Beranda OPINI Misa Kudus Bagi Orang Yang Meninggal Karena Bunuh Diri: Mengapa Diperbolehkan?

Misa Kudus Bagi Orang Yang Meninggal Karena Bunuh Diri: Mengapa Diperbolehkan?

 Misa Kudus Bagi Orang Yang  Meninggal Karena Bunuh Diri:

Mengapa Diperbolehkan?

 *RD. Rikardus Jehaut

 

 Demikian pertanyaan beberapa orang awam yang mengaku terkejut karena ada Misa requiem bagi seorang pemuda yang meninggal karena bunuh diri beberapa waktu yang lalu. Saya yang disodori dengan pertanyaan seperti ini juga terkejut karena ternyata sebagian umat kita belum memiliki informasi yang cukup menyangkut perubahan aturan atau kebijakan Gereja berhubungan dengan pelayanan rohani-liturgis bagi orang yang mati karena bunuh diri. Keterkejutan saya bertambah karena ada juga imam yang diam-diam masih memeluk aturan lama, yang nota bene sudah berubah sejak diberlakukannya Kitab Hukum Kanonik 1983. Catatan sederhana ini dimaksudkan untuk menggarisbawahi kembali ajaran doktrinal Gereja tentang orang yang mati karena bunuh diri, sebagaimana tertuang dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 dan Katekismus Gereja Katolik. Pemahaman yang benar akan ajaran Gereja merupakan sebuah keharusan demi menghindari hal-hal yang tidak seharusnya terjadi dalam pelayanan pastoral umat.

Catatan Sejarah Selayang Pandang

Penerapan sanksi berkaitan dengan larangan untuk mendapat pelayanan rohani liturgis, seperti misa arwah dan pemakaman secara katolik, bagi orang yang melakukan bunuh diri sudah dimulai sejak abad V pada masa Paus Gregorius Agung. Dalam upaya untuk menjaga ketertiban dan melawan penganiayaan yang datang dari luar dan membendung arus pertikaian internal akibat perbedaan pendapat, Gereja mengeluarkan sanksi tegas dengan mencabut hak untuk dimakamkan secara Katolik bagi  mereka yang melakukan kejahatan, seperti bidah, murtad, skisma atau mempraktekan gaya hidup yang membawa skandal bagi anggota Gereja lainnya dan masyarakat luas.  Sanksi ini dimaksudkan sebagai sarana untuk mempertahankan garis demarkasi yang ketat antara mereka yang berada di dalam dan di luar persekutuan dengan Gereja (bdk. Edmund Hunt, ed., Saint Leo the Great, Letters of the Father, New York 1957).

Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan Gereja sebagai institusi yuridis, sanksi ini secara eksplisit ditetapkan dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 (bdk. KHK 1917, kan.  1240, § 1) namun cakupannya  diperluas bagi mereka yang melakukan tindakan bunuh diri (bdk. bdk. KHK 1917, kan. 1240, § 1, 3°).   Agar sanksi ini diterapkan haruslah dipenuhi dua syarat, pertama, harus pasti bahwa yang bersangkutan benar-benar melakukan tindakan bunuh diri; kedua, tindakan tersebut dilakukan deliberato consilio, artinya ia sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakannya.  Jika terdapat keraguan tentang kondisi psikis dari yang bersangkutan, maka private funeral diperbolehkan.

Mengapa Gereja menerapkan sanksi yang keras seperti ini? Sanksi ini diambil karena manusia mencabut hak Allah yang adalah pemilik kehidupan. Dengan melakukan tindakan bunuh diri manusia mengklaim kepemilikan atas hidup dan mendepak supremasi Allah atas kehidupan. Selain pendasaran teologis,  sanksi ini diambil untuk mencegah kebiasaan orang untuk melakukan bunuh diri, sebuah kejahatan yang menurut Santo Thomas Aquinas lebih besar dari tindakan pembunuhan (bdk. Thomas Aquinas, Summa Theologica, Q. 64, art. 5).

Kitab Hukum Kanonik 1983

Dalam perkembangan selanjutnya, cara pandang Gereja terkait kasus bunuh diri berubah dan hal ini terlihat dalam produk hukum yang dikeluarkannya. Kitab Hukum Kanonik 1983, tidak lagi menyebut bunuh diri sebagai penghalang untuk mendapat pelayanan rohani-liturgis, seperti misa arwah (bdk.kan. 1185) atau pemakaman secara katolik. Dalam kanon 1184, §1 larangan untuk mendapat pelayanan rohani liturgis (misa dan penguburan secara katolik) hanya diterapkan bagi:  pertama, mereka nyata-nyata telah meninggalkan iman kristen (murtad), memegang atau mengajarkan doktrin bertentangan dengan orang-orang dari Gereja (bidah) atau telah memisahkan diri dari Gereja (skismatik); kedua, mereka yang memilih kremasi jenazah dengan motif yang bertentangan dengan iman kristiani; ketiga, pendosa-pendosa nyata lain yang tidak bisa diberi pemakaman gerejawi tanpa menyebabkan skandal publik bagi umat beriman.

Penting untuk diingat bahwa sekalipun  kasus bunuh diri tidak lagi dimasukkan ke dalam Kodeks baru 1983,  hal itu tidak berarti bahwa ada perubahan ajaran Gereja menyangkut kejahatan yang inheren dari bunuh diri. Strictly speaking, tindakan membunuh diri sendiri tetap masuk dalam kategori dosa berat. Tindakan bunuh diri melanggar prinsip kesucian hidup (the principle of the sanctity of life) dan prinsip-prinsip kedaulatan Allah (principles of the sovereignty of God), dan larangan membunuh (the prohibition against killing). Argumen agama mengklaim bahwa kehidupan diberikan kepada manusia untuk digunakan dan untuk berbuah, tetapi pada akhirnya kehidupan itu adalah milik Allah dan karena itu bukan hak manusia untuk mengakhiri kehidupan dengan jalan bunuh diri. Konsekuensinya, manusia harus sadar bahwa pelestarian hidup merupakan sebuah kewajiban. Dalam hubungan ini, Katekismus Gereja Katolik menegaskan, “Tiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya. Allah memberikan hidup kepadanya. Allah ada dan tetap merupakan Tuhan kehidupan yang tertinggi. Kita berkewajiban untuk berterima kasih karena itu dan mempertahankan hidup demi kehormatan-Nya dan demi keselamatan jiwa kita. Kita hanya pengurus, bukan pemilik kehidupan, dan Allah mempercayakan itu kepada kita. Kita tidak mempunyai kuasa apa pun atasnya”, (Katekismus Gereja Katolik, n. 2280). Dalam pandangan Gereja, bunuh diri itu merupakan tindakan yang tidak pernah dapat  dibenarkan karena: “bertentangan dengan kecondongan kodrati manusia supaya memelihara dan mempertahankan kehidupan. Itu adalah pelanggaran berat terhadap cinta diri yang benar. Bunuh diri juga melanggar cinta kepada sesama, karena merusak ikatan solidaritas dengan keluarga…kepada siapa kita selalu mempunyai kewajiban…bunuh diri bertentangan dengan cinta kepada Allah yang hidup” (Katekismus Gereja Katolik, n. 2281).

Mengapa Diperbolehkan?

Mengapa Gereja memperbolehkan pelayanan rohani-liturgis, bagi orang yang meninggal karena bunuh diri? Ada beberapa pertimbangan mendasar:

Pertama, secara yuridis tidak ada larangan untuk itu. Berbeda dengan ketentuan normatif dalam Kodel lama 1917, Kitab Hukum Kanonik 1983 tidak mencantumkan larangan apapun menyangkut pelayanan rohani-liturgis bagi orang yang meninggal karena bunuh diri. Oleh karena tidak ada larangan, maka Gereja dapat memberikan pelayanan tersebut. Di sini berlaku prinsip hukum: “ubi lex voluit dixit, ubi noluit, tacuit”,

Kedua, dalam menilai kasus bunuh diri, Gereja melihat bahwa berbagai situasi dan kondisi psikis seseorang perlu dipertimbangkan dalam menilai kasus seperti ini, khususnya menyangkut tanggung jawab personal atas perbuatan yang dilakukan.  Katekismus Gereja Katolik menegaskan: “Gangguan psikis berat, ketakutan besar, atau kekhawatiran akan suatu musibah, akan suatu kesusahan, atau suatu penganiayaan, dapat mengurangi tanggung jawab pelaku bunuh diri” (Katekismus Gereja Katolik, no. 2282).

Penegasan doktrin ini penting untuk diperhatikan  secara serius mengingat bahwa sebagian besar orang yang melakukan bunuh diri berada dalam kondisi mental yang tidak seimbang akibat akumulasi faktor-faktor psikologis yang menghalanginya untuk bertindak secara sadar dan bertanggung jawab. Berbagai hasil kajian psikologi dewasa ini memperlihatkan bahwa  gangguan psikis berat dapat menakutkan dan membuat frustrasi. Orang yang terganggu secara mental jatuh dalam lubang keputusaan yang menyiksa. Ia seperti terjebak dalam terowongan gelap dan tidak menemukan emergency exit untuk keluar dari situasi tersebut. Orang yang melakukan bunuh diri biasanya tidak berada dalam situasi batin dan pikiran yang tenang, mengingat bahwa pada umumnya manusia normal yang berada dalam keadaan mental yang sehat akan selalu berusaha menjauhkan segala hal yang dapat mencelakakan dirinya sendiri. Juga logis bahwa seseorang yang secara emosional atau mental terganggu tidak sepenuhnya bertanggung jawab dengan tindakannya ketika melakukan bunuh diri. Tekanan sosial dan keadaan psikologis tertentu (ketakutan, ketidaktahuan, rasa putus asa, dan lain sebagainya) seringkali menjadi faktor pemicu yang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang tragis ini (bdk. Conner, K- Duberstein P., Psychological vulnerability to completed suicide, dalam ‘Suicide & Life’ Vol 4, hlm. 367-380).

Ketiga, tindakan bunuh diri secara objektif tidak bermoral dan tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apa pun, dan termasuk dalam kategori dosa berat. Namun, penting untuk diingat bahwa supaya sebuah dosa mendapat kualifikasi berat yang mendatangkan kematian dan menjadi taruhan bagi keselamatan seseorang di akhirat nanti, ada beberapa prasyarat yang dituntut: (1) tindakan objektif (dalam hal ini mengambil nyawanya sendiri) haruslah berat atau serius; (2) orang tersebut harus memiliki kecerdasan informasi (tahu bahwa perbuatan itu salah); (3) orang tersebut harus memberikan persetujuan penuh atas keinginannya (berniat untuk melakukan tindakan tersebut). Dalam kasus bunuh diri, ketiga prasyarat dasar ini absen atau tidak ada. Pada umumnya orang yang melakukan bunuh diri tidak memiliki kontrol penuh atas keputusan dan tindakan yang diambilnya. Tindakan yang dilakukannya lebih merupakan efek dari kondisi mental yang tidak seimbang sebagai konsekuensi dari akumulasi faktor-faktor psikologis yang menghambat seseorang untuk bertindak full knowledge and deliberate consent.

Beberapa pertimbangan mendasar inilah yang menjadi alasan bagi Gereja untuk memperbolehkan pelayanan rohani, seperti  misa kudus bagi mereka yang meninggal karena bunuh diri, meskipun setiap kasus harus dipelajari secara hati-hati seturut situasi dan kondisi yang mengitari-nya. Selain misa kudus, pelayanan rohani dapat juga mengambil bentuk lain, seperti pemakaman secara Katolik, doa-doa khusus bagi yang meninggal, dan lain sebagainya. Dalam kasus-kasus yang membingungkan, pastor paroki harus berkonsultasi dengan Ordinaris Wilayah sebelum mengambil sikap tertentu, khususnya jika ia merasa ragu untuk memberikan pelayanan rohani bagi yang meninggal tersebut. Keraguan ini misalnya menyangkut kasus bunuh diri yang mungkin masuk ke dalam kasus ketiga – yaitu pendosa yang nyata dan tidak bertobat (bdk. kan. 1184, §1, 3°) – terutama jika bunuh diri mengikuti kejahatan serius lainnya seperti pembunuhan. Saran atau penilaian Ordinaris Wilayah menjadi pegangan bagi pastor paroki dalam kasus seperti ini (bdk. kan. 1184, §2).

