A.     Pendahuluan
Yudelfianus Fon Neno

Perkembangan teknologi modern turut melancarkan akses berbagai media sosial hingga menjangkau seluruh manusia Indonesia. Berbagai media sosial ini hadir ibarat dua sisi pada mata uang yang sama. Secara positif, adanya turut menunjang pengetahuan dan keterampilan setiap manusia Indonesia. Secara negatif, tidak sedikit konsekuensi degradasi moral yang timbul dari mudahnya mengakses media sosial dan besarnya peluang bagi setiap orang untuk menulis. Kemudahan dan besarnya peluang ini tidak dibarengi dengan mawas diri dan tingginya fungsi kontrol akhirnya berimbas pada praktek degradasi moral berupa munculnya berita-berita palsu (fake news) yang sulit dibendung.

Menyikapi persoalan ini, jauh sebelumnya, para bapa konsili sejak Konsili Vatikan II khususnya dalam Dekrit Inter Mirifica tentang Upaya-Upaya Komunikasi Sosial telah menandaskan hakekat komunikasi sebagai media untuk mewartakan keselamatan bagi umat manusia serentak memacu cita rasa intelektual dengan mengabdi seutuhnya pada nilai kebenaran, kebaikan dan solidaritas.

Menandaskan maksud luhur ini, serentak menyikapi berbagai degradasi moral yang ditimbulkan oleh berbagai berita palsu, Bapa Suci Paus Fransiskus I demi merayakan Hari Komunikasi sedunia ke-52 tahun 2018, kembali mengangkat nilai-nilai komunikasi khususnya tentang penulisan berita mesti dihayati sebagai salah satu media untuk menyampaikan kebenaran bagi umat manusia demi membebaskan mereka dari kungkungan penipuan dan ketidakpastian dengan tujuan luhur untuk menciptakan perdamaian (jurnalisme perdamaian).

Bapa Suci Paus Fransiskus melihat bahwa gencarnya berita-berita paslu diakibatkan oleh keserakahan manusia yang mementingkan diri sendiri sembari meraup keuntungan ekonomis dan politis. Dengan berdasar pada Yesus Kristus sebagai Jalan, Kebenaran dan Hidup, Bapa Suci menyerukan agar para penulis menghayati aktivitas menulis sebagai suatu penggilan untuk memuliakan Allah dengan kembali menghayati setiap penyiaran berita sebagai media untuk menyampaikan kebenaran yang memerdekakan demi menggapai perdamaian bersama.

Sebagai wujud komitmen iman dan moral, penulis hendak berkontribusi melalui tulisan ini untuk ikut serta menandaskan tentang kekembalian jurnalisme perdamaian dengan menginternalisasikan dan mewujudkan nilai-nilai yang telah ditandaskan oleh Bapa Suci Paus Fransiskus melalui uraian ide di bawah ini.

B.     Martabat Penulis

Menulis adalah aktivitas bermartabat karena merupakan hasil olahan ide dari pribadi bermartabat terkait dengan data, fakta dan pengetahuan tertentu. Dengan kata lain, menulis itu bermartabat karena tenaga yang dikeluarkan untuk menulis, datang dari pribadi bermartabat. Sebutan bermartabat ini menunjuk jelas pada akal budi, kehendak bebas dan perasaan yang dikaruniakan bagi setiap penulis.

Martabat yang dimaksudkan ini pun tidak hanya berurusan dengan diri seorang penulis tetapi memiliki dimensi sosial. Karena itu dikenal martabat sosial. Dalam arti ini, Akal budi, kehendak bebas dan perasaan sebagai bukti nyata martabat manusia mesti digunakan untuk menandaskan martabat manusia lainnya dengan mengabdi pada kebenaran serentak mengingat bahwa manusia tidak hidup sendirian.

Akal budi yang mengabdi pada kebenaran berarti sikap kritis diutamakan dalam meliput, menulis, menayangkan suatu berita kepada para pembaca, pendengar dan pemirsa. Kehendak bebas yang mengabdi pada kebenaran berarti kebenaran berita diutamakan sebagai pembebas bagi para pembaca, pendengar dan pemirsa. Perasaan yang mengabdi pada kebenaran berarti cinta kasih diutamakan sebagai media untuk menunjukkan semangat setia kawab antar penulis, pembaca, pendengar dan pemirsa.

