GEREJA lokal Keuskupan Maumere memiliki kembali gembalanya, setelah pasca pengunduran diri Mgr. Gerulfus Kherubim Parera SVD. yang mengalami masa “sede vacante “ (takhta lowong) yang relatif dua tahun lamanya. Dengan merujuk pada (Kan. 401 §1), di mana menyebutkan bahwa Uskup wajib mengajukan pengunduran diri kepada Paus ketika menginjak usia 75 tahun. Ternyata pada hari sabtu 14 juli 2018, waktu puku 18.00 (Roma – Vatikan pukul 12.00 ), di saat yang paling tidak terduga Paus Fransiskus melalui radio Vatican mengumumkan nama RD. Edwaldus Martinus Sedu, menjadi Uskup Maumere. Peristiwa pengangkatan uskup ini sebagai prioritas karya keselamatan Allah bagi manusia. Di waktu yang sama pula Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira SVD mengumumkan berita ini kepada umat Katolik Keuskupan Maumere. Tentu saja, pengangkatan Mgr. Ewaldus menjadi inspirasi dan sebuah amanat surgawi yang memberi kesempatan kepada manusia untuk memulai lembaran baru dalam menabur kegembiraan dan harapan bagi umat.
Jika ingin masuk dalam rana publik, berita yang penuh cemerlang ini, diyakini sebagai anugerah Allah yang luar biasa dan dengan kesadaran penuh akan membuka babak baru wajah Keuskupan. Begitu diumumkan sebagai uskup Maumere, berbagai reaksi spontan yang muncul, tepuk tangan ,teriakan histeris, berjabatan tangan, tertawa dan menangis. Karena uskup yang dinantikan telah hadir dan memberi rasa sukacita melimpah bagi umat setelah penantian panjang dalam kesabaran dan doa. Di sini, umat merindukan seorang Uskup “eklesiastik – orang publik Gereja yang partisipatip lewat bekerja sama dalam pelayanan, siap mendengar keprihatinan dan keluhan – keluhan umatnya. Kesadaran yang demikian, tentunya dapat kita katakan bahwa seorang Uskup itu telah siap dan sanggup melibatkan diri serta tercatat sebagai pemenang sejarah dalam keselamatan umatnya. Termasuk kepekaan membaca situasi sosial dengan sikap fair dalam semangat solidaritas dan kekeluargaan.
Selang waktu beberapa menit, ada desiran dari kejauhan, RD. Yohanes Soro, Pastor Paroki Mundemi – Keuskupan Agung Ende, yang baru se- bulan lalu mengunjugi Mgr. Edwaldus Martinus Sedu, di rumah Kuria, juga tak ketinggalan menyampaikan sukacita mendalam melalui handphone, ia melembutkan nada suaranya dua kali berseru; “ E- le, Ja’o Mata Si “ ( bahasa Bajawa – Flores ) artinya “Biarlah sudah sekarang saya mati”. Mungkin juga karena kedekatannya, sehingga spontan mengulang kalimat seperti di dalam Kidung Simeon: “Ya Tuhan sekarang juga biarkanlah aku hamba-Mu ini berpulang karena aku telah melihat keselamatan”. Banyak orang secara bebas mulai menafsir ikhwal mendengar dan mendapat berita tersebut, termasuk RD. Richard Muga Buku, Direktur Politeknik Cristo Re, milik Keuskupan Maumere. Romo Richard mengungkapkan perasaan hatinya mengenai berita terpiihnya Romo Ewaldus itu bagaikan letupan nurani (scintilla conscientiae ). “Inilah waktu dan saat yang tepat sesuai janji Allah untuk “ka’e (Kakak) Edwal. Terus terang tadi pagi setelah perayaan misa di Kapela Perumnas, langsung secara spontan mengangkat doa untuk terpilihnya Uskup baru”. Kendati sisi penghayatan rohani dalam doa tersebut, memungkinkan proses panggilan yang tak pernah berhenti dan kita terbuka kepada kehendak Allah, “supaya kehidupan di atas bumi ini sama seperti di dalam surga”.
