Suatu kenyataan bahwa tidak sedikit umat Katolik yang berpindah ke gereja (agama) lain, atau ‘shoping’ untuk ikut ibadah di gereja sebelah dengan alasan Liturgi Gereja Katolik terlalu kaku dan tidak menarik. Oleh sebab itu, perlunya Gereja refleksi dan pertobatan liturgis terus menerus.

Hal di atas, diungkapkan Ketua Komisi Liturgi KWI Mgr. Hendrikus Pidyarto Gunawan, O.Carm, saat tampil sebagai Narasumber pertama di hari kedua Rapat Pleno Nasional Komisi Liturgi KWI 2023, di Hotel Kuta Paradiso, Bali, Rabu (23/8). Kegiatan ini sudah dimulai sejak Selasa (22/8) dan berakhir pada Jumat (25/8).

Mgr. Pidyarto dalam kesempatan itu membawa materi dengan topik ‘Partisipasi Aktif Umat dalam Liturgi Menurut Sacrosanctum Consilium’.

“Kadang saya mendengar adanya umat Katolik yang meninggalkan Gereja Katolik dan masuk ke suatu denominasi Kristen, atau rajin mengikuti ibadat Gereja lain meskipun masih mengikuti juga Misa Kudus. Salah satu alasannya ialah karena mereka merasa liturgi Katolik tidak menyapa hati mereka dan membosankan. Ini menjadi tantangan bagi kita. Kita perlu introspeksi diri. Kita perlu ‘pertobatan liturgis’,” ungkap Mgr. Pidyarto, sebagai pengantar sebelum lebih jauh memaparkan materinya.

Berangkat dari kenyataan itu, menurut Uskup Malang ini, kita (Gereja) perlu refleksi dan pertobatan liturgis terus menerus. Pertobatan Gereja dalam liturgi, menurut Mgr. Pidyarto, sudah dimulai sejak lahirnya Dokumen Konsili Vatikan II ‘Sacrosanctum Consilium’ (Konstitusi Liturgi).

Sebelum lahirnya Sacrosanctum Consilium, praktek liturgi Gereja Katolik sangat monoton, pastor sentris dan sama sekali tidak mengikut sertakan partisipasi umat. Bahkan imam saat memimpin Ekaristi membelakangi umat.

Supaya praktek liturgi itu tidak pudar dan kembali seperti sebelum lahirnya Sacrosanctum Consilium, maka pembinaan liturgi sebagai bagian dari pertobatan liturgis harus terus dilakukan.

“Setelah Konsili Vatikan II banyak pembaruan praktek Liturgis. Sudah mulai melibatkan partisipasi umat,” imbuh Uskup Malang itu.

Uskup Pidyarto menambahkan bahwa partisipasi aktif umat bukan sekedar partisipasi lahiriah, tetapi juga partisiasi batiniah, harus meresap di dalam batin. Oleh sebab itu, partisipasi umat dalam liturgi tidak hanya aktif tetapi juga partisipasi secara sadar dan penuh penghayatan (lahir dan batin).

Untuk mendorong partisipasi umat secara aktif, sadar dan penuh penghayatan maka diperlukan formasi (pembinaan) ataupun katekese liturgi secara terus menerus baik bagi imam maupun seluruh umat, sehingga Liturgi akan menjadi lebih hidup, dinamis dan mengungkapkan pujian kepada Tuhan.

Lebi jauh, Mgr. Pidyarto menjelaskan partisipasi umat menurut konstitutisi. Diterangkan, Umat adalah unsusr penting dan hakiki dalam liturgi. Tidak ada umat berarti tidak ada liturgi. Sejak awal Gereja menyadari peranan umat amat penting dan sering dianjurkan oleh para Bapa Gereja tentang pentingnya Persekutuan umat melalui Liturgi.

Di sisi lain, Ketua Komlit KWI juga menegaskan bahwa dalam merayakan liturgi itu ada seninya, ada keindahannya,yang menimbulkan gairah dan menarik umat untuk berpartisipasi aktif dan menghayatinya secara sungguh-sungguh.

Liturgi, lanjut Bapak Uskup, adalah kegiatan umat Allah yang diwakili oleh Kristus supaya Allah mendatangi umatNya dan umat mendatangi Allah demi keselamatannya.

“Ibadah kita adalah karya Allah (theourgia) di mana Allah mendatangi dan memberikan keselamatan kepada kita melalui Kristus; dan Leitourgia yaitu karya umat di mana manusia mendatangi Allah melalui perantaraan Kristus demi keselamatannya,” ungkap Mgr. Pidyarto.*

Hironimus Adil/KomsosKD