Inilah sekiranya arti martabat penulis bahwa dengan menulis, seorang menegaskan dirinya sebagai pribadi bermartabat serentak menjunjung tinggi martabat manusia lain dengan berdasar pada Yesus sebagai Jalan, Kebenaran dan Hidup.

C.     Martabat Menulis

Menulis merupakan aktivitas bermartabat. Karena bermartabat maka aktivitas menulis pun menunjuk pada martabat manusia lain. Titik sentral yang paling tepat dan layak untuk merangkaikan martabat penulis, pembaca, pendengar dan pemirsa adalah kebenaran isi tulisan. Benar berarti apa yang diungkapkan sesuai dengan realitas. Di sini tuntutan etis bagi seorang penulis adalah kejujurannya dalam meliput dan menulis berita. Kejujuran dalam meliput dan menulis berita adalah jaminan dasar bagi kebenaran yang hendak disampaikan kepada publik. Martabat sosial akan sungguh dihargai dan keadilan intelektual akan sungguh diagungkan jika perdamaian bersama dicapai dengan menghalalkan kebenaran setiap informasi dan pengetahuan.

D.     Etika Berita

Menulis berita ataupun tulisan lainnya memiliki etikanya. Etika merupakan suatu refleksi kritis dan rational untuk meletakkan alasan mengapa seseorang perlu berlaku baik dan perlu menghindari yang buruk. Tak ada satu pun manusia tanpa etika. Karena itu, penulis dan menulis tanpa etika, tidak layak untuk dikagumi dan dihormati. Etika menulis dalam dunia jurnalistik dikenal dengan Kode Etik Jurnalistik. Khususnya pasal 4 mengatakan bahwa Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul. Adanya aturan ini berhadapan dengan gencarnya berita bohong menandaskan bahwa penulislah yang perlu dibenahi terus menerus dari waktu ke waktu.

Gencarnya penyebaran berita bohong (hoaks) menandaskan lemahnya moralitas penulis, lemahnya fungsi kontrol, menguatnya konspirasi antara keinginan dan keuntungan, menguatnya keinginan penulis untuk meraup keuntungan sembari melemahkan pihak tertentu serta niat pragmatis penulis dengan pihak tertentu demi keuntungan ekonomis-politis penulis dengan tujuan mempropagandakan tokoh-tokoh tertentu. Fenomen ini jelas menunjuk pada degradasi moral yang menuntut mentalitas khusus untuk membongkar dan membenahinya.

Sebagai solusi untuk membongkar dan membenahi fenomen ini, seruan-seruan etis dikumandangkan untuk mengetuk pintu hati setiap penulis serentak menanamkan sikap kritis setiap pembaca, pendengar dan pemirsa dalam menyikapi segala informasi dan berita yang beredar.

E.     Seruan Etis bagi Jurnalis atau Penulis

Patut dicatat bahwa menulis merupakan suatu aktivitas terhormat untuk menjunjung tinggi perdamaian umat manusia dengan mengabdi secara total pada kebenaran, kebaikan dan semangat solidaritas. Di sinilah poros utama seorang penulis bahwa dengan menulis, ia mewartakan keselamatan, kalau ia mengumandangkan kebenaran kepada umat manusia dengan berakar pada Yesus Kristus sebagai Jalan, Kebenaran dan Hidup. Inilah kiranya mau ditandaskan bahwa seorang penulis tidak hanya mentransfer informasi atau berita kepada khalayak ramai melainkan melalui informasi dan berita yang disampaikan mengandung kebenaran, bercita rasa solidaritas dan menjunjung tinggi perdamaian umat manusia demi menghadirkan keselamatan di dunia ini sebagai strategi antisipatif menuju keselamatan yang abadi bersama Sang Pemilik Kehidupan.

