PAUS atau Bapa Suci disebut sebagai Pontifex Maximus (Imam Agung atau Imam Tertinggi). Namun secara etimologi artinya adalah tukang pembuat jembatan yang paling tinggi kedudukannya. Jembatan yang dimaksud adalah jembatan untuk manusia-manusia di dunia ini menuju ke surga.
“Karena itu, kita yang percaya pada Yesus masing-masing harus menjadi pontifex-pontifex kecil yang juga membawa manusia-manusia lain ke surga,”ujar Uskup Keuskupan Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang dalam Seminar yang menjadi Puncak Pekan Komunikasi Sosial Nasional Konferensi Waligereja Indonesia (PKSN-KWI) ke-50 di Aula Paroki Santa Maria Bunda Para Bangsa, Gunungsitoli, Nias, Sabtu (7/5/2016).
Monsinyur menyebutkan, tugas kita adalah membangun persaudaraan, membangun budaya baru yang manusiawi dimana semua orang merasa bebas, sehat, tidak tersingkirkan atau tercecer. Ditopang dengan alat komunikasi yang moderen, budaya baru ini harus membuat kita aktif dan kreatif.
“Memang tidak mudah memanfaatkan sarana komunikasi sehingga menggerakkan kerahiman. Tidak mudah membangun sikap bersesama, karena ada kerapuhan dari diri kita masing-masing yakni kecenderungan mementingan diri,”ujar Mgr. Turang.
Menurut Monsinyur, kita bisa mengukur iman kita dengan dalam proses penggunaan sarana komunikasi ini. Sejauh kita bertanggung jawab, aktif dan kreatif memanfaatkanya demi persaudaraan sejati dan mengambil manfaat bagi perkembangan iman tidak hanya bagi diri sendiri melainkan juga bagi orang yang dipercayakan pada kita.
“Kegirangan Injil mestinya membuat kita terdorong untuk mampu membangun diri sehingga kita bisa menjadi orang yang tak hanya ahli di bidang komunikasi. Namun juga ahli sebagai orang Kristiani, ahli dalam kemanusiaan dan bisa bermurah hatidan bertumbuh sebagai orang kristen yang sejati,”tegas Monsinyur.
Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI