Rekan-rekan yang budiman!
Bagi kedua belas murid, seperti diutarakan dalam Mrk 6:7-13 (Injil Minggu Biasa XV tahun B), diutus berarti siap berangkat mewartakan tobat, mengusir setan, menyembuhkan orang sakit. Juga para utusan diminta agar berani pergi tanpa membawa kelengkapan. Hanya yang paling dibutuhkan boleh dipakai: tongkat dan alas kaki saja. Mereka juga tak boleh takut tidak diterima dengan baik. Itukah syarat-syarat agar dapat memakai kuasa yang dipercayakan Yesus kepada mereka? Begitulah perasaan kedua belas murid pada waktu itu. Ay. 12-13 memberi kesan bahwa mereka sanggup menjalankan pengutusan ini dengan gairah. Bagaimana dengan kita para pendengar dan pembaca Injil pada zaman ini? Apakah kita diharapkan menjadi seperti mereka? Marilah kita dalami terlebih dahulu kisah pengutusan ini.
Berganti Pendekatan
Yesus baru saja mengunjungi Nazaret. Di tempat asalnya ia tidak diterima dengan baik justru oleh orang-orang yang mengenalnya. Seperti dicatat Markus, kejadian ini membuatnya heran (Mrk 6:6). Maka ia berganti pendekatan. Ia tidak langsung datang ke tempat tertentu, melainkan mengirim berita terlebih dulu. Diutusnyalah orang-orang yang paling dekat untuk mengabarkan dan sekadar menunjukkan perbuatan-perbuatan kuasanya. Baru setelah orang-orang di tempat yang bakal dikunjungi siap, ia sendiri akan datang. Demikianlah Yesus berkeliling dan mengajar dari “desa ke desa”, yaitu pemukiman-pemukiman yang berada di luar tembok kota. Tak ada gagasan tempat yang tersendiri atau terpencil seperti kata “dusun” dalam bahasa kita. Malah mereka yang berdiam di situ sering mondar-mandir dari tempat ke tempat untuk urusan pekerjaan. Pasar dan pusat kegiatan sehari-hari pun berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain menurut jenis kegiatan dan hari. Ke tempat-tempat itulah ia mengutus kedua belas muridnya dua berdua. Mereka menyiapkan orang-orang itu untuk menerima kedatangan Yesus sendiri nanti. Jangan sampai terulang yang terjadi di Nazaret. Di sana orang-orang belum siap menerima Yesus
Siapakah kedua belas murid yang diutus mendahuluinya itu? Sejak tampil di muka umum, Yesus mendapatkan pengikut. Menurut Mrk 1:16-20, ia memanggil murid-murid yang pertama, yaitu Simon dan Andreas yang sedang menebarkan jala di danau. Mereka akan dijadikan “penjala manusia” – maksudnya, mereka akan ikut membawa orang mendekat kepada Yesus sendiri. Juga Yakobus dan Yohanes termasuk kelompok pertama ini. Kemudian ia juga mengajak Lewi. Para murid ini berjalan bersama guru mereka dari tempat ke tempat mendengarkan pelbagai pengajarannya, menyaksikan macam-macam penyembuhan dan perbuatan kuasanya, melihat reaksi orang banyak. Semuanya dengan ringkas dicatat dalam Mrk 3:20-6:6. Baru kemudian, seperti dijelaskan dalam Mrk 3:13-19, dua belas dari antara para murid tadi ditetapkan sebagai “rasul”, maksudnya, utusan dengan tiga tugas yang disebut jelas di situ, yakni (1) menyertai Yesus, (2) memberitakan Injil, dan (3) mengusir setan dengan kuasa yang diberikan Yesus. Mereka itulah yang kini diutus dua berdua. Ada kebiasaan pada zaman itu, berita baru bisa dipercaya bila dikuatkan paling sedikit dua orang saksi.
Menyiapkan Kedatangan–Nya
Kedua belas murid tadi diutus dua berdua dan dibekali kuasa atas roh-roh jahat. Mereka menyiapkan kedatangan Yesus ke tempat mereka diutus dengan membersihkan orang-orang itu dari kekuatan yang bisa jadi akan menentang kedatangannya. Mengajak mereka berpandangan luas, bertobat, kata Injil, dan memerdekakan batin mereka dari kungkungan ketidakpercayaan. Juga mengurangi penderitaan.
Salah satu pesan Yesus ialah agar mereka tinggal di tempat yang menerima mereka “sampai kamu berangkat dari tempat itu”. Bukan berarti mereka dinasihati agar berlama-lama di tempat yang menerima mereka. Mereka hanya perlu bertamu seperlunya dan menjelaskan apa yang bisa mereka peroleh nanti dari Yesus sendiri bila ia datang ke tempat mereka. Setelah orang-orang di situ paham, para utusan akan kembali menemui Yesus dan menceritakan kepadanya mengenai orang-orang yang telah mereka temui. Dapat kita simpulkan demikian dari Mrk 6:30 “Kemudian rasul-rasul itu kembali berkumpul dengan Yesus dan memberitahukan kepadanya semua yang mereka kerjakan dan ajarkan.”
