Beranda KOMSOS KWI PEKAN KOMSOS Menjadi Pengguna Media Sosial yang Bijak dalam Perspektif Rene Descartes (Cogito Ergo...

Menjadi Pengguna Media Sosial yang Bijak dalam Perspektif Rene Descartes (Cogito Ergo Sum)

Menjadi Pengguna Media Sosial yang Bijak dalam Perspektif Rene Descartes (Cogito Ergo Sum) 

Pengantar

Anak muda zaman sekarang tentu sudah tidak asing lagi dengan “dunia maya”, dunia virtual yang sudah menjadi dunia kedua bagi remaja masa kini. Seperti halnya dunia real, dunia maya berisi sejuta informasi yang menarik untuk dinikmati. Perbedaan informasi dalam kedua dunia tersebut hanya terletak pada cara penyebaran informasi yang ada. Penyebaran di dunia maya tampak jauh lebih cepat dan lebih menarik dibandingkan dengan dunia real.

Sayangnya, dunia maya tidak lepas dari tindak kejahatan. Bahkan, kejahatan di dunia maya jauh lebih mengerikan jika dibandingkan dengan kejahatan di dunia real karena bisa berpengaruh pada suatu kelompok dalam skala yang besar; misalnya negara. Kejahatan ini bersumber dari oknum-oknum yang memanfaatkan kecepatan penyebaran informasi di dunia maya untuk menyebarkan informasi yang tidak sesuai dengan fakta yang ada. Kalaupun fakta peristiwa itu benar, kadangkala fakta itu dimanipulasi sehingga menimbulkan kesalahan penafsiran dari fakta yang ada. Inilah yang disebut dengan hoax.

Fenomena

Istilah hoax ramai diperbincangkan akhir-akhir ini karena kegaduhan di Indonesia yang beberapa kali terjadi akibat adanya berita bohong yang tersebar di dunia maya. Salah satu edisi Majalah Tempo (TEMPO, edisi 12-18 Maret 2018) baru-baru ini memuat berita tentang penangkapan beberapa anggota The Family Cyber Army, sebuah grup dunia maya yang diduga menyebarkan berita bohong yang “dipesan” demi kepentingan politik. Jika dugaan yang ditujukan kepada grup ini memang benar, maka hasil olahan berita mereka tentunya berbahaya untuk stabilitas negara kita.

Sayangnya, sampai berita itu ditulis, polisi masih susah payah untuk membuktikan tuduhan mereka. Drone Emprit – sebuah sistem analsis media sosial – yang saat ini digunakan untuk menyelidiki kasus-kasus hoax pun tampaknya belum bisa memberi bukti kuat untuk menahan para pelaku dalam grup-grup media sosial penyebar hoax itu. Dalam prakteknya, Drone Emprit memang telah menemukan adanya grup dunia maya yang cenderung anti-pemerintah Presiden Joko Widodo. Hal ini tampak dari percakapan dalam grup itu yang meminta semua anggotanya rajin  menyebarkan berita bohong agar Presiden Joko Widodo tidak terpilih lagi dalam Pemilihan Umum 2019. Namun, untuk menangkap pelaku penyebar hoax ini, ternyata tidak mudah.

Fenomena serupa sebenarnya sering kali ada di kehidupan harian kita masing-masing. Para pembaca sekalian tentu kebanyakan memiliki akun media sosial, entah itu Facebook, LINE, Instagram, BBM, WhatsApp, dan akun media sosial lainnya. Cobalah Anda membuka tautan-tautan di sana yang bersinggungan dengan Politik, Agama, dan masalah-masalah sosial lainnya, dan lihatlah komentar-komentar para pengguna media sosial di bawah tautan itu. Terkadang, ratusan bahkan ribuan komentar itu berisi ujaran-ujaran yang tidak sepantasnya diutarakan. Mereka saling mencaci satu sama lain.

Masyarakat sudah sangat dipengaruhi oleh pendapat yang sudah diterima secara umum mengenai “kebebasan dalam mengemukakan pendapat”. Deklarasi HAM pun memungkinkan hal ini. Tetapi kebebasan ini tampaknya diartikan sebagai suatu keadaan yang sebebas-bebasnya. Maka, orang mengirim informasi, menulis status, atau mengomentari sebuah kiriman, ini semua saya lakukan sesuka hati mereka.

Rene Descartes

Dalam melihat fenomena hoax saat ini, penulis teringat dengan seorang filsuf rasionalisme modern, yakni Rene Descartes (1596-1650). Gagasan filsuf ini menjadi relevan untuk melihat kecenderungan kita dalam menggunakan media sosial tadi. Terkadang kesadaran kita hilang dalam menggunakan akun media sosial kita masing-masing. Akibatnya, kita mengambil informasi, membagikan informasi, atau berkomentar tanpa berpikir panjang akan akibat yang bisa ditimbulkan.

