MIRIFICA.NET – Pertanyaan ini diajukan oleh seorang awam dalam suatu kesempatan baru-baru ini. Si awam yang empunya pertanyaan mengaku bingung dan kecewa dengan sikap pastor paroki di tempat tertentu yang sebegitu galaknya menolak rencana perkawinan anggota keluarganya pada masa Prapaskah dengan alasan bahwa perkawinan pada masa tersebut dilarang oleh Gereja. Penolakan yang sama terjadi ketika anak dari sahabatnya hendak menikah di masa Adven. Hal ini pernah ia tanyakan kepada rekan sesama awamnya yang adalah seorang pengurus Gereja, namun jawabanya sangat diplomatis: tergantung kebijakan pastor paroki atau peraturan khusus di masing-masing keuskupan. Apakah pastor paroki berhak menolak atau melarang umat menikah pada masa Prapaskah atau masa Adven? Apakah keuskupan boleh membuat kebijakan atau peraturan khusus yang melarang perayaan nikah pada masa ini di wilayah keuskupan? Mengapa di paroki dan di keuskupan lain, umat tidak dilarang menikah pada masa Prapaskah dan masa Adven? “Bagaimana sih persisnya peraturan Gereja menyangkut hal ini? Bingung deh gue!,” kata si awam tersebut.
Kebingungan si awam ini barangkali juga menjadi kebingungan sebagian umat beriman lainnya. Kebingungan ini dapat saja diperparah dengan adanya praktik yang berbeda dari paroki yang satu dengan paroki yang lain atau dari keuskupan yang satu dengan keuskupan lain terkait pelayanan perkawinan pada masa Prapaskah dan masa Adven. Jawaban yang diberikan dalam tulisan kecil ini diharapkan tidak menambah kebingungan tetapi memberikan sedikit pencerahan dari perspektif yuridis-pastoral bagi mereka yang sungguh-sungguh membutuhkan jawaban atas pertanyaan seperti ini.
Prinsip Dasar
Dalam Gereja katolik, hak fundamental umat beriman untuk mendapat pelayanan sakramen-sakramen diakui dan dilindungi secara hukum kanonik. Kanon 213 secara eksplisit menyatakan bahwa adalah hak umat beriman kristiani (ius est christifidelibus) untuk menerima dari para gembala suci bantuan rohani yang berasal dari harta spiritual Gereja, terutama dari Sabda Allah dan sakramen-sakramen.
Lebih lanjut dalam kanon 843, §1 ditegaskan bahwa pelayan suci tidak dapat menolak (denegare non possunt) pelayanan sakramen-sakramen kepada orang yang memintannya secara wajar, berdisposisi yang semestinya, serta tidak terhalang oleh hukum untuk menerimannya. “Meminta secara wajar”, artinya pada waktu yang tepat. “Berdisposisi yang semestinya”, artinya memperlihatkan sikap yang pantas untuk menerimanya, mengikuti persiapan perkawinan yang diselenggarakan oleh paroki, menerima ajaran Gereja menyangkut perkawinan yang monogam dan tak-terputuskan, tidak membuka diri kepada perceraian sekalipun ada persoalan dalam keluarga dan lain sebagainya. “Tidak terhalang oleh hukum untuk menerimannya”, misalnya terkena halangan ikatan perkawinan sebelumnya, tidak terkena halangan usia, tidak impoten, dan lain sebagainya.
Jadi, Gereja sangat menghormati hak umat beriman atas sakramen dan memberikan pelayanan yang seperlunya melalui para gembala suci, termasuk pelayanan sakramen perkawinan. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan pelayanan sakramen perkawinan jika umat beriman memintanya pada salah satu hari di masa Prapaskah atau masa Adven?
Ketentuan Menyangkut Hari Perkawinan
Jika kita membolak-balik Kitab Hukum Kanonik 1983, tidak akan ditemukan satu kanon pun yang berbicara secara eksplisit tentang hari perkawinan. Hal ini dapat dimengerti karena Kitab Hukum Kanonik tidak menentukan ritus yang harus ditepati dalam perayaan-perayaan liturgis (bdk. KHK, kan. 2). Ketentuan menyangkut perayaan liturgis harus dicari dalam undang-undang liturgis extra codicem yang berlaku sampai sekarang.
Dalam hubungan dengan hari perkawinan, kita dapat menelaah secara cermat dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen pada tahun 1988 tentang persiapan dan perayaan Paskah (Paschalis sollemnitatis). Dalam dokumen tersebut dinyatakan secara eksplisit bahwa ada dua hari yang tidak diperbolehkan untuk merayakan sakramen perkawinan, yakni Jumat Agung dan Sabtu Suci: .Pada Jumat Suci, semua perayaan sakramen dilarang, kecuali sakramen rekonsiliasi dan pengurapan minyak suci. Pada Sabtu Suci, perayaan perkawinan dilarang (Bdk. Kongregasi Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen, Paschalis sollemnitatis, n. 61, n. 75).
Jadi ?
Berdasarkan dokumen Paschalis sollemnitatis, umat diperbolehkan untuk menikah pada masa Prapaskah dan masa Adven, kecuali Jumat Agung dan Sabtu Suci. (Jika seorang katolik meminta pastor paroki merayakan perkawinan pada hari Jumat Agung atau Sabtu Suci, permintaan tersebut harus ditolak. Mengapa ? Karena sekalipun dokumen tersebut memfokuskan perhatian pada Masa Paskah, dan bukan pada sakramen per se, dokumen tersebut menunjukkan bahwa hari-hari tersebut merupakan waktu yang tidak tepat untuk perayaan sakramen perkawinan. Penolakan atas permintaan untuk menikah di kedua hari tersebut tidak bertentangan dengan kanon 843, §1). Namun demikian mengingat warna liturgis masa Prapaskah dan masa Adven, pastor paroki dapat berbicara dari hati ke hati dengan umat beriman, khususnya calon pengantin untuk mempertimbangkan kembali rencana pernikahan pada masa tersebut, menundanya ke waktu yang lain, jika penundaan tersebut tidak mendatangkan kerugian spiritual yang besar bagi mereka.
