REKAN-rekan yang budiman.
Dalam Mat 22:1-14 (Injil Minggu Biasa XXVIII tahun A tgl. 12 Okt 2014) ditampilkan perumpamaan mengenai siapa yang akhirnya masuk ke dalam Kerajaan Surga dan bagaimana mereka sampai ke sana.
Ada orang-orang yang sebenarnya sejak awal beruntung karena “diundang ke perjamuan”, tetapi malah meremehkannya. Karena itulah keberuntungan yang sebenarnya akan mereka nikmati kemudian beralih kepada orang-orang lain yang tadinya tak masuk hitungan.
Apa artinya semua ini bagi kehidupan kini?
Dua macam penyampaian
Selain Mat 22:1-14, perumpamaan tentang undangan yang menolak datang itu didapati juga dalam Luk 14:15-24.Namun ada tiga hal yang khas pada versi Matius.
- Dalam Injil Matius, undangan disampaikan untuk perjamuan makan siang (Yunani “ariston”, Latin “prandium”) pesta nikah seorang anak raja. Tapi dalam versi Lukas perjamuan makan malam mewah (Yunani “deipnon”, Latin “coena”) yang sudah disanggupi para undangan. Jamuan meriah yang dimaksud untuk membangun keakraban biasanya diadakan pada malam hari. Lebih santai, lebih membangun suasana, tetamu tidak tergesa-gesa pulang. Kesempatan seperti itu tidak diadakan siang hari kecuali peristiwanya sedemikian penting dan resmi seperti halnya pesta nikah. Inilah yang lebih ditonjolkan Matius. Perjamuan bagi pesta nikah lebih resmi daripada perjamuan untuk membangun keakraban. Hadirin diajak ikut menjadi saksi peristiwa itu. Apalagi pesta nikah anak raja.
- Dalam perumpamaan Matius, sang raja sampai dua kali mengundang. Yang kedua kalinya bahkan ada nada memohon. Tetapi orang-orang yang diundang tetap tidak mau datang. Matius menggarisbawahi penolakan yang semakin keras. Ada yang tak peduli, ada yang meremehkan undangan dan malah menyiksa dan membunuh suruhan raja. Ini sama dengan memutuskan hubungan. Lukas lain. Ia lebih menekankan pengingkaran janji dan dalih para undangan yang sudah bersedia datang tapi kini mengajukan macam-macam alasan mangkir.
- Walaupun demikian, Matius dan Lukas sama-sama mengatakan bahwa akhirnya orang-orang lain yang tadinya tidak diundang kini didatangkan ke perjamuan. Matius masih menceritakan bahwa sang raja mendapati orang yang datang tanpa pakaian pesta. Orang itu kemudian tidak diperbolehkan ikut pesta dan dikeluarkan. Lukas tidak menyinggung adanya orang yang tak pantas ikut perjamuan malam. Tetapi ia menyambung perumpamaan itu dengan menyampaikan pengajaran Yesus mengenai perlunya komitmen penuh dalam mengikutinya.
Matius berbicara kepada umat yang berasal dari lingkungan Yahudi. Bagi mereka, “perjamuan nikah” dan datang dengan “pakaian pesta” memiliki arti yang khusus yang tidak segera ditangkap oleh orang dari kalangan lebih luas seperti halnya umat Lukas.
Marilah kita lihat dari dekat kedua gambaran yang dipakai Matius itu
Perjamuan nikah
Disebutkan “Kerajaan Surga seumpama seorang raja yang mengadakan perjamuan nikah untuk anaknya”.
Bagi pembaca Matius, “perjamuan nikah” menumbuhkan gagasan yang lebih dari pada sekedar hadir dalam resepsi, melainkan mengikuti upacara adat dan berbagi dalam hikmatnya. Dalam kesempatan seperti itu dulu kerap didendangkan lagu-lagu kasih antara mempelai lelaki dan mempelai perempuan. Lagu-lagu itu dapat bernada erotik, tapi juga amat religius maknanya.
Salah satu bentuk yang paling dikenal dan sudah menjadi bagian Kitab Suci ialah Kidung Agung. Ada saling pujian antar mempelai mengenai keelokan masing-masing (Kid 1:8,16), mengenai rasa rindu untuk semakin berdekatan (Kid 3:1-5; 5:2-8), mengenai nikmatnya kasih antara keduanya (Kid 7:6-8:4).
Di dalam kidung-kidung itu kemesraan antara kedua mempelai tampil sebagai tempat kehadiran yang ilahi tanpa perlu dikatakan. KehadiranNya me-manusia dalam ujud yang paling bisa dialami dan dirasakan. Bagi orang Yahudi, ikut serta dalam upacara dan perjamuan nikah dapat mendekatkan orang pada kemanusiaan dan keilahian sekaligus. Karena itu juga penolakan ikut serta perjamuan lebih daripada sekedar tidak hadir dalam pesta.
Menolak ajakan untuk menyaksikan pesta nikah juga membuat pesta menjadi sepi dan hambar.
Panggilan pertama tidak dipenuhi. Raja yang sebetulnya penuh wibawa kemudian bersikap menghimbau. Ia merendah. Satu kali tidak digubris, ia berusaha lagi. Malah seakan-akan memohon belas kasihan para undangan: jangan biarkan pesta jadi rusak, hidangan sudah siap, lembu dan ternak piaraan sendiri telah dipotong. Tetapi yang diundang semakin meninggikan diri, dan menjadi takabur, dan akhirnya malah membunuh pesuruh sang raja. Mereka tidak mau diganggu lagi. Mereka memutus hubungan. Terlihat betapa kerasnya penolakan terhadap ajakan untuk ikut serta dalam kesempatan yang sebenarnya bakal membuat siapa saja yang ikut semakin utuh hidupnya, semakin memasuki Kerajaan Surga.
