BANYAKNYA metode pendidikan yang dikembangkan di lingkungan gereja Katolik merefleksikan besarnya perhatian gereja terhadap perkembangan pendidikan. Santo Yohanes Don Bosco, misalnya. Ia mengembangkan sebuah metode pendidikan yang disebutnya dengan preventive system atau sistem pencegahan.. Penasaran dengan metode dari sang pengagum Santo Fransiskus Asisi dan Santo Fransiskus Sales?
Awalnya, Santo Don Bosco mengembangkan preventive system di sekolah-sekolah Salesian. Melalui metode ini, siswa diajak untuk patuh dan setia pada aturan bukan karena terpaksa atau karena takut. Siswa diajak untuk patuh dan taat justru lewat pendekatan persuafif. Cara-cara kekerasan dihindari, dan sebagai gantinya kasih menjadi sumber utama tindakan pembelajaran di sekolah. Pendekatan ini dipraktikan secara nyata oleh Santo Yohanes Don Bosco, hingga ia sendiri menemukan bahwa hidupnya, harapan dan cita-cita imamatnya menjadi tanda cintanya pada kaum muda yang terabaikan.
Mengatasi Amarah
Ketika berurusan dengan peserta didik, kita sebagai pendidik hendaknya tidak membiarkan bayang-bayang amarah menggelapkan wajah kita. Kontrol diri sepenuhnya agar kita sanggup mengatur seluruh pembawaan diri kita – pikiran, hati dan bibir kita di hadapan orang muda. Menurutnya, orang yang memiliki pemahaman dan pengertian perihal orang lain,juga akan menilainya dengan penuh kasih dan kemurahan hati. Bahkan bila orang lain itu jelas-jelas dan tak dapat dipungkiri telah berbuat salah.
Santa Teresa pernah berkata, “Jangan biarkan apa pun mengganggumu!” Don Bosco melihat bahwa semua yang mengganggu berawal dari perkataan lidah yang salah.
Santo Fransiskus dari Sales, orang suci yang lemah lembut, tidak pernah membiarkan lidahnya berbicara ketika hatinya sedang terganggu. “Saya takut,” katanya suatu kali, “kehilangan dalam seperempat jam rasa manis kecil yang telah saya kumpulkan, setetes demi setetes, seperti embun, dalam bejana hati saya melalui upaya 20 tahun.”
Santo Don Bosco mengajarkan supaya pendidik itu dapat menguasai karakter dirinya. Bahkan, menurutnya, hal ini dapat menjadi kunci sukses dalam mendidik anak sekolah. “Tunjukkan pada mereka bahwa emosi yang tidak terkendali tidak berperan dalam tindakanmu; mereka akan menghormati anda untuk itu, dan bahwa rasa hormat mereka akan mendorong mereka untuk patuh. Menyakiti anak didikmu itu tanda kelemahan paling dalam, ketidaksabaran, dan itu akan merongsong otoritas serta prestise anda dihadapan mereka.”
Berpikiran lembut dan ramah pada anak-anak, ini sesungguhnya menjadi rahasia kepribadian pria yang lahir di tahun 1815 itu. Kepribadian seperti inilah ia akui telah memberi pengaruh sehat pada kaum muda
Pendiri Ordo Salesian itu juga mengatakan bahwa hukuman yang diberikan seorang guru tidak akan dianggap sebagai ‘obat ‘atas perilaku salah anak didikm, tetapi itu semata hanya sebagai pelampiasan atas hasrat pendidik. “Itu tidak menghasilkan buah! Bahkan sedikit raut wajah atau perubahan nada suara yang disebabkan oleh kemarahan dapat menyakiti dan menimbulkan anak-anak lelaki kehilangan harga diri serta kepercayaan mereka pada kita.”
Menurutnya, semua hukuman tidak ada gunanya, karena anak didik (laki-laki) merasa bahwa mereka punya alasan sendiri yang digunakan untuk mengoreksi kesalahannya. Pandanglah Yesus dihadapanmu. Dia dengan sabar menanggung ketidaktahuan dan kekerasan hati para rasulnya. Dia harus tahan dengan ketidaksetiaan mereka. Tangan ramah yang Ia ulurkan, bahkan kepada orang berdosa menimbulkan keheranan dan rasa kaget banyak kalangan hingga mereka tersinggung. Namun, keinginan satu-satu dari-Nya adalah untuk menginspirasi keyakinan dan harapan para pendosa. Yah, Ia mengajak kita: “Belajarlah kepada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati.”
Diolah dari berbagai sumber: The Fransiscan Book of Saint dan TheCatholicTraditional.com
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.