Aborsi selalu menjadi perdebatan yang tak kunjung selesai sejak zaman Aristoteles hingga saat ini. Apakah manusia berhak membunuh sesamanya yang kecil dan lemah serta tak berdaya? Apakah embrio atau janin dianggap belum merupakan makhluk hidup? Begitulah antara lain pertanyaan yang selalu muncul dalam perdebatan-perdebatan panjang sepanjang sejarah.
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang menyentuh bidang sensitif ini dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) no. 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi pada 21 Juli 2014. Dalam pasal 31 PP 61 tersebut disebutkan bahwa tindakan aborsi dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan. Yang dimaksud indikasi kedaruratan medis meliputi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu dan/atau kesehatan yang mengancam nyawa atau kesehatan janin; termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, apa pun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Sedangkan, untuk kehamilan akibat perkosaan tindakan aborsi hanya dapat dilakukan apabila kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Terbitnya peraturan tersebut mengejutkan banyak orang, terutama di kalangan umat Katolik, karena tindakan aborsi tidak sesuai dengan ajaran moral Katolik. Untuk menanggapi keluarnya PP no. 61/2014 ini, Komisi Keluarga KWI bekerja sama dengan para penggiat penyayang kehidupan menggelar lokakarya terbatas, pada Rabu, (27/8), di Ruang Pertemuan KWI Cikini, Jl. Cikini II/10, Jakarta. Lokakarya dihadiri oleh kurang lebih 55 orang yang terdiri dari berbagai unsur, antara lain: para dokter, advokat, anggota komunitas penyayang kehidupan serta para pemerhati pro-life. Pertemuan ini sekaligus juga menjadi ajang diskusi untuk membuat pernyataan bersama tentang sikap Gereja Katolik dalam menghadapi PP 61/2014 tersebut.
Dalam sambutan pembuka, Sekretaris Eksekutif KWI, Rm. Eddy Purwanto, Pr menegaskan bahwa PP 61/2014 ini tidak berbicara tentang soal moralitas pengguguran janin dalam kandungan, melainkan legalitas aborsi yang tidak bisa dikenai pasal pidana. “Namun, karena PP ini sudah ada, artinya sudah boleh dilaksanakan sebagai dasar tindakan aborsi. Apakah kita hanya akan mengawal supaya PP ini tidak disalahgunakan ataukah kita bisa meminta supaya PP ini tidak dipakai alias dicabut lagi?,” demikian tantangnya kepada para hadirin.
Sebelum menanggapi tantangan Rm. Eddy tersebut dan membuat pernyataan bersama, para peserta dipandu dengan input dan sharing dari beberapa narasumber. Input pertama diberikan oleh Rm. Dr. CB Kusmaryanto SCJ seorang ahli moral Katolik sekaligus pakar bioetika. Dalam paparannya Rm. Kus, demikian panggilan akrabnya, menyebutkan bahwa sebenarnya PP 61 ini berbeda dengan UU 36/2009 pasal 75 ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan aborsi.” Menurutnya, UU dan PP ini dibuat bukan untuk melegalisasi aborsi, melainkan memberikan pelayanan kepada para perempuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang aman dan bermutu. Artinya, setiap perempuan tidak boleh dipaksa untuk mengandung atau tidak mengandung dan ini menjadi bagian dari otonomi pribadinya. Masalahnya adalah ketika pelaksanaan otonomi tersebut berbenturan dengan hidup manusia lain (yang ada di rahimnya), maka otonomi itu harus mengalah karena hak hidup adalah hak dasar manusia yang paling hakiki. Apabila pelaksanaan suatu hak meniadakan hak hidup seseorang, maka harus dihentikan. Orang yang hidup, berhak untuk hidup karena ia sudah hidup dan memiliki hidup. Mengutip pada apa yang disampaikan St. Thomas Aquinas, aborsi itu dilarang karena tindakan itu merusak karya Allah. Lebih lanjut Rm. Kus menjelaskan bahwa Gereja mengajarkan bahwa terminasi kehamilan bisa dibenarkan dalam situasi kehamilan yang mengancam nyawa ibu. Jadi tujuannya bukan untuk membunuh janin, melainkan menyelamatkan nyawa si ibu ketika dalam pilihan salah satu yang harus diselamatkan. Dalam hal ini, yang terjadi adalah aborsi tidak langsung karena intensi dari intervensi medis dibuat bukan untuk melakukan aborsi.
