Beranda BERITA Menjadi Insan Parrhesia Di Tengah Gempuran Hoaks

Menjadi Insan Parrhesia Di Tengah Gempuran Hoaks

Menjadi Insan Parrhesia Di Tengah Gempuran Hoaks

Ada hantu berkeliaran di Indonesia. Hantu itu bernama hoaks dan telah mengepakan teror serta bumerang bagi kehidupan manusia.

1.     PENDAHULUAN

Donatus Doni Koli

Bangkitnya pelbagai konflik sektarian akhir-akhir ini di Indonesia ditengarai timbul akibat penyebaran berita bohong yang secara apik memanfaatkan isu-isu berdaya ledak tinggi seperti suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Berdasarkan data Kementrian Komunikasi dan Informatika yang dihimpun sejak 1 Januari 2017 sampai 18 September 2017, aduan dari masyarakat terkait konten negatif (hoaks) mencapai 42. 821. Angka ini kemudian berbanding lurus dengan jumlah aduan terkait isu SARA/kebencian sebanyak 13.829 (Kompas.com,  6 Oktober 2017).

Akibatnya, kebenaran pun dilabrak dan pada taraf tertentu sampai pada titik nadirnya. Terkuaknya skandal Saracen, organisasi penyebar hoaks dan ujaran kebencian memaklumkan semacam vonis bahwa kebenaran tidak lagi menjadi primat utama. Dalam dunia yang kian terdigitalisasi, kebenaran dapat dikalkulasi sedemikian rupa. Ada matematisasi terhadap kebenaran. Kebenaran seolah-olah punya bargaining position, posisi tawar menawarnya. Tak ada lagi keutamaan kebenaran atau mengutip gagasan pemikir postmodernisme, John D. Caputo, dunia yang ditandai oleh ethics without princip (Baghi, 2011: 133-134). Fenomena membiasnya pewatas antara kebenaran dan ketidakbenaran ditematisasi sebagai era pasca-kebenaran. Dengan demikian, hoaks sebenarnya mewujudkan dirinya dalam era yang dikenal sebagai era pasca-kebenaran. Era dimana rambu-rambu pembatas antara yang benar dan tidak benar tak berarti lagi.

Esai ini bermaksud untuk menguraikan fenomena bekerjanya hoaks dalam era pasca kebenaran serta solusi untuk menangkal gempurannya. Penulis memulai pembahasan dengan menguraikan tema pasca-kebenaran sebagai wilayah atau momentum dimana hoaks bekerja. Berkutnya, penulis akan memetakan beberapa tiang penyangga yang menyangga hoaks. Kemudian, sebagai catatan solutif untuk menghadapi gempuran hoaks, penulis menawarkan sebuah terobosan yakni dengan menjadi insan parrhesia di tengah gempuran hoaks.

II.  Era Pasca-kebenaran: Identifikasi Konseptual

Pada tahun 2016 lalu, kamus berbahasa Inggris, Oxford Dictionaries menetapkan termin post truth (pasca-kebenaran) sebagai word of the year. Penetapan ini berangkat dari fenomena viralnya termin era pasca-kebenaran selama tahun 2016 terutama dalam lingkup dua peristiwa politik akbar; pemilu di Amerika Serikat dan Referendum Brexit di Inggris. Kedua peristiwa politik tersebut oleh banyak analis dikaitkan dengan meluasnya rujukan masyarakat pada keyakinan emosional dan berita-berita yang tidak berlandas fakta (Irwansyah, 2016). Untuk konteks Indonesia, kasus yang sama dalam konteks tertentu dapat ditemukan dalam kasus pengadilan Ahok. Potongan kliping video berisi orasi Ahok di kepulauan Seribu yang telah dikemas secara reduktif dipakai sebagai alat kelompok konservatif dan rasistik untuk menjegal Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta.

