Kepada para pemula yang baru belajar, seorang guru yang terkenal bijak memberlakukan latihan rohani yang tidak biasa. Salah satu latihan yang diwajibkan adalah memecah batu. Seminggu sekali, sebagai pengganti meditasi, para pemula diajak untuk memecah batu hitam yang besar. Masing-masing disediakan batu dan pemukul besi.
Tanpa tahu apa yang dimaksud dengan latihan itu, seorang murid memukulkan palunya pada batu, berkali-kali, berpuluh-puluh kali. Karena begitu kerasnya batu itu, sang murid menjadi semakin jengkel dan kesal.
Baru setelah pukulan kesekian puluh, akhirnya batu itu terbelah. Sambil mengelap keringat, murid itu bernapas lega. Katanya, “Akhirnya pecah juga.”
Ketika diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman, murid yang berhasil itu berkata, “Tahu begitu, saya mengayunkan pukulan keras yang terakhir saja, tanpa susah payah.”
Sang guru tersenyum kecewa dengan kesimpulan yang keliru itu. Dan si murid itu pun dinyatakan belum lulus dari latihan tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia ingin mencari yang gampang untuk hidupnya. Orang ingin hidup enak-enak. Kalau bisa tidak perlu kerja, orang dapat menikmati hidup ini. Akhirnya yang mulus dan bahagia menjadi tujuan hidup.
Namun yang mesti selalu diperhatikan adalah akhir yang mulus dan bahagia itu mesti dilalui dengan suatu kerja keras. Ini yang sering kurang disadari oleh manusia. Orang merasa bahwa kebahagiaan itu mudah saja diperoleh.
Kisah di atas mau mengajarkan kepada manusia betapa pentingnya perjuangan dalam hidup ini. Pelajaran memecah batu itu tampak sepele. Tetapi sebenarnya memiliki suatu makna yang sangat dalam. Hal yang tampak sepele itu ternyata memberikan suatu pengajaran yang sangat bernilai bagi hidup ini. Yang penting sebenarnya bukan memegang palu dan memecah batu. Yang penting adalah bagaimana orang berusaha untuk bertahan dalam kepenatan hidupnya untuk mencapai sesuatu yang berguna bagi hidupnya.
Sebagai orang beriman, kita diajarkan untuk senantiasa memetik makna hidup ini. Apa pun bentuk pekerjaan kita, kita mesti melakukannya dengan sungguh-sungguh. Kita tidak boleh hanya mengambil yang enak saja untuk kita nikmati. Tetapi kita mesti sadar bahwa yang enak itu mengalami suatu proses yang rumit.
Karena itu, mari kita berusaha untuk meraih sukses dalam hidup ini dengan usaha-usaha yang baik dan benar. Janganlah kita mengandalkan yang instan dalam hidup ini. Yang instan biasanya menggoda kita untuk terjerumus ke dalam hal-hal yang kurang baik. Yang instan biasanya memberi kita kesenangan sesaat.
Tuhan memberkati.
Ilustrasi: Kerja Keras (foto dari www.otterocity.com)
Imam religius anggota Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ); sekarang Ketua Komisi Komsos Keuskupan Agung Palembang dan Ketua Signis Indonesia; pengelola majalah “Fiat” dan “Komunio” Keuskupan Agung Palembang.