Salah satu gagasan Descartes yang paling terkenal ialah “cogito ergo sum” yang artinya “aku berpikir maka aku ada”. Bagi Descartes, kadangkala pancaindra ini menipu kita, sehingga muncul pengandaian bahwa tak ada hal yang menampakkan diri sebagaimana adanya. Dengan langsung menarik kesimpulan dari hal yang tampak ini, kekeliruan akan terjadi sehingga kesimpulan itu menjadi salah dan tidak sah. Untuk menghindari kesalahan itu, seseorang mesti menyangsikan penampakan yang diperoleh pancaindra tadi. Pada titik ini, orang seharusnya menyadari bahwa sementara dia menilai segala penampakan itu keliru, dia sendiri mencari sisi niscaya dari penampakan tersebut.

Untuk mencapai sisi niscaya tadi, Descartes menggunakan metode yang disebut “le doute methodique” (metode kesangsian). Dalam mencapai sebuah fundamen yang pasti, yang tidak dapat digoyahkan lagi, orang harus menyangsikan terlebih dahulu. Bagi Descartes, bahkan genius maligus (iblis yang sangat cerdik) sekalipun tak akan menggoyahkan kepastian dan kebenaran yang diperoleh dari kesangsian akan segala sesuatu. Melalui metode ini, orang akan sampai pada kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu cogito atau kesadaran-diri.

Kesimpulan

Harus disadari bahwa pengontrolan media sosial sangatlah sulit. Jika di dunia real, kejahatan bisa dibendung (misalnya kejahatan seperti pencurian, pembunuhan, atau pemerkosaan dapat diatasi dengan membangun pagar di sekeliling rumah), kejahatan di dunia maya sangat sulit untuk dibatasi. Tembok setinggi dan sekokoh apapun tidak akan mampu menahan laju tindak kejahatan di dunia maya. Hanya dengan sebuah “klik” di dalam kamar tidur, hoax dapat tersebar ke mana-mana.

Fakta bahwa informasi bohong sulit terbendung adalah suatu kenyataan yang sulit dibantah. Sebagai pengguna, kita semestinya bukan pertama-tama menyalahkan medianya, tetapi yang perlu dievaluasi adalah kita, para penggunanya. Media hanyalah wadah untuk meracik bahan- bahan. Tetapi yang “mengolah, menikmati dan membagi-bagi kenikmatan” itu ialah para penggunanya. Di sinilah genius maligus bermain menipu pancaindra kita. Ketika kita memperoleh informasi yang “kita sukai”, biasanya kita tidak lagi kritis akan kebenarannya. Tentu kita masih mengingat peristiwa pemilihan presiden pada tahun 2014 yang lalu. Ada cerita menarik ketika pemilihan ini selesai dan beberapa lembaga survey merilis hasil quick count. Hasil quick count pun ditayangkan dalam beberapa stasiun televisi. Yang menarik adalah hasil yang ditampilkan masing masing stasiun televisi berbeda. Di stasiun televisi yang satu, pasangan Jokowi-JK menang, tetapi di stasiun televisi lain mereka diberitakan kalah. Di stasiun televisi yang satu, pendukung Jokowi- JK merayakan kemenangan, di stasiun televisi lain, pendukung pasangan Prabowo-Hatta juga merayakan kemenangan. Ini hanyalah salah satu contoh bahwa kita tidak kritis dengan data-data yang ada, sehingga langsung bersorak dengan hasil yang ternyata keliru. Begitu pula halnya dengan hoax yang membuat orang tidak kritis karena hoax itu memuat apa yang mereka sukai.

Untuk melawan genius maligus ini, perlulah suatu sikap kritis. Dalam pandangan Rene Descartes, semua informasi itu harus disangsikan terlebih dahulu. Minimal kita bertanya, “Betulkah informasi itu demikian adanya?” Pada tahap selanjutnya, kesangsian yang dimaksudkan Rene Descartes akan membawa kita pada kemauan untuk menggali informasi lebih dalam melalui sumber-sumber yang lain. Informasi yang benar-benar sesuai dengan fakta pasti akan dimuat dalam sumber-sumber lain dengan data-data yang persis sama.

Metode kesangsian ini sangat membantu jika kita ingin mendapatkan informasi yang benar. Sangsikanlah segala informasi itu. Jangan mudah terbuai oleh kenikmatan informasi yang ditawarkan. Meskipun nikmat, tetapi jika tidak sehat, itu tentu tidak baik. Keraguan ini akan membuat kita mencari kebenaran sejati di balik setiap informasi itu, dan sekaligus menghambat  laju penyebaran hoax. Marilah kita menjadi pengguna media sosial yang bijak.

Penulis: Altrasius Batuguna, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma

Kredit Foto: https://www.youtube.com