Secara leksikal, Oxford Dictionaries, mendifinisikan era pasca-kebenaran sebagai “sesuatu yang berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang sesuatu yang menarik perhatian emosi dan kepercayaan pribadi. Sementara itu, Daniel T. Rodgers (2017), profesor emeritus di Princeton University mengemukakan bahwa term post-truth merujuk pada political-culture moment saturated with competing claims on truth….”. Pasca-kebenaran ditandai oleh kompetisi klaim atas kebenaran, ada pluralitas kebenaran pada saat yang bersamaan. Senada dengan kedua definisi sebelumya, Mansford Prior (2017) menjelaskan politik pascakebenaran sebagai budaya politik yang mana perdebatan publik dibingkai oleh daya tarik pada emosi dan perasaan masyarakat. Dalam era pasca-kebenaran, hampir seluruh opini publik dan narasi politik di media telah terputus dari fakta objektif. Berdasarkan beberapa definisi di atas, hemat saya, ada beberapa gagasan kunci atau karakter yang dapat dipetakan terkait era pasca kebenaran (Doni Koli, 2018). Pertama, pelenyapan terhadap kebenaran yang otentik yakni kebenaran yang berbasis datum empiris. Dalam era pasca-kebenaran, yang terpenting bukanlah fakta objektif, melainkan kemampuan informasi menggiring sisi emosi subjek. Kedua, era pasca-kebenaran ditandai oleh variasi klaim atas kebenaran. Akibatnya, masyarakat terpecah-belah dalam pelbagai konflik pandangan dan saling adu opini. Ketiga, karena berhubungan dengan sisi emosional subjek, efisiensi informasi yang tidak berbasis fakta akan semakin mungkin ketika subjek atau masyarakat secara emosional diliputi rasa takut, cemas, frustasi dan marah. Seperti dianalisis Wolfgang Sosky, dalam rasa paniknya manusia tidak menjadi tuan atas rasionya sehingga persepsinya terhadap dunia luar menjadi kabur (Hardiman, 2011: 121).

III.  Beberapa Tiang Penyangga Hoaks

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa hoaks sebenarnya merepresentasi kondisi manusia yang mudah dikuasai wacana atau isu yang gemar mengoyak-oyak emosi. Akan tetapi, nyatanya hoaks tidak hanya menitikberatkan pada wilayah emosional subjek. Hoaks nyatanya dikemas secara apik, sistematis, dikendalikan para buzzer atau produser kawakan, digerakan secara masif pada momentum politis tertentu dengan kepentingan jangka pendek tertentu pula. Hoaks mengetengahkan dua karakter yang menonjol yakni ia diproduksi dan dikendalikan oleh sistem kekuasaan tertentu dan bertujuan untuk memapar banyak pihak pada waktu yang bersamaan. Dalam artian, hoaks sebenarnya memiliki jejaring penyangga tertentu.

Hemat saya ada beberapa pilar penyangga hoaks yaitu: pertama, kekuasaan. Nietzsche pernah mengatakan bahwa kebohongan yang disertai dengan nafsu untuk untuk berkuasa adalah bencana. Dalam sejarah kehidupan manusia, duet kekuasaan-wacana kebohongan merupakan momok menakutkan bagi kemanusiaan. Sebut saja propaganda kebohongan yang dikampanyekan Hitler dan Goebbels (NAZI) di balik serangkaian pembantaian masal umat Yahudi atau serangkaian isu manipulatif yang dihembuskan pemerintah di balik aksi pembantaian anggota PKI pada tahun 1965. Hoaks tak pernah steril dari moncong kekuasaan yang jahat. Hoaks menjadi medium bagi kekuasaan untuk membentuk persepsi yang keliru dan kabur pada masyarakat. Untuk konteks Indonesia, duet kekuasaan dan hoaks ini menjadi sangat mungkin dengan bercokolnya para oligark pada kursi-kursi kekuasaan. Dalam catatan Winters (2011), oligarki merupakan sebuah arena predatoris yang memiliki jangkauan kekuasaan yang luas dan sistemik, meskipun dirinya berposisi minoritas dalam suatu negara. Para oligark ini tidak hanya menguasai kursi-kursi kekuasaan, menduduki parpol-parpol, tapi juga menguasai-media-media mainstream, pelbagai perusahaan, industri, pers dan bahkan pendidikan. Para penguasa ini punya hampir semua akses untuk menyebarkan wacana atau isu yang tidak benar. Kemunculan kelompok Saracen di Indonesia atau Cambridge Analytica, lembaga konsultan politik yang menyokong kampanye Trump, menjadi bukti yang sahih bahwa jangkar-jangkar politik memakai produsen hoaks untuk memenuhi kepentingan politik pragmatis.

Kedua, fenomena anti-intelektualisme. Tak dapat dimungkiri lagi fenomena anti- intelektualisme yang berkembang dalam masyarakat juga merupakan radiks (akar) yang subur bagi bertumbuhnya hoaks. Masyarakat dengan tradisi intelektual rendah merupakan sasaran empuk hoaks. Dalam catatan Hofstadter (2004: 6-7), fenomena anti-intelektualisme dilihat sebagai gejala penolakan terhadap segala upaya manusia untuk mengambil sikap reflektif, bersikap kritis, serta minusnya kesediaan untuk melakukan uji publik melalui diskusi rasional. Untuk konteks Indonesia, faktum ini dapat disaksikan dalam indeks literasi masyarakat yang rendah, bangkitnya skripturalisme, literalisme, puritanisme serta keengganan masyarakat untuk melakukan semacam “pengadilan rasional” atas pelbagai informasi. Beberapa kasus sektarian seperti yang terjadi di Tolihara, Papua dan Tanjung Balai, Aceh-sebenarnya dipicu oleh keengganan masyarakat untuk duduk bersama serta melakukan uji public atas berita.