Kesan spontan dari teman lain yang seangkatan beliau juga punya kesan tersendiri. Pertama, RD. John Eo Towa, Direktur Puspas Keuskupan Maumere dengan menitik air mata ia pun secara spontan berseru, “adegan ini hanya bisa menjadi kenyataan jika ada kuasa kehadiran Allah dan ada iman”. Kedua, RD. Syilvester Oba, Pastor Paroki Sikka, dengan rasa penuh haru, juga menitik air mata sambil berkata, “Ia orangnya berkarakter kalem, bersahaja, tenang, tidak menonjol, baik terhadap semua orang, gaya bicara dengan pernyataan pendek yang berakhir senyum dan percaya secara penuh pada orang yang diberi tugas. Ketiga, RD. Deodatus Duu, Praeses Seminari Menengah Bunda Segala Bangsa Maumere, mengatakan bahwa di tengah kabut gelombang milenial “manusia yang semakin abunawas” termasuk komunikasi teknologi yang sulit dibendung, ternyata ia harus mengambi alih sebagai juru mudik. Maka marilah kita teman sekalian berdoa, agar cakrawala pikiran dan kharismanya selalu diberkati Tuhan. Kini ia mulai siap hijrah tempat tinggalnya di “Lepo Bispu” rumah Keuskupan Maumere. Dengan demikian perlahan namun pasti, ia mulai siap bertolak dan berjuang dengan strategi baru untuk menyelamtkan umat manusia, agar tidak hanyut oleh penderitaan karena ketidakpastian kehidupan dunia.
Tentu saja menjadi sebuah refleksi yang lebih dalam atas kuasa penyelenggaraan Ilahi yang tak pernah keliru. Sesui sabda-Nya; “ Tetapi Aku datang, agar mereka mendapat hidup, yang penuh dan melimpah ” (bdk, Yoh,10;10 ).Gejala lain yang tampak adalah semua yang hadir di pendopo Lepo Bispu terpancang wajah senyum yang sungguh menikmati suatu persekutuan istimewa dan bersedia untuk menanggungkan beban bersama dengan uskup yang baru. Dengan kerelaan hati umat untuk membaktikan diri, menjadi tanda Gereja sebagai suara yang hidup ( viva vox ) sesuai rencana Tuhan yang tanpa batasan ruang dan menjawab peluang.
Dalam audeinsi pendek di senja itu, Mgr. Edwaldus Martinus Sedu Uskup yang baru terpilih, menyampaikan kata – kata bermakna agar kita harus secara bersama – sama memberi teladan dalam doa dan perbuatan nyata dalam setiap karya perutusan di Keuskupan ini. Sebagai uskup terpilih, tentu ia pun menyadari dirinya hanya sebagai pejuang Allah yang selalu siap mengikuti Yesus dan mewartakan kabar gembira. Ini adalah sebuah idealisme transendental yang mempunyai nilai nyata bahwa kesejahteraan dan kebahagian yang dicapai manusia merupakan anugerah Allah.
Di tengarai situasi dan pengalaman sesuai dengan judul di atas untuk kembali bernostalgia, tulisan ini tidak lebih sebuah sketsa yang mau menampilkan sosok Uskup terpilih Mgr. Edwaldus Martinus Sedu, yang saya kenal berdasarkan perjumpaan, kerja sama dan pembicaraan pribadi. Selama kurun waktu tahun 1983 hingga tahun 2018, saya mengenal beliau mulai sejak sebagai teman frater, rekan imam dan Uskup. Yang situasi hidupnya sebagai seseorang dengan sosok pribadi yang tidak mencari identitas dan individualitas. Kesan lahiriah yang diperoleh dari teman seangkatan sekolahnya secara saksama, melihat beliau sebagai pribadi yang konsisten, ada kesesuaian antara bicara dan bertindak, antara karya dan hakikat sekaligus merefleksikan hal penting dalan tugasnya.
