MIRIFICA.NET – Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengajak umat katolik untuk meninggalkan Gereja katolik, melainkan hanya sekedar menjawabi pertanyaan seorang awam katolik yang mengaku kecewa setiap kali mendengar berita tentang orang katolik yang pergi meninggalkan Gereja katolik dan secara resmi memeluk agama atau kepercayaan lain. Ia juga mengaku terkejut karena ada yang mengatakan bahwa Gereja katolik tidak melarang hal tersebut sejauh memenuhi syarat dan mengikuti prosedur tertentu. Apakah benar demikian? Jika ya, apakah ada konsekuensinya?
Jawaban yang kami berikan ini lebih bersifat teknis yuridis dengan berpijak pada Kitab Hukum Kanonik dan praksis yang ada dalam Gereja katolik. Apa yang menjadi alasan seseorang meninggalkan agama katolik (apakah karena terbius oleh daya pikat pemikiran sekularistik yang mendewa-dewakan kebebasan pribadi atau karena kekecewaan terhadap pelayanan para gembala Gereja yang tidak menjawabi kebutuhan konkrit umat beriman, atau karena pertimbangan pragmatis tertentu) tidak menjadi fokus perhatian kami.
Meninggalkan Gereja Katolik
Dalam Gereja katolik pernah dikenal istilah “tindakan formal meninggalkan Gereja katolik” (actus formalis defectionis ab ecclesia catholica). Dengan tindakan formal ini, yang bersangkutan keluar dari persekutuan iman, sakramen, dan pemerintahan gerejawi. Istilah yuridis ini termuat dalam Kitab Hukum Kanonik kan. 1086, §1, kan. 1117, kan. 1124 yang berbicara tentang perkawinan.
Namun sejak dikeluarkannya motu proprio Omnium in mentem Paus Benediktus XVI pada tahun 2009, istilah ‘tindakan formal” meninggalkan Gereja katolik dihapus atau tidak lagi tercantum dalam Kitab Hukum Kanonik. Sekalipun demikian, tindakan meninggalkan Gereja katolik secara terbuka atau dikenal secara publik masih tetap mungkin sebagaimana secara eksplisit disebut dalam Kitab Hukum Kanonik dengan istilah “yang secara terbuka meninggalkan persekutuan Gereja” (kan. 171, §1, 5°); “yang secara publik meninggalkan iman katolik atau persekutuan Gereja (kan. 194, §1, 2°; kan. 316, §1; 694, §1, 1°).
Pertanyaan adalah jika seorang katolik secara terbuka atau secara publik mau meninggalkan iman katolik atau persekutuan Gereja, apakah ada syarat-syarat dan mekanismenya? Lalu apakah ada konsekuensinya? Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 tidak ditemukan ketentuan yang secara eksplisit berbicara tentang syarat dan mekanisme terkait hal ini. Namun hemat kami, dengan penyesuaian seperlunya, berbagai syarat dan mekanisme yang dahulu dituntut dalam hubungan dengan “tindakan formal meninggalkan Gereja katolik” dapat juga diterapkan dalam kasus orang katolik yang secara terbuka atau secara publik mau meninggalkan iman katolik atau persekutuan Gereja.
Syarat
Keputusan untuk secara terbuka atau secara publik meninggalkan iman katolik atau persekutuan Gereja adalah sesuatu hal yang sangat serius. Secara yuridis, keputusan seperti ini serius hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa yang mampu melakukan tindakan yuridis (KHK, kan. 124). Dengan kata lain, tidak dilakukan oleh anak di bawah umur.
Berkait dengan hal ini ada tiga syarat mendasar yang dituntut, yakni pertama, tindakan tersebut merupakan produk kemauan yang didasarkan atas pertimbangan akal sehat. Seseorang harus sungguh-sungguh menghendaki hal tersebut dan mengetahui apa yang menjadi pokok atau substansi keputusannya; kedua, tindakan tersebut merupakan sebuah aktus deliberatif. Suatu tindakan mendapat kualifikasi deliberatif jika hal tersebut merupakan produk dari sebuah keputusan yang sadar dan penuh tanggungjawab. Secara sederhana hal ini berarti bahwa ketika misalnya si Bijok mengambil keputusaan untuk secara terbuka atau secara publik meninggalkan iman katolik atau persekutuan Gereja, ia tidak sedang berada dalam keadaan sakit ingatan, mabuk, mengigau atau dibawah pengaruh obat-obatan tertentu yang mempengaruhi kesadaran kritisnya; ketiga, adanya kebebasan, artinya tindakan untuk tersebut dibuat tanpa ketakutan atau paksaan dari pihak eksternal tertentu (KHK, kan. 125).
Mekanisme Prosedural
Pemenuhan berbagai syarat yang dituntut sebagaimana diuraikan secara singkat di atas tidak dengan sendirinya berarti bahwa proses selesai. Masih ada tahap selanjutnya yang harus dilewati, yakni:
Pertama, yang bersangkutan mengajukan surat permohonan tertulis kepada otoritas gereja yang berwenang, casu quo pastor paroki asal pemohon tempat ia dibaptis. Jadi, tidak sekedar keinginan semata-mata untuk meninggalkan Gereja katolik tetapi harus dinyatakan secara hitam putih. Dalam surat permohonan tersebut harus dinyatakan secara jelas alasan meninggalkan Gereja katolik. Surat permohonan tersebut harus ditandatangani sendiri di atas meterai oleh pemohon dan melampirkan fotocopy kartu identitas yang original.