Bagaimana dengan tempat yang tidak menyambut baik utusan tadi? Mereka disuruh meninggalkan tempat itu dan “mengebaskan debu dari kaki mereka sebagai peringatan”. Ini tindakan mengancam dan mengutuk? Menyatakan diri tidak mau dinodai oleh sikap menolak dari tempat itu? Bukan itulah maksudnya. Apa arti mengebaskan debu dari kaki? Martilah kita baca dengan saksama. Para utusan yang ditolak tak usah merasa perlu melaporkan bahwa pernah datang ke tempat tadi. Tak ada bukti dan petunjuk bahwa kami pernah ada di sana! Lho, debu saja tak ada di kaki kami! Anggap saja penolakan tak pernah terjadi. Tak usah diingat, apalagi ditunjukkan bahwa para utusan pernah ke situ. Kaki mereka tak kena debu tempat itu!| Dengan demikian masih ada kesempatan lain bagi tempat itu. Boleh jadi dalam keadaan lain sikap mereka berubah. Tempat itu tak usah dicoret dari daftar tempat yang bakal menerima Yesus sendiri. Kiranya tafsiran ini lebih cocok dengan cara Yesus melayani orang-orang. Juga lebih sesuai dengan sikap pastoral yang memerdekakan, bukan yang mengucilkan.
Bepergian tanpa membawa bekal makanan, uang, dan pakaian menunjukkan kepercayaan besar pada penyelenggaraan ilahi? Semacam askese rasuli? Tak usah dibuat tafsiran yang serba saleh tetapi tak masuk akal baik bagi orang dulu maupun sekarang. Larangan membawa bekal tadi itu sebenarnya nasihat agar bersikap optimis. Toh urusannya dapat dikerjakan dalam waktu pendek. Mereka tak perlu bermalam – maka tak usah memikirkan membawa pakaian ganti. Tak perlu berbekal makanan, tak perlu membeli makan di jalan. Nanti di tempat tujuan mereka akan diterima baik dan disuguh makanan. Dan toh kalau tidak diterima, mereka sebaiknya segera meninggalkan tempat itu, dan pergi ke tempat lain yang lebih mau menerima.
Kedua belas murid diminta memusatkan perhatian pada pengutusan mereka. Yang mereka bawa bagi orang yang mereka datangi bukanlah diri dan kelengkapan mereka sendiri, melainkan kuasa yang mereka terima dari guru mereka untuk menjauhkan “roh-roh jahat”, yakni kekuatan yang merendahkan manusia dalam arti apapun. Kuasa itu kini bisa semakin dinikmati orang banyak. Inilah dinamika Kerajaan Allah dan warta pertobatannya. Bagi mereka yang merasa menjadi utusan, keprihatinan pada penderitaan dan upaya perbaikan kiranya menjadi pokok utama.
Pembaca Zaman Kini
Mengapa bertobat dibahasakan kembali menjadi berganti haluan dan melihat jauh ke depan? Keprihatinan utama orang waktu itu sifatnya eskatologis; ada keprihatinan bahwa tak lama lagi dunia akan berakhir dan saat itu mulailah zaman hidup baru yang dipimpin sang Terurapi. Agar dapat ikut serta, perlu “bertobat” terlebih dahulu, maksudnya, berupaya mengarahkan diri ke kehidupan baru tadi dengan meninggalkan cara-cara lama. Itulah keprihatinan orang pada zaman Yesus. Dan ia menanggapinya dengan menunjukkan arah yang melegakan. Diwartakannya bahwa zaman yang baru itu ialah hidup dalam Kerajaan Tuhan yang sebenarnya sudah hadir. Bertobat ialah mengarahkan diri ke sana dan memasukinya. Jadi, dalam bahasa sekarang, yang dimaksud dengan bertobat ialah berani berwawasan luas dan memberi ruang gerak pada yang ilahi dalam kehidupan ini. Tetapi juga tidak begitu saja mencampurbaurkan urusan Allah dengan urusan dunia. Yang dijalankan dalam hidup sehari-hari ada tempatnya, ada aturan-aturannya sendiri. Juga ruang khusus bagi kepercayaan ada tempatnya. Membawahkan semua begitu saja pada rumus kepercayaan malah akan memiskinkan iman dan mengurangi ketepercayaan agama dan para penganutnya sendiri.
Bagi kebanyakan pembaca pertama tulisan Markus, para rasul yang dua belas itu sudah menjadi bagian dari ingatan turun-temurun. Boleh dikatakan, tidak ada lagi yang pernah melihat orang-orang itu sendiri. Hanya para penerus merekalah yang dikenal pembaca dulu. Dalam hal ini keadaan kita tidak banyak berbeda dengan pembaca awal. Dan memang Injil ditulis bagi pembaca seperti itu, juga bagi kita sekarang. Pembaca dulu, dan kita sekarang, akan membayangkan diri sebagai orang di tempat yang dikunjungi para utusan tadi – bukan sebagai para utusan sendiri. Mereka, juga kita, dibantu agar semakin siap menerima Yesus yang bakal datang sendiri. Seperti kita, para pendengar awal ini sebenarnya termasuk orang-orang yang sudah percaya. Bukan orang yang menolak, bukan orang yang membuat Yesus heran seperti di Nazaret dulu. Tetapi orang yang percaya pun masih merasa perlu meluaskan pandangan, atau dalam cara berbicara Injil, “bertobat”. Orang yang percaya juga tetap mengharapkan macam-macam perbaikan dalam masyarakat. Tekanan “roh jahat dan penyakit” masih dirasakan kuat dan orang butuh bantuan dari atas untuk melepaskan diri dari pengaruh yang tak dapat diatasi sendiri. Begitulah kemanusiaan akan semakin utuh. Itulah kemanusiaan yang diwartakan para utusan dan ditunjukkan oleh Yesus sendiri nanti.
Salam hangat,
Kredit Foto: http://www.cancelloedarnonenews.it
Pastor Yesuit, anggota Serikat Yesus Provinsi Indonesia; profesor Filologi Semit dan Linguistik di Pontificum Institutum Biblicum, Roma.