Menulis sebagai media untuk mengabdi pada kebenaran mengacu secara tegas pada kejujuran seorang penulis. Di sini, kejujuran penulis memurnikan niatnya dari segala godaan palsu untuk menghasilkan berita paslu. Ketika kejujuran penulis bertemu dengan kebenaran informasi dan pengetahuan, cita rasa solidaritas akan semakin bertumbuh dan hidup damai senantiasa mengitari umat manusia. Inilah letak dimensi pewartaan dari seorang penulis melalui tulisannya.

Menulis sebagai media untuk mengabdi kebaikan mengacu secara tegas pada prinsip moral universal yakni lakukanlah yang baik dan hindarilah yang jahat. Di sini hati nurani mendapat tempat utama untuk menyeleksi kebenaran setiap berita dengan mewujudkan putusan Sang Kebenaran melalui bisikan suara hati untuk memilih yang terbaik. Inilah kecondongan kodrati setiap makhluk ciptaan bahwa sejak semula setiap ciptaan terarah kepada sesuatu yang baik. Karena itu, untuk mewujudkan kecondongan ini, strategi yang tepat adalah menggunakan cara yang baik demi mencapai tujuan yang baik pula. Di sini kita paham, bahwa kebaikan tertinggi adalah kebahagiaan umat manusia karena mengalami kebenaran yang bersesuaian dengan kecondongan kodratinya. Kesesuaian ini menciptakan solidaritas yang berakar dalam solidaritas Sang Pencipta serentak menghendaki perdamaian umat manusia melalui pencerahan intelektual dan pemurnian hati nurani.

F.     Menulis Sebagai Media Untuk Merangkai Solidaritas dan Menggapai Perdamaian

Solidaritas berarti rasa kesetiakawanan. Penghayatan rasa kesetiakawanan ini tidak sekedar bersifat psikologis semata, tetapi lebih dari itu, dihayati sebagai keterpanggilan setiap orang (penulis) untuk mendaratkan Solidaritas Sang Pencipta terhadap sesamanya dengan menyebarkan informasi dan berita yang benar. Takaran kejujuran penulis dan kebenaran berita hanya dapat terjadi kalau setiap penulis memandang masyarakat umum sebagai sesama subyek yang bergiat bersama untuk memajukan bangsa dan gereja ke arah yang lebih baik. Usaha ini hanya dapat terjadi kalau aktivitas menulis dihayati secara sungguh sebagai suatu panggilan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta dengan menyebarkan kebenaran informasi dan berita kepada umat manusia. Dengan demikian, mengabdi manusia berarti memuliakan Sang Pencipta. Tindakan ini hanya dapat terjadi kalau semangat solidaritas dihayati sebagai ekspresi iman setiap penulis untuk mewartakan karya keselamatan di dunia ini.

Mari berbenah sembari menanamkan cita rasa solidaritas demi memajukan bangsa dan gereja ini menjadi bangsa yang semakin berkarakter karena menjunjung tinggi kebenaran dan menjadi gereja yang semakin beriman karena menjunjung tinggi perdamaian. Dengan kebenaran kita akan diselamatkan karena setiap kebenaran yang diwartakan dalam semangat cinta kasih dan cita rasa solidaritas akan memerdekan umat manusia dari segala penipuan, kebohongan, fitnah demi mencapai perdamaian bersama. Dan ingatlah bahwa kebenaran adalah satu-satunnya ajaran dan perdamaian adalah satu-satunya tujuan. Sebagaimana ditandaskan oleh Bapa Suci Paus Yohanes ke XXIII bahwa jika rasa damai bertakhta dalam sanubari umat manusia, yang lainnya hanya merupakan konsekuensinya. Pada akhirnya, keselamatan adalah satu-satunya kondisi hidup bersama Sang Pencipta.

Penulis: Yudelfianus Fon Neno, Seminari Tinggi Santo Mikhael Kupang

Sumber Bacaan :

Dokumen Konsili vatikan II, khususnya Dekrit Inter Mirifica tentang Upaya-Upaya Komunikasi
Sosial.
Katekismus Gereja Katolik, artikel 2493-2499
Kompendium Katekismus Gereja Katolik, artikel 525
Kompendium Ajaran Sosial Gereja Katolik, artikel 414-416
Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Etika Dalam Komunikasi (4 Juni 2000), hlm. 22-25.
Kode Etik Jurnalistik