Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Mengeluh pada Siapa?

Mengeluh pada Siapa?

Dengan tulisan ini saya memasuki ruang dengan lantai licin, saya bisa salah dan ditembaki pihak-pihak yang kurang setuju, tapi soal ini perlu dibahas, dijernihkan dan dipertegas. Awalnya tidak enak, tetapi mungkin kemudian lebih jelas.
Bagaimanapun upaya Gereja menyelenggarakan pelayanan, perlu diperhitungkan adanya keterbatasan atau kelemahan, bahkan ketidakadilan. Atau adanya pihak-pihak yang merasa diperlakukan tidak adil, lepas dari soal benar atau tidak, sejauh mana benar dsb. Bukankah “perasaan� orang yang mendapat pelayanan juga penting?

1.Siapakah Gereja itu
Dengan “Gereja� di sini tidak dimaksudkan paham teologis, lalu dijawab dengan “Kita semua adalah Gereja� atau “Gereja adalah kita semua, termasuk pengeluh, maka anda menuding diri sendiri�, melainkan dimaksudkan orang atau lembaga yang dalam gambaran orang dianggap berkaitan dengan Gereja, dalam lembaga katolik di lingkungan Gereja, seperti Yayasan katolik, sekolah katolik, panti asuhan atau panti jompo katolik, rumah sakit katolik, dan tentu juga para petugas atau pejabat Gereja, seperti Pemuka agama, Romo paroki, prodiakon dsb.

2.Reaksi emosional
Dapat dimengerti reaksi pertama yang lebih merupakan luapan emosi daripada penalaran akal sehat. Bisa saja segala itu dituangkan dalam surat, tetapi jangan langsung dikirim, melainkan disimpan dulu beberapa hari, biar mengendap. Kurun waktu dapat menyembuhkan luka batin. Seringkali dalam waktu yang lebih tenang surat itu tak jadi dikirim atau dikoreksi lebih dulu. Pernah terjadi seorang dengan kasar dan nada marah mengecam kotbah Romo dan langsung menulis kritiknya di balik kertas pengumuman yang dibagikan sebelum Misa, jadi menurut kesimpulan saya, dalam Misa itu ia tak berdoa, melainkan dengan hati marah menumpahkan emosinya pada kertas yang kebetulan ada padanya. Surat itu juga memberi aneka nasihat dan memuat tuduhan-tuduhan yang tidak
benar, dan Romo yang berkotbah itu Romo tamu, bukan Romo dari paroki itu.

3. Salah alamat
Dapat dimengerti (meskipun belum tentu dapat dibenarkan) bila orang dalam kejengkelannya menyalahkan orang tertentu. Tetapi mungkin salah alamat! Kasus bisa macam-macam: hasil dari suatu rentetan peristiwa yang melibatkan banyak orang, atau memang hasil keputusan satu orang atau badan yang mengambil keputusan.

4. Tembusan-tembusan
Pada akhir surat keluhan seringkali dicantumkan daftar mereka yang mendapat tembusan.
Seringkali alamat-alamat itu tak mempunyai urusan dengan perkara yang dipermasalahkan, dan juga tak diketahui, apakah benar surat dikirim dan diterima oleh alamat-alamat itu. Selain itu dengan begitu banyak tembusan disebarluaskan pelbagai tuduhan yang mungkin juga merupakan fitnah, kalau tidak benar, dan pihak yang dituduh tak dapat membela diri, bahkan mungkin tak tahu tentang penybarluasan tuduhan itu.

5. Surat kaleng
Entah surat kaleng itu diapakan oleh penerimanya: dibaca lalu disimpan, ataukah lang-sung masuk kranjang sampah. Tindakan ini juga bisa berdasarkan prinsip.
Penerima tak dapat menghubungi penulis surat, misalnya untuk menanggapinya, untuk bertanya sesuatu atau untuk menjernihkan salah paham.
Surat kaleng bisa bersifat sugestif dan menimbulkan ketidakadilan, misalnya kalau penerima terpaksa menduga-duga dan mengira orang tertentu yang dimaksud, sedangkan orang itu tak tahu-menahu.
Mungkin yang dimuat dalam surat itu benar dan penting yang perlu ditanggapi pimpinan.
Tetapi pimpinan tidak bisa sembarangan bertindak atau menindak, melainkan meneliti
perkara itu lebih dulu. Asas “praduga tak bersalah� juga perlu dindahkan.

7. Bagaimana jalur mengajukan keluhan?

a.Pada umumnya
Karena sulit menampung semua kemungkinan, saya dahulukan peraturan umum saja:
1)Â Atasan langsung yang bersangkutan. Misalnya keluhan tentang guru kepada kepala sekolah
2)Â Keluhan tentang kepada sekolah kepada Yayasan
3) Keluhan tentang Yayasan kepada “pemilik� yayasan (Keuskupan atau Tarekat),
meskipun resminya menurut UU ttg.Yayasan tak ada pemilik, karena Yayasan itu otonom, maka menurut jalur itu, kepada Pembina.

b.Beberapa jalur
1)Â Keluhan tentang keadaan di bawah Pastor paroki kepada Pastor paroki
2)Â Keluhan tentang Pastor paroki kepada Pimpinan Keuskupan
3)Â Keluhan tentang Uskup kepada Uskup Agung. Tetapi patut diperhatikan bahwa
setiap Keuskupan adalah otonom. Jadi, bukan kepada KWI yang bukan atasan Uskup yang diangkat oleh Takhta Suci yang di Indonesia diwakili Duta Besar.
4)Â Keluhan tentang biarawan-biarawati kepada atasannya (lokal atau provinsial atau piminan umum kalau menyangkut Tarekat tingkat keuskupan).
5)Â Keluhan tentang imam diosesan kepada Uskupnya, karena setiap imam diosesan
berinkardinasi di Keuskupan tertentu. Inkardinasi = termasuk keanggotaan, karena tidak boleh ada imam tanpa keanggotaan (imam diosesan pada Keuskupan lewan inkardinasi sejak tahbisan diakon, dan imam Tarekat lewat profesi kekal).
Â
8.Catatan untuk budaya Indonesia
a.Mengutamakan upaya pastoral
Orang Indonesia itu sering sungkan, tak suka jalur hukum, melainkan mengutamakan pemecahan kekeluargaan. Hal ini juga kita lihat dalam masyarakat, di mana penegakan hukum “tebang pilih� dan lemah, dan ada orang-orang berkuasa yang tak tersentuh (impunidad). Maka seringkali terjadi “pembiaran� yang memberi kesan permisivisme.

b.Khawatir akibatnya

Banyak orang yang kurang puas dengan pelayanan Gereja memilih diam saja, karena khawatir akan akibatnya:
1) Akibat bagi diri sendiri
– Tak disukai
– Anak sebagai murid dimusuhi (dicing�)

2) Akibat bagi pelayan
– Rasa rendah diri
– Putus asa dsb.

Positif atau negatif?

Positif:

Kalangan hukum Gereja sendiri menganjurkan mengutamakan upaya pastoral sehingga jalur hukum yang selalu disadari dipakai sebagai sarana terakhir.

Negatif

Penegakan hukum lemah atau diskriminatif.Â
Perlindungan hak kurang terjamin.

Piet Go OCarm