MIRIFICA.NET – 5 Oktober 2019, uskup agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo dalam collegium Sanctae Ecclesiae Cardinalis. (Persekutuan para Kardinal dari Gereja Kudus). Inilah Kardinal ketiga dari Indonesia. Peristiwa besar ini mendatangkan sukacita bagi Gereja katolik Indonesia. Dalam kegembiraan itu ada yang cukup teliti bertanya, mengapa gelar Kardinal ditulis di tengah bukan di depan? Pertanyaan ini memancing keingintahuan lain tentang gelar Cardinal di dalam Gereja dan sejarahnya. Saya coba mencari tahu sedikit dan membagikannya.
Engsel Gereja
Kardinal, adalah prelat Gereja Katolik Roma yang diangkat oleh Paus dan memiliki fungsi istimewa, antara lain untuk memilih Uskup Roma (paus) pada saat sede vacante– tahta lowong, bertindak sebagai penasihat utamanya – baik secara kolegial maupun personal, membantu dia dalam pemerintahan Gereja Katolik Roma di seluruh dunia, dan juga menjadi utusan dan the special reperesentative (perwakilan khusus) untuk Bapa Suci dalam situasi tertentu. Umumnya para cardinal melayani sebagai pejabat utama Curia Romana (birokrasi kepausan), sebagai uskup dari keuskupan-keuskupan besar, dan seringkali sebagai Legatus kepausan. Mereka mengenakan jubah merah dan disebut sebagai “Eminence,” serta dikenal sebagai Pangeran gereja.
Cardinal berasal dari kata Latin cardo yang berarti “pivot” atau “engsel.” Kata ini telah digunakan sejak abad-abad awal kekristenan yang merujuk pada proses pengintegerasian seorang uskup atau imam ke dalam keanggotaan gereja yang ia tidak dimilikinya saat ditahbiskan (“inkardinasi”). Di Roma, mereka yang pertama disebut cardinal adalah para Diakon dari tujuh wilayah pelayanan kuno di kota tersebut. Pada awal abad ke-6, kata itu mulai mendapatkan pengertian yang istimewa yakni, “eminentia,” atau “superior.” Gelar ini juga diberikan kepada imam senior di masing-masing gereja titular kota Roma dan kepada para uskup dari ketujuh tahta yang mengelilingi Roma (Ostia, Velletri-Segni, Porto-Santa Rufina, Frascati, Palestrina, Albano, dan Sabina-Poggio Mirteto). Fungsi para cardinal pada masa ini masih cenderung bersifat liturgis, yaitu untuk mendampingi dan atau meng-asistensi Paus dalam perayaan meriah dan doa-doa liturgis.
Sejak abad ke-8 peran para cardinal mulai bertransformasi. Mereka dipercaya untuk mengambil bagian dalam administrasi dan fungsi judisial Gereja Roma. Dengan dekrit sinode 769, Paus Stephen III mulai mengundangkan bahwa hanya cardinal yang memenuhi syarat-lah yang boleh dipilih untuk menjadi paus, meskipun tentunya belum digariskan pada waktu itu bahwa Roman Pontiff harus dipilih dari kalangan Cardinal. Pada 1059, selama kepausan Nicholas II (1059-61), para cardinal diberikan hak untuk memilih paus. Untuk sementara waktu kekuasaan ini ditugaskan secara eksklusif kepada para uskup cardinal; nanti pada Konsili Lateran III (1179) kewenangan memilih Paus dikembalikan kepada seluruh collegium cardinalem. Tahun 1530, Paus Urbanus VIII mengangkat tingkatan kehormatan para cardinal menjadi Eminence (dari sebelumnya “reverendissimo” = yang paling dikasihi) dan menetapkan bahwa peringkat sekuler mereka setingkat dengan para Pangeran pewaris takhta kerajaan-kerajaan Eropa masa itu.
Besarnya kehormatan kemuliaan yang dibawa dalam gelar Cardinal ini menjadi objek cobaan yang luar biasa, teristimewa berkaitan dengan investiture dan simony. Keterlibatan dalam intrik politik kerajaan-kerajaan Eropa waktu itu merupakan sesuatu tidak mungkin terhindarkan. Namun, seiring perjalanan historisnya, eksistensi para cardinal gereja pun mengalami transformasi panjang dan semakin mempertajam orientasinya pada administrasi gereja yang bertujuan untuk pewartaan kabar gembira dan karya pelayanan.