Demikian pula di tengah orang – orang yang sudah maju secara material, intelektual dan nalar, beliau tetap mengunggulkan gaya khasnya yang sedehana seperti bahasa, irama dan gerak tubuh. Menjadi sebuah kehendak untuk bersedia menerima berbagai kemungkinan hasil perubahan dan kemajuan yang telah dibayang –bayangi oleh sikap rasionalisa dari pada kepekaan hati. Dalam hal ini sebagai seorang Uskup terpilih melalui pengalaman dengan tanpa gembar – gembor untuk di masa mendatang ia akan memperbaiki kehidupan umatnya dengan “kehendak bebas” ( free will ) yang dibenarkan lewat isyarat “sabda Allah”. Pemikiran ini merupakan cermin sekaligus perbaikan masalah kesenjangan yang sedang terpampang di hadapan kita dan siap menggapainya lewat semangat gerakan jalan bersama.
Di barengi pula dengan riwayat imamatnya, setelah ditahbisakan menjadi Imam ia mendapat penempatan pertama di Paroki St. Yosef Maumere, kala itu masih dalam naungan Keuskupan Agung Ende. Lalu dipindahkan ke Paroki St. Maria dari Gunung Karmel Wolofeo – Lio Mego, sebuah wilayah yang masih sangat terisolasi dengan rupa – rupa kekurangan. Kemudian ia kembali lagi menjadi Pastor Paroki St. Yosep , yang pada kala itu terjadi musibah gempa bumi dahsyat, 12 Desember 1992. Kembali ia ditunjuk oleh para Uskup SENUSRA untuk menjadi ketua KORWIL ( koordinator wilayah ) bencana alam gempa untuk di Kevikepan Maumer ( Kabupaten Sikka ) dimana telah meluluh – lantakan bangunan di kota dan desa. Kemudian diputuskan oleh Uskup Mgr. Donatus Jagom, SVD. untuk melanjutkan studi di Roma dan sekembalinya beliau bertugas di Seminari tinggi St. Petrus Ritapiret. Lalu ia pun diangkat mejadi Praeses, dan berselang waktu yang tak lama ia pun kembali dipercaya menjadi Vikjen Keuskupan Maumere dengan tugas rangkap, hingga pada akhirnya terpilih menjadi Uskup, Keuskupan Maumere.
Dengan nada bicara yang beraksen Bajawa asal kampung kelahirannya, ia pun suka humor, sangat tekun memecah keruwetan jika ada persoalan dan semangat untuk mendengar sambil sesewaktu memberikan argumentasi pembelaan yang penuh bernada kasih. Saya kira setiap orang yang pernah berbicara dengan Mgr. Edwaldus Martinus Sedu, akan secara spontan merasa tertarik dengan ketertiban pikiran dan juga ketenangan jiwanya. Pindai – batin ini menunjukkan hakekat terdalam doa pribadinya yang merupakan daya dorong untuk mengasihi dan merangkul sesamanya, terutama bagi yang berkekurangan diterima sebagai satu keluarga. Konsep ini diyakini beliau sebagai implementasi “Gaudium et Spes, yang menunjukkan Gereja yang inklusif dan mau terlibat dalam masalah – masalah dunia.
Semua itu mengandung makna, bahwa menjadi Uskup Diosesan pertama – tama bukanlah sebagai penguasa wilayah, tetapi memiliki kewenangan khusus untuk mempersatukan komunitas umat beriman dan presbiterium. Sebagai sahabat, saya ingin bertolak dalam sebuah perjalanan waktu, bahwa beliau sendiri seperti batiniahnya tidak pernah membayangkan bahwa ( 27 tahun ) usia ziarah imamatnya akan diangkat menjadi uskup Diosesan atau dalam tradisi kepemimpinan Gereja perdana disebut suksesi Apostolik. Kita pun menyadari bahwa orang sukses Apostolik merupakan buah dari pengabdian kepada sabda Allah sebagai harta yang berharga. Sabda dalam Gereja adalah panggilan kepada ibadat dan penyembahan, manakala tampil sebagai gembala yang tidak tegah meninggalkan umat-Nya, tapi menjaga kebaikan bersama (bonum commune).
Ia harus memegang tongkat estafet pengembalaan di belakang 2 (dua) uskup pendahunya, Mgr. Vincentius Poto Kota Pr. dan Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira SVD. Kedua uskup ini punya reputasi alam pikiran dan kharisma perintis arah dasar pastoral. Dalam gelombang gerakan inilah, ia sudah merasa terpanggil untuk bertindak bijak sebagai, “gembala umat yang akan menghantar domba – domba kepada hidup dalam kelimpahan” (bdk. Yoh, 10; 10b). Konteks ini amat mendasar, maka ia akan hadir sebagai sosok yang memegang teguh dokrin Gereja dan menolak kekuatan arkais atau terjerumus dalam adat yang membelenggu. Tentu saja alam pikiran dan kharisma menjadi kriteria yang mengesankan, menjadi pemandu menemukan jalan, kebenaran dan hidup bagi keselamatan umatnya. Dengan kembali melirik pada apa yang umum dikenal sebagai “local wisdom” (kearifan lokal), suatu modal sosial – kultural dalam koridor refleksi pastoral pasca alih tugas, kita masih menimbah harta batin beliau yang dengan penuh kesadaran religius membuat ia pun bebas berpartisipasi dalam diskusi dan mampu menyesuaikan diri dengan pendapat bersama. Dalam arti ini, tongkat estafet karya besar Keuskupan telah ditaruh ke atas pundaknya, ketika bersamaan dengan kehidupan iman umat yang telah dibelokan oleh arus globalisasi. Karena dunia telah dikuasai oleh pergulatan kehidupan keluarga yang semakin tercabik – cabik, termuat dengan rencana yang muluk – muluk, generasi milenial yang cepat merasa lelah di setiap pekerjaan dan rasa putus asa di tengah perubahan era globalisasi. Anggapan ini sudah semestinya dilawan dengan memberi “sosok pribadi” yang berorientasi untuk menciptakan semangat berdialog dan perlahan – lahan secara realistis menghindari doktrin yang bersifat kekuasaan.
Menjadi seorang uskup memang bukan wujud impian, tapi panggilan yang harus dijawab “ya” tanpa tahu ke manapun dan bagaimana nantinya. Hal yang pertama tidak lain merupakan ungkapan dari penglaman konkrit sejak Mgr. Ewaldus Martinus Sedu, mulai berniat untuk masuk seminari hingga di tahbiskan menjadi imam dan terpilih menjadi uskup. Sekarang kita perlu memahami dan memperdalam tiga tahap dalam pengangkatan seorang uskup: pertama, pengangkatan ( Kan.377 § 1 ); kedua, konsekrasi atau pentahbisan (Kan.375 § 2 );ketiga, pengambil – alihan jabatan secara kanonik (Kan.382). Karenanya, untuk saat ini Uskup terpilih tidak dapat mencampuri pelaksanaan jabatan yang diserahkan kepadanya sebelum mengambil – alih jabatan secara kanonik.