Paparan selanjutnya dari Ibu R. Astuti Sitanggang, SH. MH, seorang lawyer dan advokat, menunjukkan bahwa secara hierarki hukum positif, PP yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan atau undang-undang di atasnya. Merujuk pada paparan Rm. Kusmaryanto, PP 61/2014 ini bertentangan dengan UU no. 36/2009 yang melarang adanya aborsi. Yang satu tidak bisa menghapus yang lain dengan pengertian yang semakin melebar dan berbelok-belok. Kalimat-kalimatnya bersifat abu-abu dan bisa menimbulkan multitafsir. Maka, bisa diajukan judicial review untuk mengubah yang baru karena bertentangan dengan yang lebih tinggi dan lebih lama.
Sementara itu, Sr. Lia RGS membagikan pengalamannya mendampingi para single mother yang mau berjuang untuk mempertahankan kehamilannya. “Mereka ini rata-rata sudah pernah mau menggugurkan kandungannya 2 kali dan ketika masuk rumah singgah sudah dalam keadaan hamil besar dan sulit untuk digugurkan,” demikian imbuhnya. Menurut Sr. Lia, Suster-suster Gembala Baik memiliki dua rumah singgah untuk para single mother, satu di Jatinegara, Jakarta dan yang satu lagi di Bantul, Yogyakarta. Mereka jarang memiliki kesadaran sendiri masuk shelter, melainkan karena dibantu dengan konseling dan pendampingan sebelumnya untuk tidak menggugurkan dan membiarkan bayinya hidup. “Shelter adalah tempat rekonsiliasi antara ibu dan bayi, tempat menumbuhkan cinta akan kehidupan di dalam rahim seorang ibu,” demikian tandas Sr. Lia. Sementara itu, kesaksian seorang korban perkosaan bernama Ibu Ima, yang sekarang menjadi pendamping para single mother, menunjukkan betapa beratnya perjuangan seorang perempuan untuk tetap mempertahankan bayi hasil perkosaan. Perjuangan ini terjadi karena penolakan awal yang dihadapinya, baik dari dirinya sendiri maupun dari lingkungannya. Akhirnya, ia berhasil mempertahankan janin yang kini sudah berusia 12 tahun itu berkat dukungan dan penerimaan dari komunitas yang menguatkannya.
Selanjutnya, dr. Afra Tangdialla SpOG, seorang obstetri dan ginekolog dari Pusat Krisis Terpadu (PKT) RSCM, menjelaskan terjadinya kehamilan. Menurutnya, kehamilan adalah rangkaian dari 3 hal: hubungan seksual, pembuahan dan kehamilan. Suatu hubungan seksual belum tentu menghasilkan pembuahan dan pembuahan juga belum tentu membuat kehamilan. Ada banyak faktor yang menentukan. “Dari segi medis kehamilan terjadi 2 minggu sesudah konsepsi atau 4 minggu setelah haid terakhir,” demikian penjelasannya. Bila ada yang datang kepadanya di PKT untuk meminta legalitas aborsi, dia berada di posisi netral; tidak memberikan jawaban “ya” atau “tidak”. Apabila ada yang mau melanjutkan keinginannya untuk aborsi, dr. Afra akan mengirimnya ke psikolog untuk konseling lanjut.
Setelah rehat minum, acara dilanjutkan dengan diskusi kelompok. Di akhir acara Sekretaris Komisi Keluarga KWI Rm. Hibertus Hartono, MSF menyimpulkan bahwa apa yang menjadi diskusi di antara para dokter, advokat dan komunitas penyayang kehidupan akan menjadi masukan yang sangat berharga. Lokakarya menyikapi PP 61/2014 yang diselenggarakan oleh Komisi Keluarga KWI ini adalah sebuah langkah awal, dan nantinya diharapkan menjadi pemikiran yang terus dilanjutkan dalam komunitas-komunitas katolik, paroki dan komunitas penyayang kehidupan. (Dokpen/Harini B.)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.