ALAT-ALAT komunikasi yang berkembang saat ini harus kita gunakan dengan cerdas, cakap dan bijaksana. Bila tidak, kita akan menjadi budak teknologi dan martabat kita sebagai manusia akan luntur. Yang perlu disadari saat ini, beberapa kebiasaan baik dalam berkomunikasi, mulai ditinggalkan akibat majunya teknologi komunikasi.
“Kemarin kita masih pakai alat komunikasi yang masih sangat sederhana. Tadinya bila hendak memanggil orang dengan teriak-teriak atau halo-halo. Sekarang sudah pakai hape dan tinggal SMS atau BBM. Itu pengalaman baru yang memengaruhi daya hidup dalam keluarga,”ujar Mgr. Turang dalam seminar puncak Pekan Komunikasi Sosial Nasional – Konferensi Waligereja Indonesia (PKSN-KWI) di Aula Lux ex Oriente, Katedral Sorong, Papua, Sabtu (16/5/2015).
Keluarga dengan satu sentuhan teknologi sudah masuk dalam kondisi materialistik, konsumeristik. Kondisi ini tidak pernah ada dulu saat komunikasi masih berlangsung alami. Orang zaman sekarang mesti mengalokasikan uang setidaknya 50.000 atau 25.000 untuk membeli pulsa setiap minggu. Dan itu, di zaman sekarang terasa lebih penting daripada gizi anak-anak. Ini memengaruhi sekali hubungan antaranggota kelurga, termasuk nilai-nilai dalam keluarga. Misalnya dalam hubungan suami istri, kakak adik, orangtua anak.
Situasi ini mesti ditafsirkan dengan baik dan butuh perhatian yang lebih luas dibanding situasi yang tejadi sebelumnya sebelum media komunikasi mengalami kemajuan yang demikian pesatnya. Salah satu dampak negatifnya, menurut Monsinyur, banyak dari kita tidak dengan sendirinya mau dan berani menerima tanggung jawab.
“Kalau ada tanggung jawab mulai ditolak. Dari situlah komunikasi mulai berkurang. Padahal harusnya dengan alat komunikasi, pribadi itu harus menjadi ‘lebih’ dalam peziarahan bersama di dunia,”ujarnya menegaskan.
Monsinyur Turang mengingatkan para peserta yang sebagian besar pasangan suami istri ini agar mulai memerhatikan kebiasaan baik yang saat ini mulai luntur. “Apakah saat ini anak-anak masih bilang ‘apakah saya boleh’ saat hendak melakukan sesuatu. Biasanya yang terjadi ‘saya akan ke sana’ atau ‘saya mau apa’,”ujar Mgr. Turang.
Kultur, adat, sopan santun mulai hilang. Dulu anak-anak masih izin, sekarang sudah tidak lagi. Demikian juga yang terjadi pada para biarawan-biarawati. Masalah lain yang muncul, masyarakat kita sekarang sudah jarang bilang terima kasih. Padahal itu hal-hal penting yang membantu komunikasi dalam keluaga. “Kalau kita mulai lupa katakan terima kasih atas hal kecil, harus ditanyakan mengapa itu terjadi,”tegas Monsinyur.
Demikian juga dengan kebiasaan minta maaf. Seorang ibu yang melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan anaknya, harus memulai mengatakan maaf meski itu hanya hal kecil. “Kalau tidak dikatakan akan merusak segala-galanya. Paus minta supaya dalam keluarga selalu ada damai. Itu hasil komunikasi dalam keluarga, yakni damai. Memang mesti ada proses, tapi damai harus ada. Dari situ keluarga berkembang dan berdaya guna,”ujar Mgr. Turang.
Bila tidak berdaya guna, akan makin banyak orang tidak ingin hidup berkeluarga. Menurut Monsinyur Turang, sekarang ini sudah cukup banyak orang tidak ingin hidup berkeluarga. Bukan karena kesibukan, melainkan tidak menarik lagi. Keluarga tidak menjadi tempat yang memberi damai. “Kalau berkelahi tidak pernah diselesaikan. Orang mulai tidak bicara satu sama lain. Dalam keluarga akhirnya tidak ada daya melayani dan berbagi seperti Kristus yang memberi perintah cinta kasih.”tegas Mgr. Turang.
Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI