Beranda OPINI Menikah Pada Masa Prapaskah Dan Masa Adven: Diperbolehkan Atau Dilarang ?

Menikah Pada Masa Prapaskah Dan Masa Adven: Diperbolehkan Atau Dilarang ?

Pernikahan Katolik, Menikah Pada Masa Prapaskah Dan Masa Adven, Masa Prapaskah, Masa Adven, Komsos KWI, Konferensi Waligereja Indonesia, KWI, Lawan Covid-19, Umat Katolik, Yesus Juruselamat, katekese
ilustrasi

MIRIFICA.NET – Pertanyaan ini  diajukan  oleh  seorang awam  dalam  suatu  kesempatan baru-baru ini.  Si awam  yang  empunya  pertanyaan mengaku  bingung  dan kecewa  dengan sikap pastor paroki di tempat tertentu  yang sebegitu galaknya menolak  rencana perkawinan  anggota keluarganya  pada masa  Prapaskah dengan  alasan bahwa  perkawinan pada masa tersebut dilarang oleh Gereja. Penolakan yang sama terjadi ketika anak dari sahabatnya hendak menikah di masa Adven. Hal ini pernah ia tanyakan  kepada rekan sesama awamnya yang adalah seorang pengurus Gereja,  namun  jawabanya  sangat diplomatis:  tergantung kebijakan  pastor paroki atau  peraturan khusus di masing-masing  keuskupan. Apakah pastor paroki  berhak menolak atau  melarang  umat  menikah  pada masa Prapaskah atau masa Adven? Apakah keuskupan boleh membuat kebijakan atau peraturan khusus yang melarang perayaan nikah pada masa ini di wilayah keuskupan? Mengapa di paroki dan di keuskupan lain, umat tidak dilarang menikah pada masa Prapaskah dan masa Adven? “Bagaimana sih persisnya peraturan  Gereja  menyangkut hal ini? Bingung  deh  gue!,”  kata si awam tersebut.

Kebingungan  si  awam  ini  barangkali  juga menjadi  kebingungan sebagian  umat beriman lainnya. Kebingungan ini dapat saja diperparah dengan adanya praktik yang berbeda dari paroki yang satu dengan  paroki yang lain atau  dari keuskupan yang satu dengan keuskupan lain terkait pelayanan  perkawinan pada masa Prapaskah dan masa Adven. Jawaban yang  diberikan  dalam  tulisan kecil  ini  diharapkan  tidak  menambah  kebingungan  tetapi memberikan  sedikit  pencerahan  dari  perspektif  yuridis-pastoral  bagi mereka yang sungguh-sungguh  membutuhkan  jawaban  atas  pertanyaan  seperti ini.

Prinsip Dasar

Dalam Gereja katolik, hak fundamental umat beriman untuk mendapat pelayanan sakramen-sakramen  diakui dan dilindungi secara hukum kanonik.  Kanon 213 secara eksplisit menyatakan bahwa  adalah hak umat beriman kristiani (ius est christifidelibus) untuk menerima dari para gembala suci bantuan rohani yang berasal dari harta spiritual Gereja, terutama dari Sabda Allah dan sakramen-sakramen.

Lebih lanjut dalam kanon 843, §1 ditegaskan  bahwa pelayan suci tidak dapat menolak (denegare non possunt) pelayanan sakramen-sakramen kepada orang yang memintannya secara wajar, berdisposisi yang semestinya, serta tidak terhalang oleh hukum untuk menerimannya. “Meminta secara wajar”, artinya pada waktu yang tepat.  “Berdisposisi yang semestinya”, artinya memperlihatkan sikap yang pantas untuk menerimanya, mengikuti persiapan perkawinan yang diselenggarakan oleh paroki, menerima ajaran Gereja menyangkut perkawinan yang monogam dan tak-terputuskan, tidak membuka diri kepada perceraian sekalipun ada persoalan dalam keluarga dan lain sebagainya. “Tidak terhalang oleh hukum untuk menerimannya”, misalnya terkena halangan ikatan perkawinan sebelumnya, tidak terkena halangan usia, tidak impoten, dan lain sebagainya.

Jadi, Gereja sangat  menghormati hak umat beriman atas sakramen  dan memberikan pelayanan yang seperlunya  melalui para gembala suci, termasuk  pelayanan sakramen perkawinan. Pertanyaannya  adalah  bagaimana  dengan pelayanan sakramen perkawinan  jika  umat beriman  memintanya  pada  salah  satu hari di masa Prapaskah atau masa  Adven?

Ketentuan  Menyangkut  Hari  Perkawinan

Jika kita membolak-balik  Kitab  Hukum Kanonik 1983, tidak akan  ditemukan  satu kanon  pun  yang  berbicara secara eksplisit tentang hari perkawinan. Hal ini dapat dimengerti karena  Kitab Hukum Kanonik tidak menentukan ritus yang harus ditepati dalam perayaan-perayaan liturgis (bdk. KHK, kan. 2). Ketentuan menyangkut perayaan liturgis harus dicari dalam  undang-undang liturgis  extra codicem  yang berlaku sampai sekarang.

Dalam hubungan dengan hari perkawinan, kita dapat menelaah secara cermat  dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen pada tahun 1988 tentang persiapan dan perayaan Paskah (Paschalis sollemnitatis).  Dalam dokumen tersebut  dinyatakan secara eksplisit  bahwa ada dua hari yang tidak diperbolehkan untuk merayakan sakramen perkawinan, yakni Jumat Agung dan Sabtu Suci: .Pada Jumat Suci, semua perayaan sakramen dilarang, kecuali sakramen rekonsiliasi dan pengurapan minyak suci.  Pada Sabtu Suci, perayaan perkawinan dilarang (Bdk. Kongregasi Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen, Paschalis sollemnitatis, n. 61, n. 75).

Jadi ?

Berdasarkan  dokumen  Paschalis sollemnitatis, umat  diperbolehkan untuk menikah pada masa Prapaskah dan masa Adven, kecuali Jumat Agung dan Sabtu Suci. (Jika seorang katolik  meminta pastor paroki merayakan perkawinan pada hari Jumat Agung atau Sabtu Suci, permintaan tersebut harus ditolak. Mengapa ? Karena sekalipun dokumen tersebut memfokuskan perhatian  pada Masa Paskah, dan  bukan pada sakramen per se, dokumen tersebut menunjukkan bahwa hari-hari tersebut merupakan waktu yang tidak tepat untuk perayaan sakramen perkawinan. Penolakan atas permintaan untuk menikah di kedua hari tersebut tidak bertentangan  dengan  kanon 843, §1). Namun demikian mengingat  warna  liturgis  masa Prapaskah dan masa Adven, pastor paroki  dapat   berbicara  dari hati ke hati  dengan  umat beriman, khususnya  calon  pengantin  untuk  mempertimbangkan kembali rencana pernikahan pada  masa tersebut, menundanya ke waktu yang lain, jika  penundaan tersebut  tidak mendatangkan kerugian spiritual yang besar bagi mereka.

Jika rencana perkawinan tersebut tidak dapat diubah, dalam arti harus dilaksanakan pada masa Prapaskah atau masa Adven, maka pastor paroki berkewajiban untuk mengingatkan pasangan yang bersangkutan untuk menyederhanakan perayaan tersebut. Buku liturgi perkawinan  secara  jelas  mengatur tentang penyederhaan ini, khususnya berkaitan dengan tanda-tanda eksternal seperti  musik, dekorasi, dan lain sebagainya. (Secara konkrit kita dapat mengatakan bahwa  perayaan perkawinan pada masa Prapaskah atau masa Adven tidak perlu dimeriahkan  dengan  paduan suara dari kelompok koor terkenal, meja altar penuh bunga,  lorong menuju altar yang dihiasi dengan  kembang  warna warni, dan lain sebagainya.) Sekali lagi, masa Prapaskah  atau masa Adven  mungkin  bukan  waktu yang  tampan untuk merencanakan  sesuatu yang  mengggembirakan seperti pekawinan. Namun kadang-kadang  dalam situasi dan kondisi tertentu, merupakan waktu yang cocok untuk calon pengantin, dan  Gereja  perlu  memberikan  izinan  untuk  perayaan tersebut.