Dengan tidak memandang enteng untuk tugas yang tidak ringan ini, Mgr.Edwaldus Martinus Sedu, sadar bahwa panggilan ini bukanlah kehendak manusia, melainkan berasal dari Allah sendiri yang memungkinkan semuanya. Kita belum tahu apa yang kemudian akan terjadi, serta bagaimana arah dan warna kebijakan pengembalaan selanjutnya. Tapi akan kita lihat bersama apa kiranya yang akan dilanjutkan, sebagai seorang yang sudah punya otoritas Ilahi dalam menetapkan norma – norma dan mengambil keputusan dalam kasus khusus Gereja lokal. Dalam Gereja Kristus ada tiga fungsi yang dipercayakan oleh Kristus sendiri yaitu menguduskan, mengajar dan memimpin. Melalui kuasa tahbisan (potesta ordinis). Kepemimpinan itu memiliki tiga makna tugas yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif (Kan. 135 ). Dan inilah yang menjadi pegangan seorang Uskup dalam reksa pastoral kegembalaannya ke depan hingga memasuki masa purnakarya.
Sisi tilik, perjalanan waktu yang berkenaan dengan arus zaman individualisme, tidak mengherankan jika Mgr. Edwaldus Martinus Sedu, Uskup ketiga Keuskupan Maumere memiliki siasat dan visi kegembalaan lewat Motto tahbisan episkopalnya : Duc In Altum”. Bertolaklah ke tempat yang dalam ( Injil Lk, 5,4 ). Inspirasi moto ini addalah berakar kuat pada kisah Petrus dan rekan – rekannya yang telah semalam suntuk menjala ikan, namun tidak menuai hasil apa pun. Namun karena Yesus yang menyuruhnya, mereka menebarkan jala juga dan hasilnya sungguh melimpah. Moto ini selalu menyadarkannya bahwa karya pastoral, karya kerasulan, karya penyelamatan adalah karya Allah. Dan kita mendapat kehormatan sekujur ziarah kehidupan boleh turut serta dalam karya, seturut perintah Yesus, ”untuk bertolak ke tempat yang dalam”. Sungguh minus – malum (sebagai pilihan terbaik) moto tersebut telah terinternalisasi dan menjadi praksis hidup yang sekaligus sebagai panduan di era post modern. Paling tidak terus mendambakan kesejahteraan umat dalam karya ciptaan Allah, sehingga tak seorang merasa dipinggirkan, seperti sebuah aktualisasi yang diungkapkan oleh St. Fransiskus dari Asisi: “Deus Meus et Omnia” ( Allah adalah segalanya bagiku ).
Begitu juga pilihan sikap para murid perdana menjadi makna hidup dan dasar tradisi teologis yang tak ada akhirnya; Pertama, mereka mulai mengendam pendapatnya, tidak melakukan apa pun dan timbul perasaan konflik kebebasan, seperti “sudah semalam suntuk kami tidak mendapat”; Kedua, para murid mulai melawan keraguan dan mengikuti perintah Yesus untuk, “ bertolak ke tempat yang lebih dalam”. Ketiga, dengan iman para murid yang baru berkecambah, maka secara perlahan mulai percaya bahwa akan membuahkan hasil yang berlimpah – limpah. Kita pun merenung dan bertanya, mengapa Mgr. Ewaldus Martinus Sedu, harus memilih moto “Duc in Altum” sebagai sebuah siasat kegembalaannya ? Mengkaji lebih dalam, sebagai gembala umat di wilayah Keuskupan yang baru berdiri dan belum berurat – akar, maka penting semangat kepiawaian dan kepada khalayak umat yang letih lesu dan berbeban berat supaya mulai bertolak lebih dalam demi memperoleh hidup berkelimpahan.