Ketiga, digitalized world atau dunia yang semakin terdigitalisasi. Tiang penyangga yang terkahir ini juga tak dapat disepelekkan. Bagaimana pun juga membanjirnya pelbagai fitur media sosial seperti facebook, whatsapp, youtube, twitter, situs-situs daring dan sebagainya merupakan prakondisi yang baik bagi menyebarnya hoaks. Hoaks yang beranak pinak di media digital menjadi rambu-rambu yang jelas bahwa hoaks merupakan anak kandung kapitalisme digital. Media digital yang disokong kabel serat optik jutaan kilometer, dilengkapi pelbagai fitur, dan kemudahan pintu akses serta pertukaran informasi merupakan ongkos murah untuk menyebarkan informasi (Supriatma, 2017). Di Indonesia, kenyataan ini terlihat jelas dalam pentas elektoral politik ketika media digital disulap menjadi sebuah mesin politik kampanye kebohongan. Pelbagai wacana dan isu digerakan secara masif di media digital sebagai alat kampanye politik. Masih segar dalam ingatan kita, ketika media sosial diriuhkan oleh berhembusnya beberapa konten hoaks yang mau menjatuhkan Jokowi dalam Pilpres 2014. Oleh para buzzer hoaks, Jokowi dituduh keturunan Cina, beragama Kristen dasn anggota PKI. Modus yang sama juga terlihat pada berita hoaks lainnya seperti gerakan Rush Money, wacana 10 juta tenaga kerja Cina masuk Indonesia, foto jabat tangan Ahok dan Rizieq, lambang Palu Arit di rupiah edisi baru, dukungan Turki terhadap aksi demonstrasi 411, dll.

IV. Menjadi Insan Parrhesia Di Tengah Gempuran Hoaks: Sebuah Solusi

Berhadapan dengan logika hoaks yang bersifat memecah-belah, hubungannya dengan jangkar kekuasaan dan kemunculannya yang beriringan dengan meluasnya media digital, maka diperlukkan usaha timbal balik atau penangkal untuk memeranginya. Salah satunya dengan menjadi insan parrhesia yang berarti penutur kebenaran. Diskusi mengenai parhhesia sebenarnya telah merentang sejak babak Yunani Kuno hingga era kontemporer sekarang ini. Pada era Yunani Kuno, parrhesia secara umum dilihat sebagai aktivitas untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam pikiran seseorang. Akan tetapi, parrhesia menekankan kebenaran informasi atau berita yang dituturkan. Pada babak kontemporer istilah parrhesia banyak ditemukan dalam teks filsafat Foucault, seorang pemikir post-strukturalis. Dalam catatan Foucault, parrhesia merujuk pada tugas personal untuk merefleksikan kebenaran dalam dirinya sendiri dan mewartakan kebenaran itu pada orang lain (Kebung, 1997). Dengan demikian, parrhesia merujuk pada kejujuran berbicara atau kebajikan menyampaikan kebenaran. Kelompok atau insan parrhesia terdiri atas subjek-subjek yang benar-benar menyadari dirinya sebagai penggerak truth telling. Sebagai truth teller, ia menggerakan sekaligus memproposalkan kebenaran. Hemat saya terdapat tiga kemungkinkan transfer pemikiran terkait gagasan parrhesia untuk melawan gempuran hoaks.

Pertama, peran kelompok intelektual organik. Salah satu kelompok strategis yang dapat menggulirkan agenda parrhesia adalah kelompok intelektual organik. Kelompok intelektual organik dapat berupa perguruan tinggi, mahasiswa, akademisi, lembaga penelitian sosial, LSM, advokat, jurnalis, dll. Peran kelompok intelektual organik sebagai truth teller dapat dipacai semisal menggalang kampanye anti-hoaks melalui seminar, lokakarya, sosialisasi publik, penyebaran konten- konten bernilai pedagogis di media daring, menjangkarkan budaya literasi melalui pendirian pondok baca. Transfer peran lainnya yang mungkin dari kelompok intelektual organik seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian sosial adalah dengan melakukan penelitian dengan sasaran pada penghancuran mata rantai hoaks serta pemberdayaan kalangan akarrumput berhadapan dengan moncong-moncong kejahatan. Penelitian ini hendaknya berobjek pada relasi hoaks dengan jaringan kekuasaan oligarki yang menopangnya, peta jurnalisme media-media mainstream maupun alternatif yang terlibat hoaks dalam kaitannya dengan peta politik kekuasaan. Penelitian ini pada akhirnya bermuara pada tekad bersama untuk mendesakkan payung hukum yang akan menghukum tegas pihak-pihak yang bekerja di balik hoaks, membangun oposisi berupa narasi tandingan atas wacana- wacana kekuasaan yang syarat kepentingan. Peran kelompok intelektual organik lainnya seperti mahasiswa, akademisi dapat digencarkan dengan senantiasa mengawal peta politik kekuasaan yang banal melalui kritik, menulis di media massa, mendirikan based community yang menyediakan konten-konten bernas dan pedagogis di media sosial guna membentuk opini dan persepsi publik yang benar serta membangun sense of trust di kalangan masyarakat sipil.