Jika rencana perkawinan tersebut tidak dapat diubah, dalam arti harus dilaksanakan pada masa Prapaskah atau masa Adven, maka pastor paroki berkewajiban untuk mengingatkan pasangan yang bersangkutan untuk menyederhanakan perayaan tersebut. Buku liturgi perkawinan secara jelas mengatur tentang penyederhaan ini, khususnya berkaitan dengan tanda-tanda eksternal seperti musik, dekorasi, dan lain sebagainya. (Secara konkrit kita dapat mengatakan bahwa perayaan perkawinan pada masa Prapaskah atau masa Adven tidak perlu dimeriahkan dengan paduan suara dari kelompok koor terkenal, meja altar penuh bunga, lorong menuju altar yang dihiasi dengan kembang warna warni, dan lain sebagainya.) Sekali lagi, masa Prapaskah atau masa Adven mungkin bukan waktu yang tampan untuk merencanakan sesuatu yang mengggembirakan seperti pekawinan. Namun kadang-kadang dalam situasi dan kondisi tertentu, merupakan waktu yang cocok untuk calon pengantin, dan Gereja perlu memberikan izinan untuk perayaan tersebut.
Pertanyaan Yang Tersisa
Apakah Uskup Diosesan dapat menetapkan aturan khusus yang melarang perayaan perkawinan pada masa Prapaskah dan masa Adven di wilayah keuskupannya ? Apakah pastor paroki memiliki kewenangan untuk melarang umat menikah pada masa ini? Pertanyaan menggelitik ini perlu dijawab secara serius.
Pertama-tama penting untuk diingat bahwa Dokumen Paschalis sollemnitatis adalah sebuah dokumen resmi Tahta Suci yang berlaku universal tanpa kecuali di seluruh Gereja katolik sedunia. Atas dasar itu maka Uskup Diosesan, apalagi pastor paroki, tidak dapat mengabaikan ketentuan ini. Jadi, jika Tahta Suci telah menetapkan ketentuan bahwa orang katolik dilarang untuk merayakan sakramen perkawinan selama Minggu Sengsara (Jumat Agung dan Sabtu Suci), Uskup Diosesan atau pastor paroki tidak dapat memperluas larangan tersebut ke waktu lain dalam masa Prapaskah atau masa Adven. Tentu saja, secara teoretis, Uskup Diosesan dapat meminta dan memperoleh otoritas khusus dari Tahta Suci untuk melarang perayaan perkawinan selama masa Prapaskah atau Adven di wilayah keuskupannya. Barangkali ada pertimbangan situasi atau budaya yang khusus di wilayah tersebut yang membuat larangan tersebut perlu diterapkan di keuskupannnya. Tetapi jika benar seperti itu adanya, maka Uskup Diosesan harus memberikan bukti untuk hal tersebut dan menjelaskan kepada umat di keuskupannya mengapa ia melarang perayaan perkawinan pada masa tersebut.
Kedua, jika diandaikan bahwa Uskup Diosesan tidak mendapatkan izin khusus dari Tahta Suci, maka ia tidak dapat secara sepihak menetapkan aturan di wilayah keuskupannya terkait larangan untuk menikah pada masa Prapaskah dan masa Adven. Hal yang sama berlaku untuk pastor paroki. Mengapa? Jawaban atas pertanyaan ini dapat diperoleh jika kita memahami konsep hukum umum menyangkut pembatasan terhadap hak-hak. Kanon 18, menegaskan, antara lain bahwa undang-undang yang menentukan hukuman atau yang mempersempit penggunaan bebas hak-hak atau yang memuat pengecualian dari undang-undang, ditafsir secara sempit. Hak-hak umat beriman tidak dapat dibatasi kecuali norma secara jelas memperbolehkan hal tersebut. Interpretasi yang longgar atas norma kanonik yang berbicara tentang pembatasan hak seseorang tidak dapat dibenarkan secara hukum, Menyampaikan kepada umat bahwa mereka tidak dapat menikah selama masa Prapaskah atau Adven tentu saja merupakan penafsiran yang longgar atas pembatasan hak sebagaimana tercantum dalam kan. 843, §1.
Penutup
Hukum Kanonik dan dokumen Gereja lainnya telah menetapkan ketentuan umum menyangkut perayaan perkawinan, termasuk hari perkawinan. Oleh karena tidak bertentangan dengan aturan Gereja, para gembala wajib hukumnya melayani umat beriman yang meminta pelayanan sakramen perkawinan pada masa Prapaskah atau masa Adven. Tentu saja dengan persiapan sebagaimana seharusnya dan arahan khusus menyangkut warna perayaan yang perlu disederhanakan. Yang pasti bahwa kebijakan pastoral yang melarang umat menikah pada masa ini jelas tidak memiliki dasar hukum kanonik dan malah melanggar hak umat untuk menikah.
Doktor Hukum Gereja lulusan Universitas Kepausan Urbaniana Roma dan anggota Canon Law Society of Australia and New Zealand. Sekarang ini bekerja sebagai Hakim pada Tribunal Keuskupan Ruteng dan Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santu Sirilus Ruteng.