Untuk itu, apa pun usaha dan niat kita sangatlah tidak penting atau jatuh nihil apa bila inovasi dan karya hidup yang dilakukan manusia, mengabaikan perintah Tuhan. Manusia bisa tergeletak dalam ketidak pastian dan dalam upaya apa pun manusia tak pernah sanggup meraih kelimpahan. Itulah sebabnya, Mgr. Edwaldus Maritinus Sedu, ingin berpartisipasi secara simbolis dengan umat di Keuskupan yang sedang berziarah di era milenium ke tiga ini menuju kebebasan. Paling tidak umat merasa bersatu dan kuat, seperti nubuat Habakuk; “Engkau menjadikan manusia seperti ikan di laut, mereka semua ditariknya dengan kail, ditangkap dengan jalanya dan mengumpulkan mereka di dalam pukatnya” ( bdk. Hab, 1; 15 – 15 ) Kehadiran moto yang lebih simbolis ini menurut: RD. Yosef Liwu Pr. Pastor Paroki Boawae – Keuskupan Agung Ende, langsung menyapa teman kelasnya dengan kata – kata gamblang dalam bahasa Nagekeo, ” Ndoe, too sewengi kai na dheko nangu ? ( “ Hei, sejak kapan dia belajar berenang” ). Lalu Ia pun memastikan bahwa inilah percikan terdalam hati “beliau” yang menaklukan kekecewaan umat Gereja lokal yang telah larut bekerja, supaya kembali bertolak ke tempat yang lebih dalam.
Maka, yang perlu diperhatikan dalam reksa pastoral, agar usaha penggaraman itu sudah seharusnya semakin berkualitas dan terus mengedepankan strategi pelayanan kasih serta subsidiaritas yang saling melengakapi. Seiring waktu corak dan gaya kepemimpinan pada initinya “ jangan takut” karena Yesus telah mengisyaratkan untuk “bertolaklah ke tempat yang dalam”. Di sini, konsistensi Uskup kembali mengangkat kehendak manusiawi dan memaklumkan dalam terang sabda Allah demi mengatasi masalah pastoral. Kita semua berharap “di awal dari seruan gembala” ini, menjadi sebuah perihal penting agar konsisten terhadap kehendak Allah demi memperoleh hasil yang gemerlap dan berlimpah. Aktualisasi situasi yang demikian bukan tanpa dipicu keraguan dalam melaksanakan misi Yesus Kristus, tetapi yang dibutuhkan adalah kesetian dan ketekunan sehingga terwujudnya habitus baru terutama dalam semangat “jalan bersama” ( Sinode ).
Dengan lahirnya motto “Bertolaklah ke tempat yang dalam “, sedikit mengintip niat luhur Mgr. Edwaldus Martinus Sedu, yang mempunyai andil tersendiri supaya setiap tindakan selalu menempatkan Yesus sebagai tokoh inspirasi pembaharuan iman, harapan dan kasih. Dengan bertolak dalam mengemban misi pengembalaannya, maka untuk melawan kekhawatiran menuntut komitmen hati dan pikiran, iman yang mendalam serta semangat rasional dan metodologis. Juga sampai kepada interpretasi, di mana beliau sadar bahwa Gereja lokal Keuskupan Maumere baru mulai berkecambah dan berkembang, maka butuh pola integritas berpastoral dengan logika terdalam dari kehendak Allah. Sebagai sesuatu yang sah hal tersebut menjadi sebuah refleksi tentang eksistensi Allah dengan pengakuan kekosongan historisitas ( tradisi ) di waktu lampau dan berpeluang jika mengikuti perintah. Itu berarti menghidupkan kembali kearifan berpastoral dan interpretasi atas kerepotan – kerepotan pelayanan yang harus berlandaskan pada terang sabda Yesus. Mungkin kesan inilah yang ditawarkan oleh moto, supaya memahami perintah Yesus dalam terang penjelmaan yang menjadi satu paket undangan untuk mulai bertolak menuju realitas .
