Suatu hari seorang pemuda menemukan satu tandan pisang yang sudah matang di atas pohon. Ia menyaksikan remah-remah dari kulit pisang itu di bawah pohon pisang, karena malam harinya sejumlah kelelawar merayakan pesta. Mereka telah menyerbu pisang-pisang yang telah menguning.
Melihat hal itu, pemuda itu merasa tergoda. Ia ingin mengambil tandan pisang itu.
Ia berkata dalam hati, “Kasihan pisang itu hanya menjadi makanan kelelawar. Nanti sore saya akan mengambilnya.”
Namun ia menghadapi permasalahan. Pisang itu bukan miliknya. Pisang itu milik tetangganya. Sialnya lagi, tetangga pemilik pisang itu sudah lama pergi dari rumahnya. Tidak ada yang tinggal di rumah itu. Pisang itu tepat berada di pagar rumah pemuda itu. Bahkan sisa-sisa kulit pisang yang dimakan kelelawar itu jatuh ke halaman rumahnya. Jadi kalau ia mengambil pisang itu, berarti ia mencuri. Pisang itu bukan miliknya.
Hingga sore hari ia bergulat dengan hati nuraninya. Ia mengalami kesulitan untuk memutuskan apakah mengambil pisang itu atau tidak. Di satu pihak, ia merasa kasihan terhadap pisang yang telah masak itu. Ia ingin sekali menyelamatkannya dari serbuan kelelawar di malam hari. Tetapi di lain pihak, pisang itu milik orang lain. Hati nuraninya tidak mau mengikuti keinginan dirinya.
Akhirnya ia harus mengambil keputusan. Pemuda itu mengikuti suara hatinya yang jernih. Ia tidak mau mengambil pisang itu. Ia membiarkannya. Itu bukan miliknya. Meskipun ia ingin makan pisang itu, ia menahan diri. Lebih baik ia membeli di pasar, kalau ia mau makan pisang.
Mungkin Anda heran mendengar keputusan pemuda itu. Mungkin Anda akan menganggap pemuda itu sebagai orang yang tolol. Barang enak ada di depan mata, tetapi dibiarkan berlalu begitu saja. Tetapi itulah keputusan yang terbaik bagi pemuda itu. Ia telah mengikuti hati nuraninya yang murni. Ia tidak mau menentang suara hatinya sendiri.
Baginya, bisikan suara hatinya itu telah memberikan jalan yang terbaik bagi hidupnya.
Inilah suatu sikap jujur yang tidak ingin memiliki barang orang lain dengan cara yang tidak halal. Meski ia mesti bergulat dengan suara hatinya, ia telah melewati suatu masa yang sangat penting dalam hidupnya. Ia belajar untuk tidak menentang suara hatinya yang jernih itu. Dalam kesulitan memutuskan sesuatu, ternyata pemuda itu memilih yang terbaik.
Dalam hidup kita, kita sering dihadapkan pada situasi seperti ini. Banyak dari kita yang mengambil keputusan sesuai dengan selera kita. Apa yang kita mau, itu yang kita ambil. Benarkah demikian? Orang beriman mesti mengikuti suara hatinya yang jernih. Orang beriman itu mesti berusaha untuk senantiasa mendahulukan kejujuran dalam hidupnya.
Untuk itu, suara hati yang jernih mesti menjadi patokan bagi setiap orang beriman dalam mengambil keputusan bagi hidupnya.
Maka kita mesti belajar untuk setia kepada suara hati kita. Kita mesti memiliki suatu kekuatan untuk tetap bertahan dalam kejujuran. Kita mesti berani mendengarkan bisikan suara hati kita yang paling jernih. Hal ini tidak mudah. Ada begitu banyak godaan untuk meninggalkan bisikan suara hati kita. Untuk itu, kita mesti berjuang. Kita mesti berusaha untuk terus-menerus mendengarkan dan mengikuti bisikan suara hati kita yang jernih.
Tuhan memberkati.
Keterangan foto: Mengikuti suara hati yang jernih (foto: probings.wordpress.com)
Imam religius anggota Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ); sekarang Ketua Komisi Komsos Keuskupan Agung Palembang dan Ketua Signis Indonesia; pengelola majalah “Fiat” dan “Komunio” Keuskupan Agung Palembang.