Beranda KWI KOMSOS KWI Merajut Indonesia Melalui Media Sosial Dalam Semangat Kearifan Lokal: Saya Indonesia, Saya...

Merajut Indonesia Melalui Media Sosial Dalam Semangat Kearifan Lokal: Saya Indonesia, Saya Pancasila

(Kiri-kanan): RD. Samuel, RD. Kamilus, Mgr. John Liku-Ada', RD. Albert, RP. Joni Payuk, CICM

Di Halaman Gereja Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria Makale, Sabtu malam 1/6 diadakan gelar pentas budaya Tana Toraja. Pentas budaya ini merupakan salah satu dari rangkaian acara Pekan Komunikasi Sosial Nasional KWI yang dipadukan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila.

Pada kesempatan itu, RD. Albert Arina selaku Pastor Paroki Makale menyampaikan Orasi Kebangsaan. Berikut adalah naskah orasi kebangsaan yang disampaikan oleh Imam Diosesan Keuskupan Agung Makassar ini:

“Merajut Indonesia Melalui Media Sosial Dalam Semangat Kearifan Lokal:

Saya Indonesia, Saya Pancasila”

RD. Albert Arina sedang membacakan Orasi Kebangsaan

Baru saja usai perhelatan akbar pesta demokrasi terbesar dalam sejarah berdirinya Negeri tercinta ini. Lebih dari 192 juta pemilih tetap, telah menentukan pimpinan Nasional, dari tingkat pusat sampai ke Kabupaten/Kota. Kita bersyukur bahwa pesta demokrasi telah berjalan aman dan lancar, meskipun sedikit terjadi keributan menjelang pengumuman resmi KPU pd tanggal 21 Mei 2019 dini hari.

Kita memberi apresiasi yg setinggi-tingginya kepada TNI/Polri yg secara profesional, cepat dan tanggap mengawal demokrasi di negeri ini dari kolompok-kelompok tertentu yang ingin merusak keutuhan bangsa.

Meskipun baru 3 tahun berturut – turut bangsa Indonesia merayakan hari lahirnya Pancasila sejak ditetapkan oleh Presiden RI Jokowi pada tanggal 01 Juni 2016 melalui Keputusan Presiden No.24 Tahun 2016, namun Pancasila sudah menjadi pedoman dan arah perjuangan bangsa Indonesia sejak Republik ini berdiri 74 tahun yang lalu.

Hadirnya “Pancasila” sebagai ideologi bangsa di Republik Indonesia ini, tidak bisa dipisahkan dengan sosok Pendiri bangsa kita yaitu Bung Karno, sebagai Presiden pertama Republik Indonesia.

Dalam sebuah kesempatan, Bung Karno mengatakan, bahwa, “Bukan saya yang menemukan Pancasila, melainkan saya gali dari adat-istiadat dan kearifan lokal nusantara sebagai suatu kekayaan rohani bangsa Indonesia. Digali dari nilai-nilai luhur dan moral bangsa Indonesia. Pancasila adalah intisari dari keanekaragaman Nusantara yang terdapat dalam suku, bahasa dan bangsa, serta adat-istiadat, yang menjadi tali perekat dari keanekaragaman budaya nusantara. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa Pancasila adalah Warisan Budaya Bangsa Indonesia.

Namun, tidak dapat dipungkiri, konsepsi tentang Pancasila adalah hasil pergulatan dan kontemplasi Bung Karno sejak muda. Buah permenungan atas perjuangan berpuluh-puluh tahun lamanya, termasuk hasil permenungan beliau saat dalam pembuangan di Ende.

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa ada 4 pilar kebangsaan; 1. Pancasila, 2. UUD 1945, 3. Negara kesatuan Republik Indonesia, dan 4. Kebhinekaan Tunggal Ika. Pancasila menjadi urutan pertama dan utama dari ke-4 pilar wawasan kebangsaan tersebut. Kesemuanya ini mencerminkan kepribadian bangsa kita yang digali dari harta kekayaan rohani, moral dan budaya yang buminya adalah Indonesia.

Pancasila menjadi Pilar, berarti menjadi tiang penyanggah yang kokoh, dan soko guru, agar rakyat Indonesia merasa aman, nyaman, tenteram dan sejahtera, serta terhindar dari gangguan dan pertikaian, menuju masyarakat adil dan makmur. Pancasila akhirnya menjadi sebuah “Keyakinan” (belief system), yg isinya berupa konsep, prinsip – prinsip dasar dan nilai- nilai kemanusiaan suatu negara. Filosofi dan prinsip keyakinan ini, menjadi landasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bung Karno pun pernah berkata, “Kalau mau menjadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau mau menjadi Islam, jangan menjadi orang Arab. Kalau mau menjadi Kristen, jangan menjadi orang Yahudi. Melainkan tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya nusantara yang kaya raya.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa menjelang kekalahan tentara kekaisaran Jepang di akhir perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang di Indonesia, berusaha menarik simpati rakyat Indonesia, dengan membentuk apa yg disebut, Dokuritsu Junbi Cosakai (atau: Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan atau BPUPK, yang kemudian menjadi BPUPKI).

Badan ini mengadakan sidangnya yg pertama dari tanggal 29 Mei sampai 01 Juni 1945. (Sama dengan pertemuan pekan Komsos Nasional KWI di Toraja, dari tanggal 29 Mei-02 Juni 2019). Bung Karno pada tanggal 01 Juni 1945, menyampaikan secara jelas, tegas dan penuh meyakinkan menyangkut gagasan besar berdirinya Indonesia, yaitu Dasar dari Negara Kesatuan Indonesia, yaitu Pancasila. Di sinilah untuk pertama kalinya, Pancasila itu disebut sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka. Oleh Dr. Radjiman Wedyodinigrat, mantan ketua BPUPKI, pidato Sukarno itu kemudian diberi judul “Lahirnya Pancasila”

Selanjutnya, atas dasar pidato tersebut, dibentuklah Panitia Sembilan untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar. Panitia 9 tersebut, terdiri atas: 1). IR. Soekarno, 2). M. Hatta 3). AA Maramis 4). Abikoesno Tjokrosoejoso, 5). Abdul Kahar Muzakir 6). Agus Salim 7). Achmad Soebardjo 8). Wahid Hasyim 9). M.Yamin.

Setelah melalui persidangan dan lobi – lobi, akhirnya rumusan Pancasila hasil kontemplasi Bung Karno, berhasil dirumuskan utk dicantumkan dalam MUKADIMAH UUD 1945, yang berbunyi:

“Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yg berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara Indonesia, yg terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yg berkedaulatan rakyat dgn berdasarkan kepada:

  • Ketuhanan yg Maha Esa
  • Kemanusiaan yg adil dan beradab
  • Persatuan Indonesia
  • Kerakyatan yg dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
  • Serta dgn mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Mukadimah ini disahkan sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Kita sekarang berada di Bumi laki padada, Tondok lepongan bulan, Tana matarik allo, tondok Toraya, tungka sanganna. Toraja adalah Indonesia. Toraja adalah bagian yang tak terpisahkan dari negara kesatuan yang bernama Republik Indonesia. Toraja yang memiliki sejuta pesona dan kearifan lokalnya, menyatu dalam tradisi dan budaya, didukung oleh alamnya yg indah, dan udaranya yg sejuk, serta penduduknya yg ramah. Semua ini menjadi harmoni yang indah bernama Toraja. Maka tidaklah heran kalau orang mengatakan,” ketika dunia diciptakan, Toraja adalah sepotong surga yang jatuh ke bumi.”

Jauh sebelum adanya kemerdekaan, sebelum ada yang bernama republik Indonesia, sebelum ada yang disebut Pancasila dan UUD 1945, 336 tahun sebelum kemerdekaan, yaitu sekitar tahun 1683, sebanyak 127 topadatindo memproklamirkan diri dari invasi Arung Palakka utk tondok lepongan bulan Tana matarik allo, dengan semboyan yg dikenal dgn “Basseta Toraya”, “ Misa’ Kada dipotuo pantan kada dipomate.” Bersatu kita teguh, dan bercerai kita runtuh.

Itulah yg disebut oleh Bung Karno, kearifan lokal Nusantara yg buminya adalah Tondok Lepongan bulan Tana Matari Allo, Tondok Toraja-Indonesia tungka sanganna. Leluhur masyarakat Toraja yang mempunyai religiusitas yang tinggi, sudah memiliki kesadaran kolektif untuk persatuan, perdamaian, toleransi bahkan demokrasi. Misa kada dipotuo pantan kada dipomate, adalah Totalitas masyarakat Toraja yang menjunjung tinggi persatuan dan perdamaian, sebuah energi baru bagi masyarakat Toraja turun temuru, juga energi baru bagi Indonesia sebagai rumah kita bersama. Di sinilah saudara/i kita merajut Indonesia, di sinilah kita menjaga Indonesia, dan di sinilah kita merawat Indonesia dalam semangat Persatuan, perdamaian dan toleransi. Itulah yang disebut Pancasila.

Mgr. Albertus Sugiopranoto, seorang pahlawan nasional, uskup pribumi pertama di Indonesia, sekaligus sahabat karib Bung Karno, pada kongres Katolik Seluruh Indonesia di Semarang pada tahun 1954 mencetuskan sebuah gagasan besar bahwa sikap patriotisme/nasionalisme tidak bisa dipisahkan dengan sikap Kristianitas/Katolisitas kita entah sebagai warga negara dan warga Gereja. ”100% Indonesia, 100% Katolik. Gagasan besar ini sejalan semangat Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini (Gaudium et Spes 1).

Tidak dapat dipungkiri akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kehidupan umat manusia di abad 21 ini berkembang sangat pesat. Menjelang pesta demokrasi Pileg dan Pilpres 2019 yang lalu, perang media hiruk-pikuk di alam semesta, seperti pedang bermata dua. Ujaran kebencian, dan maraknya berita bohong mendominasi media sosial. Namun Indonesia harus tetap berdiri teguh dibawah panji – panji Pancasila dan UUD 1945.

Itulah sebabnya, masyarakat Toraja sangat bergembira pekan Komsos Nasional KWI diadakan di Makale, Tana Toraja. Pakar-pakar media dari Gereja Katolik Indonesia memberikan pencerahan untuk generasi  muda dan masyarakat Toraja agar mampu menjadikan media lahan dan sarana subur pewartaan, untuk perdamaian, untuk Gereja, untuk Toraja dan untuk Indonesia. Hiduplah Indonesiaku, jayalah Negeriku.

INDONESIA–MERDEKA… 3x PANCASILA-SAKTI…3x

Kurre3x…

Sumangana, Pole Parayanna …

01 Juni 2019

(Hari Lahirnya Pancasila)

RD. Albert Arina

(Ki-ka): RD. Yan, RD. Carol, RD. Kamilus, Mas Wisnu, Uskup Agung Makassar Mgr. John, Bupati Tana Toraja Nicodemus Biringkanae, Sekda Tana Toraja Samuel Tande Bura, RP. Joni Payuk, CICM, RD. Samuel. RD. Albert dan Frater Robertus.
Suasana Parade Budaya dan Perayaan Hari Lahir Pancasila di Halaman Paroki Makale, Tana Toraja