Kedua, pastor paroki melakukan penyelidikan untuk memastikan identitas pemohon. Jika ternyata bahwa yang bersangkutan tidak dibaptis di paroki tersebut maka permohonannya tidak dapat diproses lebih lanjut dan hal ini perlu disampaikan kepada pemohon. Sebaliknya, jika yang bersangkutan benar-benar dibaptis di paroki tersebut, maka pastor paroki dapat melanjutkan proses ke tahap berikutnya dengan mengirimkan fotocopy surat permohonan yang bersangkutan kepada Ordinaris Wilayah.
Ketiga, Ordinaris Wilayah, baik secara pribadi maupun melalui delegasi yang ditunjuknya secara langsung, menyelidiki lebih lanjut permohonan tersebut, menilai entakah hal tersebut sungguh-sungguh dikehendaki, disadari dan selanjutnya memberikan tanggapan secara tertulis. Dalam surat tanggapan tersebut, Ordinaris Wilayah harus mengingatkan pemohon akan berbagai konsekuensi dari keputusannya dan meminta untuk merefleksikan kembali keputusannya dengan tenang sekaligus memberinya waktu limabelas hari untuk menanggapi surat tersebut dan memintanya datang bertemu secara pribadi dengan Ordinaris Wilayah atau delegasinya. Jika dalam waktu yang ditentukan yang bersangkutan tidak memberikan tanggapan apapun dan tetap bertahan dengan keputusannya, maka proses dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Keempat, Ordinaris Wilayah memerintahkan pastor paroki melalui surat resmi untuk membuat catatan khusus dalam buku baptis pemohon bahwa yang bersangkutan telah meninggalkan Gereja katolik sejak tanggal sebagaimana tertera dalam surat Ordinaris Wilayah. Jadi, dalam buku baptis, nama yang bersangkutan tidak dicoret mengingat karakter ontologis dan permanen dari sakramen baptis yang tidak dapat hilang atas alasan apapun.
Kelima, Ordinaris Wilayah, melalui sekretaris Keuskupan, memberitahukan kepada pemohon melalui surat bahwa permohonannya untuk meninggalkan Gereja katolik diterima oleh otoritas gereja yang berwenang, dan telah dicatat pada buku baptis di paroki asalnya. Dalam surat tersebut dicantumkan juga berbagai konsekuensi yuridis-pastoral dari tindakannya.
Konsekuensi Yuridis-Pastoral
Setiap tindakan yang sadar dan bertanggungjawab memiliki konsekuensi tertentu, termasuk tindakan secara terbuka atau secara publik meninggalkan iman katolik atau persekutuan Gereja. Secara yuridis-pastoral terdapat sejumlah konsekuensi yang harus diperhatikan secara serius, antara lain: pertama, yang bersangkutan dianggap tidak mampu memberikan suara dalam pemilihan kanonik (kan. 171, §1, 5°); kedua, jika yang bersangkutan mengemban jabatan gerejawi, maka ia diberhentikan demi hukum itu sendiri dari jabatan tersebut (kan. 194, §1, 1°); ketiga, tidak dapat diterima secara sah dalam perserikatan-perserikatan publik umat beriman kristiani (kan. 316, §1); keempat, jika yang bersangkutan adalah seorang anggota tarekat religius, ia dikeluarkan dengan sendirinya dari tarekat (kan. 694, §1).
Selain itu, beberapa konsekuensi lain yang hemat kami dapat juga diterapkan terhadap mereka yang secara terbuka atau secara publik meninggalkan iman katolik atau persekutuan Gereja adalah sebagai berikut: pertama, dalam hubungan dengan sakramen baptis dan penguatan, yang bersangkutan dilarang untuk mengemban tugas sebagai bapa/ibu baptis atau penguatan (bdk. kan. 874, §1, 4°; kan. 893, §1). Larangan ini berkaitan dengan ‘status baru’ yang dimiliki oleh yang bersangkutan yang jelas tidak akan dapat memenuhi tugasnya dalam mendampingi calon baptis atau calon penguatan dalam inisiasi kristiani dan mengusahakan agar yang dibaptis dan menerima sakramen penguatan menghayati hidup kristiani yang sesuai dengan baptisannya dan memenuhi dengan setia berbagai kewajiban yang melekat pada baptis itu serta bertindak sebagai saksi Kristus yang sejati (bdk. kan. 872, kan. 892); kedua, dalam hubungan dengan sakramen perkawinan, yang bersangkutan membutuhkan izin Ordinaris Wilayah untuk dapat menikah secara gerejawi (bdk. kan. 1071, §1, 5°); ketiga, dalam hubungan dengan pemakaman gerejawi, yang bersangkutan, jika meninggal dunia, tidak diberi pemakaman secara gerejawi, kecuali sebelum meninggal menunjukkan suatu tanda penyesalan (bdk.kan. 1184, §1); keempat, yang bersangkutan dilarang merayakan sakramen dan sakramentali, serta dilarang menyambut sakramen-sakramen (kan. 1331, §1, 2°; 915).
Penutup
Gereja menghormati dan menjunjung tinggi kebebasan umat beriman, termasuk dalam hubungan dengan meninggalkan Gereja Katolik, walau pun hal ini tidak diharapkan terjadi. Namun jika hal ini terjadi maka berbagai syarat dan mekanisme prosedural sebagaimana yang diuraikan secara singkat di atas harus diperhatikan. Termasuk merefleksikan secara serius berbagai konsekuensi yuridis-pastoral dari tindakan tersebut.
Ketika saya hendak mengakhiri tulisan kecil ini, saya teringat akan pertanyaan Yesus kepada para rasul ketika banyak murid mengundurkan diri dan meninggalkan Dia: “Apakah kamu mau pergi juga”? Sebagai orang yang telah dibaptis secara katolik, tidak ada jawaban lain selain mengamini jawaban Petrus: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi ? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal. Kami telah percaya dan tahu bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah”. Atau Anda (yang telah dibaptis katolik) punya jawaban lain?
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.