuletakan lagi tanganku ke atas kepalanya, kali ini dengan kesadaran dan keikhlasan penuh kuhayati bagaimana Tuhan Yesus, Ibu Theresa dari Kalkuta, Santo Vincent de Paul telah memberi contoh tentang KETULUSAN HATI yang tiada taranya. Tindakan kecilku ini tidaklah bisa dibandingan dengan karya besar mereka. Sungguh bukan hanya Ivan yang saat itu menerima rahmat, tetapi lebih-lebih aku juga, seorang pastor kecil yang lemah ini boleh mengecap rahmat yang luar biasa ini.
Dalam doa aku berseru, “TERIMA KASIH TUHAN KARENA AKU BOLEH MENJADI SEORANG PASTOR, TANGANKU YANG KOTOR INI DAN MULUTKU YANG HINA INI TELAH KAU PAKAI SEBAGAI PERPANJANGAN KASIHMU SENDIRI BAGI MEREKA YANG MENDAMBANYA.”
Tetes demi tetes air mata pun jatuh dibangku Gereja yang saat itu kosong. Kesejukan tiada tara. Rahmat yang mengagumkan diawal ulang tahun imamatku yang ketiga.
Terima kasih Tuhan.
Ilustrasi: tangan membantu (foto diambil dari funny-pictures.picphotos.net)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.