Perlu dicatat di sini bahwa dalam konteks Sikka, sesungguhnya sebuah wilayah yang dihuni oleh masyarakat plural yang amat rentan dengan konflik, karena keanekaragaman pulau, agama, suku dan bahasa. Di mana terurai tafsiran sosial masih termaktub permasalah kemiskinan, pengangguran, kebobrokan gaya hidup seperti mabuk, judi, pesta pora dan lain – lain, yang juga menjadi tanggungjawab Gereja. Maka harus diwaspadai sungguh oleh seorang pemimpin Gereja bahwa perjumpaan iman dengan banyak kebudayaan turut memberi panduan perubahan. Pembahasan ini menjadi relevan, ketika diperlihatkan sikap manusia yang masih terbuka kepada tradisi yang terbungkus dalam mitos –mitos. Namun, yang patut kita bersimpuh ialah membawa kebenaran Allah dalam memperjuangkan keutamaan manusiawi, termasuk realitas kebijaksanaan, ugahari, dan keadilan. Kita akhirnya mengetahui pikiran dan kehendaknya untuk memilih motto yang sebenarnya bertolak dari inspirasi sepak terjang yang pernah beliau sendiri mengalami, mengingat beliau bukanlah orang asing yang berada nun jauh di sana.
Paling tidak isu kunci di sekitar pemilihan moto yang tidak dapat kita hindari terutama memahami nilai – nilai spiritual terkait makna perikop Injil Lukas 5; 1 – 11; Pertama, nilai tradisi ( historisitas ), telah kami bekerja sepanjang malam; Kedua, nilai emosional ( kharisma ) atas kehendak-Mu dan Ketiga, nilai memberdayakan ( empower ) kamu jangan takut. Dengan nilai – nilai utama sebagai fundasi pelayanan, maka menghasilkan momentum pewartaan yang solid dan stabil atau menjadi pemimpin yang sungguh efektif. Demikian pula para rasul perdana yang dipilih untuk mendengar perintah Yesus bukanlah berasal dari tempat metropolitan, tapi mereka yang tinggal di bibir pantai Genezaret. Sebuah komunitas masyarakat madani yang penuh optimis dan selalu percaya kepada kehendak Tuhan pencipta dengan memberi jawaban atas perintah Putera-Nya. Saya menduga bahwa inspirasi moto ini, sesungguhnya beliau telah menemukan kebenaran hakiki, tentang kehidupan generasi milenial yang penuh dengan perdebatan panjang dan ibaratnya di zaman now manusia lebih suka; “menghitung berapa banyak jumlah ikan yang ia makan, dari pada menghitung berapa banyak jumlah ikan yang ia tangkap” .
Dengan meneropong perjalanan imamat Mgr. Edwaldus Martinus Sedu, yang mencengangkan kini menjadi puncak refleksi kritis atas kebesaran Tuhan, yang telah membuahkan semangat baru, lewat inspirasi moto “ bertolaklah ketempat yang lebih dalam“. Inilah spirit yang penuh makna dalam rasa kepedulian demi suksesnya reksa pastoral kekinian dan tak henti berjuang untuk menghadiri ziarah bersama demi menuju perubahan yang berkualitas di tengah umat. Termasuk ikhlas memberi jawaban atas pertanyaan tragis yang datang dari umat zaman ini dan tetap memegang teguh pada ciri khas jati diri. Sekaligus adanya kesesuai locus dan fokus yang akan mempengarui kehidupan umat, sehingga tiba pada pelestarian hak asasi Gereja Kristus yang menagjubkan.
Akhirnya, sisi tilik 27 tahun hidup imamatnya terkadang seperti “garam yang larut” , tetapi tidak hanyut. Di tengah kehidupan yang penuh kontroversi ia tetap setia mencari kebenaran pada kehendak Allah dengan penuh kejujuran melalui misi kerendahan hati yang berani. Selaras dengan perjalanan waktu yang telah menguras hidupnya, ia adalah sosok yang tetap merekonstruksi keyakinan yang tak sanggup dijelaskan namun terbukti. Dengan sikap kritis dan terbuka dalam khisaran, semoga ia pun dengan setia menjaga tugas Ilahi yang telah mulai diembannya sebagai warisan tradisi Gereja hingga pada keabadian “ Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah dipilih Allah” ( bdk. Yoh.6,29 ).
………………………………
Editor: John Laba Wujon
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.