Beranda OPINI Editorial Mgr. Robertus Rubiyatmoko dan Semangat Kolegialitas Para Uskup Indonesia

Mgr. Robertus Rubiyatmoko dan Semangat Kolegialitas Para Uskup Indonesia

Saling Menyapa - Para uskup Indonesia saling menyapa sebelum mengikuti upacara salve agung dan pemberkatan insignia yang akan digunakan Mgr. Robertus Pidiyarto, Uskup Agung Semarang yang baru

elain sidang agung Gereja Katolik Indonesia, tahbisan imam di berbagai tempat di Indonesia, peristiwa tahbisan seorang uskup juga menjadi momentum bagi para uskup se-Indonesia untuk bertemu dan bersatu secara kolegial.

Peristiwa tahbisan Mgr. Robertus, yang rangkaian acaranya akan dimulai pada Kamis (18/5/2017) dan mencapai puncaknya pada Misa Tahbisan besok , Jumat (18/5/2017),  tentu bisa digambarkan sebagai  momentum berahmat bagi para Uskup Indonesia. Mengingat, pada kesempatan ini pra uskup Indonesia dapat hadir dan merayakan misa tahbisan secara bersama-sama. Kehadiran para uskup Indonesia ini merupakan bentuk dukungan yang diberikan kepada uskup baru. Bahwa uskup baru tidak berjalan sendiri, melainkan ia berada dan bersatu dalam kolegialitas para uskup Indonesia.

Menarik untuk dicatat, bahwa peristiwa tahbisan Mgr. Robertus  sebagai Uskup Agung Semarang terjadi ketika bangsa Indonesia tengah bergulat dengan persoalan intoleransi, bangkitnya populisme, politik adu-domba di antara sesama anak bangsa dan penyalahgunaan media sosial yang rasa-rasanya sudah tidak mampu dikendalikan lagi.

Karenanya,  kehadiran para uskup se-Indonesia pada peristiwa tahbisan Mgr. Robertus sesungguhnya tidak hanya menjadi simbol dukungan para uskup tetapi juga mencerminkan semangat terbuka untuk berdialog dan mendengarkan satu sama lain di antara para Uskup Indonesia. Semangat itu tentu sudah sejalan dengan paham eklesiologi baru dalam Lumen Gentium, yang menekankan pentingnya  “komunio”,  persatuan dan kesatuan, partisipatif, dialog dan kerja sama serta sikap terbuka untuk merangkul satu sama lain, sekalipun berbeda suku, agama dan budaya. Terlebih ketika Gereja Keuskupan Agung Semarang yang sering disebut sebagai “benteng terakhir Katolik di Jawa”,  hidup di tengah dimensi sosial serba plural, Semangat keterbukaan dan kolegialitas mesti terus digelorakan.