Mereka yang menolak kehilangan dua hal.
Pertama, rusaklah hubungan dengan raja yang bisa melindungi mereka. Kedua, mereka tak lagi mendapat kesempatan ikut pesta nikah yang meriah yang memiliki arti khusus tadi. Jadi mereka semakin menjauhkan diri dari yang bakal membuat hidup mereka berarti. Mereka menjauh dari Kerajaan Surga. Inilah yang hendak disampaikan dengan perumpamaan ini.
Orang-orang di persimpangan jalan
Kerap dijelaskan bahwa para undangan yang menolak datang itu ialah orang Yahudi dan mereka yang didatangkan dari jalanan itu ialah pengikut Yesus. Yang pertama kehilangan Kerajaan Surga, yang kedua memperolehnya. Para hamba yang disuruh mengundang ialah nabi-nabi dan kemudian yang diperlakukan dengan buruk ialah para rasul.
Tafsir alegori ini sering didengar sejak lama. Bahkan sudah mulai pada zaman Injil sendiri ditulis. Namun demikian masih ada keleluasaan untuk memahami perumpamaan ini sebagai perumpamaan guna membaca kehidupan orang zaman ini, untuk mengartikan kehidupan kita.
Karena perjamuan nikah telah tersedia tapi yang diundang tak layak datang, maka raja menyuruh hamba-hambanya ke persimpangan jalan, membawa orang-orang yang mereka temui di sana, siapa saja, ke perjamuan nikah tadi. Tak pilih bulu siapa saja didatangkan. Dan pesta itu diselamatkan oleh kehadiran mereka-mereka ini.
Yang dimaksud dengan persimpangan jalan ialah lapangan tempat orang biasanya berkumpul dengan macam-macam maksud: istirahat, menunggu kesempatan kerja, melewatkan waktu, berjualan, membeli. Apa saja. Kegiatan sehari-hari yang bermacam-ragam. Orang-orang yang di situ dengan macam-macam keadaan itulah yang diminta datang ke perjamuan nikah. Di persimpangan jalan…hidup itulah disampaikan ajakannya.
Bagaimana membaca perumpamaan ini dengan cara yang lebih cocok bagi zaman ini? Perumpamaan tadi mulai dengan “Kerajaan Surga seumpama..” Jadi dimaksud membantu agar orang menyadari bagaimana cara Yang Mahakuasa mengajak siapa saja ikut masuk ke dalam kehidupan keluargaNya, ke dalam keintiman yang tidak bisa sebarangan dimasuki. Dengan mengajak orang ikut serta dalam kegembiraan pesta nikah anaknya, sang raja tadi ingin berbagi kegembiraan.
Bahkan boleh dikatakan, kegembiraannya itu baru menjadi nyata bila ikut dirasakan orang lain. Ia berusaha mendatangkan orang-orang untuk ikut. Bahkan ia memohon agar mereka datang. Tetapi permohonan ini dihadapi dengan sikap keras hati dan penolakan. Tidak mau mengambil bagian dalam kehidupan yang sebenarnya tidak dapat sebarangan dibagikan. Penolakan ini makin memisahkan dan menjauhkan mereka satu sama lain. Juga membuat sang raja putus asa dan merasa pestanya bakal rusak. Tetapi ia tidak menyerah. Pestanya itu kemudian dibuka bagi siapa saja yang tadinya tidak termasuk hitungan.
Pakaian pesta
Pesta nikah itu terjadi justru karena hadirnya orang-orang jalanan tadi. Kerajaan Surga semakin menjadi kenyataan karena dimasuki, dihuni, dikembangkan. Kepada pembaca diberikan ajakan yang amat kuat. Ayo ikut membuat kehidupan yang nyata ini bagian dari Kerajaan Surga. Juga dengan kaum terlantar, dengan orang-orang jalanan. Bisakah dibalik sehingga dikatakan membuat Kerajaan Surga menjadi bagian dari kehidupan? Sama sekali tidak! Seolah-olah kerajaan itu sudah ada dan jadi dan tinggal dimasuki, seperti menaiki kereta yang akan jalan. Tiap orang diminta menemukan wujud Kerajaan Surga baginya. Bahan mentahnya: kehidupan sehari-harinya, kehidupannya di persimpangan jalan. Namun untuk itu perlu memakai pakaian pesta.
Dalam alam pikiran Kitab Suci, pakaian memberi bentuk kepada orang yang memakainya sehingga dapat dikenali siapa dia. Tidak mengenakan pakaian pesta berarti datang tanpa sungguh mau mengikuti pesta. Orang baru dapat dikatakan datang ikut perjamuan pesta bila memang mau menghadiri pesta itu, bukan untuk urusan lain. Datang tanpa pakaian yang cocok berarti tidak membiarkan diri dikenal sebagai yang datang untuk itu.
Komitmen setengah-setengah ini kurang dapat menjadikan hidup orang menjadi bagian dari hidup dalam Kerajaan Surga. Kebalikannya, datang dengan mengenakan pakaian pesta berarti datang tanpa maksud atau tujuan lain. Yang bersangkutan akan dikenali sebagai orang yang hidupnya sedang berubah dari yang ada di persimpangan jalan menjadi dia yang hidup dalam perjamuan yang makin memanusiakan dan makin mendekatkan ke keilahian.
Salam hangat,
A. Gianto
Kredit foto: Ilustrasi (Barret Owen)
Pastor Yesuit, anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia; profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificum Institutum Biblicum, Roma.