Kedua, pembentukan koalisi masyarakat sipil untuk melawan hoaks. Guna melawan hoaks atau wacana-wacana palsu yang dikontrol penguasa dan tumbuh subur dalam sebuah iklim politik demokrasi, dibutuhkan semacam kanal oposisi untuk melawannya. Salah satu akar yang mengokohkan kedigdayaan penguasa yang jahat dan otoriter adalah minusnya aksi oposisi yang mampu mendesakkan agenda perlawanan. Menurut Chantal Mouffe, tugas politik adalah membangun sebuah antagonisme politik antara warga masayarakat dengan kekuatan-kekuatan politik serta ekonomi neoliberal yang mengekang masyarakat (Otto gusti, 2018). Untuk konteks Indonesia, kemungkinan kelompok oposisi ini hemat saya dapat dicapai dengan membentuk semacam Koalisi Masyarakat Sipil antihoaks. Koalisi masyarakat sipil ini dapat mendesakan beberapa agenda kepada pemerintah seperti perundang-undangan yang mengatur distribusi informasi dan komunikasi digital, menggelar deklarasi bersama melawan hoaks, menggerakan kampanye anti- hoaks, membangun jejaring bersama melawan hoaks, membangun pojok literasi dll. Sepengetahuan penulis, salah satu koalisi masyarakat sipil adalah Masyarakat Indonesia Antihoax yang telah mendeklarasikan komitmen dan perjuangannya melawan hoaks.

Ketiga, menggerakan literasi digital. Pada tahun 2016 lalu, Asosiasi Pengguna Jasa Internet merilis data bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai 132,7 juta penduduk. Presentase tersebut telah mencapai 51,5 persen dari 256 juta penduduk Indonesia. Selain itu, jumlah orang Indonesia yang memakai ponsel untuk browsing melalui Internet sebesar 89,9 juta orang. Media sosial seperti Facebook dipergunakan sebanyak 71,6 (54%), Instagram 19,9 juta orang (15%) dan Youtube sebesar 14,5 juta orang (11%) (MI, 8 Februari 2017). Ironisnya, beberapa infografis tersebut tidak menunjukkan hubungan yang berbanding lurus dengan tingkat melek-literasi di Indonesia. Berdasarkan survey The World’s Most Literate Nations pada tahun 2016, Indonesia menempati peringkat ke 60 dari 61 negara yang diuji. Dengan demikian, walaupun pemakaian kanal-kanal komunikasi dan informasi meningkat, prospek literasi yang terbentuk nyatanya masih semu dan hanya merupakan perpanjangan dari tradisi lisan. Dengan demikian, upaya untuk mewujudkan parrhesia dalam upaya memberangus hoaks juga dapat diusahakan dengan menggerakan literasi digital. Literasi digital berarti memakai sarana-sarana digital seperti internet dan fitur-fitur on line sebagai media untuk mencangkok budaya literasi. Aktualisasi literasi digital dapat dicapai dengan menyediakan konten-konten yang berbasis data dan bernilai pedagogis di media sosial, membentuk portal-portal berita yang berkualitas dan menambah wawasan kebangsaan, menggerakan kampanye anti-hoaks di media sosial. Usaha ini perlu didukung oleh legasi sekaligus ketegasan pemerintah memerangi hoaks.

IV. Penutup

Hoaks atau berita bohong merupakan momok menakutkan bagi kehidupan bangsa saat ini. Pertama-tama, hoaks merenggut kebenaran sebagai keutamaan dalam kehidupan manusia. Kedua, hoaks memakai logika memecah-belah dan bertujuan untuk mengacaukan perdamaian dalam masyarakat. Ketiga, hoaks sesunguhnya produk yang lahir dari koresondensi beberapa pilar seperti kekuasaan, fenomena anti-intelektuaslisme yang berkembang dalam masyarakat serta meningkatnya digitalized world. Dengan demikian dibutuhkan upaya bersama untuk melawannya. Salah satunya adalah dengan menjadi insan parrhesia di tengah gempuran hoaks. Seorang insane parrhesia berpegang teguh pada kebenaran objektif dan seanantiasa mewartakan kebenaran itu kepada orang lain.

Penulis: Doni Koli, tinggal di Seminari Tinggi Interdiosesan St. Petrus Ritapiret