Untuk Direnungkan

Ada beberapa hal yang hemat saya penting menjadi bahan permenungan berkaitan dengan pelayanan rohani yang diberikan Gereja bagi mereka yang meninggal karena bunuh diri, di satu pihak, dan keyakinan iman akan belas kasih Allah, di lain pihak.

Pertama, Gereja tetap memeluk prinsip umum bahwa kematian karena bunuh diri adalah dosa berat. Namun di sisi lain, Gereja tetap berdoa bagi mereka yang melakukan hal ini atas dasar keyakinan bahwa Kristus sendirilah yang akan menghakimi mereka secara adil dan benar. Hanya Tuhan yang dapat membaca kedalaman jiwa seseorang dan seberapa besar tanggung jawab seseorang atas tindakannya. Atas dasar itu maka sebagai orang beriman kita diminta untuk menyerahkan penghakiman bagi mereka yang meninggal dengan cara tragis ini kepada Tuhan sendiri.

Kedua, Gereja mempersembahkan Misa Kudus untuk keselamatan jiwa orang yang meninggal tersebut dengan memohon belas kasih Tuhan yang tidak memperlakukan manusia sesuai dengan dosanya dan tidak membalas manusia menurut kesalahan yang dibuatnya (bdk. Mzm103: 10-12). Gereja memohon sentuhan kasih dan penghiburan Tuhan bagi keluarga, sahabat, kenalan serta orang-orang yang dikasihi yang ditinggalkan.

Ketiga, Pertanyaan yang sering terdengar adalah ke manakah jiwa orang yang meninggal karena bunuh diri itu? Apakah jiwanya pergi ke neraka? Jawaban singkat: kita tidak tahu karena kita tidak dapat spekulasi tentang keadaan jiwa seseorang setelah kematian. Gereja Katolik memang mengajarkan bahwa ada neraka dan bahwa jiwa orang yang mati dalam keadaan dosa berat akan langsung masuk ke dunia orang mati di mana mereka akan mengalami siksa neraka (bdk. Katekismus Gereja Katolik no. 1035), namun di lain pihak, Gereja menyerahkannya kepada Allah untuk memutuskan siapa yang harus pergi ke sana.

Keempat, Gereja mengajak umat beriman untuk tetap optimis tentang keselamatan jiwa orang yang meninggal karena bunuh diri. Katekismus Gereja Katolik menawarkan kata-kata penghiburan dan harapan: “Orang tidak boleh kehilangan harapan akan keselamatan abadi bagi mereka yang telah mengakhiri kehidupannya. Dengan cara yang diketahui Allah, Ia masih dapat memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat supaya diselamatkan. Gereja berdoa bagi mereka yang telah mengakhiri kehidupannya”. Kita menyerahkan kepada Allah sendiri untuk membuat keputusan akhir terkait jiwa orang yang meninggal karena bunuh diri. Dan keputusan ilahi selalu mengalir dari devine mercy. Dalam iman kita boleh percaya bahwa tragedi di akhir kehidupan ini bukanlah tanda pasti akan terjadinya tragedi abadi di kemudian hari.

Penutup

Tidak seperti pada masa lalu, Gereja dewasa ini tidak lagi mengecualikan mereka yang meninggal karena bunuh diri dari pelayanan rohani. Perubahan cara pandang Gereja ini tentu tidak terlepas dari kesadaran yang mencerahkan bahwa kendati tindakan bunuh diri itu in se merupakan dosa berat, namun umumnya hal itu dilakukan oleh orang yang secara emosional dan mental terganggu. Ada berbagai faktor eksternal dan internal yang membuat mereka putus asa dan tidak berdaya, dan die emotionally sebelum mati secara fisik lewat tindakan bunuh diri; sebuah tindakan yang tidak dapat dipandang sebagai sebuah tindakan manusiawi yang sadar dan bertanggung jawab.

Gereja memberikan pelayanan rohani yang berguna demi keselamatan jiwa mereka. Para pastor dan semua yang dipercayakan bagi tugas penggembalaan jiwa, dipanggil untuk menerjemahkan semangat pelayanan Gereja ini ke dalam praksis pastoral yang nyata. Dan hal itu harus dibuktikan lewat pelayanan Misa Kudus, termasuk pemakaman secara katolik secara pantas serta pelayan rohani lainnya.

Editor: RD. Kamilus