Pertanyaan Yang Tersisa

Apakah Uskup Diosesan  dapat menetapkan aturan khusus yang melarang perayaan perkawinan pada masa Prapaskah dan masa Adven di wilayah keuskupannya ? Apakah pastor paroki memiliki kewenangan untuk melarang umat menikah pada masa ini? Pertanyaan menggelitik ini perlu dijawab secara  serius.

Pertama-tama penting untuk  diingat  bahwa Dokumen  Paschalis sollemnitatis  adalah sebuah dokumen resmi  Tahta Suci  yang berlaku  universal tanpa kecuali di  seluruh Gereja katolik sedunia. Atas dasar itu maka Uskup Diosesan, apalagi  pastor paroki, tidak dapat  mengabaikan ketentuan ini.  Jadi, jika  Tahta Suci  telah menetapkan ketentuan  bahwa  orang katolik dilarang  untuk  merayakan  sakramen  perkawinan  selama Minggu Sengsara  (Jumat Agung dan Sabtu Suci), Uskup Diosesan atau  pastor paroki  tidak dapat  memperluas larangan tersebut ke waktu lain  dalam  masa  Prapaskah  atau masa Adven.  Tentu saja, secara teoretis, Uskup  Diosesan  dapat  meminta dan memperoleh otoritas khusus dari Tahta Suci untuk  melarang perayaan perkawinan selama masa Prapaskah atau Adven di wilayah keuskupannya. Barangkali  ada pertimbangan situasi atau budaya yang khusus di wilayah tersebut  yang membuat  larangan tersebut perlu diterapkan di keuskupannnya.  Tetapi  jika benar seperti itu adanya, maka Uskup Diosesan  harus memberikan  bukti  untuk hal tersebut dan menjelaskan kepada umat di keuskupannya  mengapa  ia melarang perayaan perkawinan pada masa tersebut.

Kedua, jika diandaikan bahwa Uskup Diosesan  tidak mendapatkan izin khusus dari Tahta Suci, maka ia tidak dapat secara  sepihak menetapkan  aturan di wilayah keuskupannya terkait larangan untuk menikah pada masa Prapaskah dan masa Adven. Hal yang sama berlaku untuk pastor paroki. Mengapa? Jawaban atas  pertanyaan ini  dapat diperoleh jika kita memahami  konsep  hukum  umum  menyangkut  pembatasan  terhadap hak-hak.  Kanon 18, menegaskan, antara lain bahwa undang-undang yang menentukan hukuman atau yang mempersempit  penggunaan bebas hak-hak  atau yang memuat pengecualian dari undang-undang, ditafsir secara sempit. Hak-hak umat  beriman  tidak dapat dibatasi kecuali norma secara jelas memperbolehkan hal tersebut. Interpretasi  yang  longgar  atas norma  kanonik yang berbicara tentang pembatasan hak seseorang  tidak dapat dibenarkan secara hukum, Menyampaikan kepada  umat bahwa  mereka  tidak  dapat  menikah selama masa Prapaskah  atau Adven  tentu saja merupakan penafsiran yang longgar atas pembatasan hak sebagaimana tercantum dalam kan. 843, §1.

Penutup

Hukum Kanonik dan dokumen  Gereja lainnya telah menetapkan ketentuan umum menyangkut perayaan perkawinan, termasuk  hari perkawinan.  Oleh  karena  tidak  bertentangan dengan aturan Gereja,  para gembala  wajib  hukumnya  melayani  umat beriman  yang  meminta pelayanan sakramen perkawinan pada masa  Prapaskah atau masa Adven. Tentu saja dengan persiapan  sebagaimana  seharusnya  dan  arahan  khusus   menyangkut  warna  perayaan yang  perlu  disederhanakan.  Yang pasti bahwa kebijakan pastoral  yang  melarang  umat  menikah  pada  masa  ini   jelas  tidak memiliki dasar hukum kanonik dan  malah   melanggar hak umat untuk menikah.

Baca juga: Janji Pihak Katolik Untuk Membaptis Dan Mendidik Anak Dalam Gereja Katolik Dalam Konteks Perkawinan Campur: Bagaimana Jika Tidak Terpenuhi?