Jumlah yang dinamis
Collegium Cardinalem terdiri dari tiga tingkatan: cardinal uskup, cardinal imam, dan cardinal diakon. Tingkatan ini tidak harus berkaitan dengan tingkatan tahbisan dalam Gereja misalnya bersama HE Julius Daarmaatmadja, Uskup Agung Semarang pada waktu itu (1994), diangkat menjadi seorang cardinal imam dari S Cuore di Maria. Pada tahun 1965, Paus Paulus VI (1963-78) mengangkat beberapa cardinal dari antara para Patriark Katolik Timur dan mengatur agar mereka menjadi cardinal uskup dengan gelar yang melekat pada tahta patriarkal mereka. Paus sendiri yang menunjuk atau mengangkat cardinal dalam ketiga tingkatan tersebut. Sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes XXIII, mereka yang diangkat ke dalam Collegium Cardinalem haruslah menerima tahbisan episcopat, yang berarti, mereka setidaknya telah berada pada tingkatan tahbisan presbiterat ketika ditunjuk untuk menjadi Cardinal. Tentunya ada pengecualian bagi mereka yang mendapatkan kehormatan khusus untuk jabatan prelat tertinggi gereja Katolik Roma ini (cf. Avery Robert Card. Dulles).
Penetapan jumlah cardinal, sepanjang sejarahnya, selalu dinamis. Pada tahun 1586, misalnya, Paus Sixtus V menetapkan total jumlah cardinal 70 orang. Pada tahun 1958, Paus Jonannes XXIII menghilangkan batasan 70, dan meningkatkan jumlah cardinal menjadi 87 orang. Sejak saat itu jumlah cardinal terus bertambah dan bahkan mencapai lebih dari 100. Di bawah pengaruh Konsili Vatikan II (1962-1965) dan sebagai pengakuan atas perlunya internasionalisasi yang lebih besar dari College of Cardinals, Paus Paulus VI mengangkat banyak cardinal hingga mencapai 145 orang dalam consistorinya; Paus Yohanes Paulus II mengangkat lebih banyak lagi, hingga mencapai 185 Cardinal pada masa pontifikatnya.
Meski telah mencapai angka dua hingga tiga kali lipat dari jumlah Cardinal pada Konsili Trente (1545-1563), ternyata ada juga aturan untuk mengatur distribusi jumalah cardinal. Pada tahun 1970, Paus Paulus VI mengajukan aturan bahwa para cardinal yang mencapai usia 75 dapat mengundurkan diri dari tugas sebagai cardinal elector; dan mereka yang tidak mengundurkan diri akan melepaskan hak electorat ketika mencapai usia 80 tahun. Paus selanjutnya memutuskan bahwa jumlah cardinal yang memilih The Supreme Pontiff nantinya, hanya dibatasi pada angka 120 cardinal. Pembatasan ini tetap dikukuhkan pada masa kepausan Yohanes Paulus II dengan tambahan klausul “simple majority” dalam conklave jika aturan dua pertiga suara tidak terpenuhi dalam situasi tertentu. Penggantinya, Paus Benediktus XVI, memulihkan persyaratan tradisional mayoritas dua pertiga di tahun 2007. Terhitung sejak 11 Oktober 2019 total cardinal yang dimiliki gereja berjumlah 225, 127 di antaranya merupakan cardinal elector.
Gelar Sisipan?
Tentang gaya khas menempatkan gelar Cardinal di tengah nama seseorang konon merupakan warisan gaya Romawi kuno, yang biasa memakai trias nomina (tiga nama) yang selain membawa nama pribadi dan marga, juga menyandang nama yang terafiliasi pada klan dan atau kelas tertentu. Pada masa-masa awal perkembangan the sacred college, ketika mereka melayani para uskup Roma, penggunaan nama keluarga mulai digantikan dengan mengambil gelar gerejanya untuk membedakan dia dengan orang lain yang kemungkinan bernama dan bermarga yang sama (e.g. Ireneus Lyon yang adalah Uskup Lyon, Eusebius Caesarea yang melayani sebagai Uskup Kaisarea, etc).
Ketika posisi cardinal menjadi sesuatu yang prestisius seiring dengan fungsi mereka yang diperluas ke bidang administartif judisial di bawah Paus, serta privelese yang dibawa olehnya di masa-masa selanjutnya, maka gelar ini kemudian menjadi suatu penanda keistimewaan. Hal itu juga semakin diperkuat dengan feudalisme abad pertengahan puncak, di mana gelar cardinal menjadi semakin bergengsi sehingga perlu dibedakan dengan gelar ecclesiastical lainnya (seperti yang dimiliki oleh Imam, Prior Kebiaraan dan Uskup) serta gelar kebangsawanan kekaisaran dan kerajaan di Eropa. Sisipan gelar di tengah nama menjadi sebuah symbol yang berkelas yang sesuai dengan martabat yang diemban oleh cardinal pada masa itu, terutama sebagai Pangeran Gereja.
Sekarang, penghayatan gelar kehormatan tertinggi dalam gereja setelah Paus ini telah berada pada kondisi yang jauh berbeda dengan beberapa abad silam. Cardinal saat ini dipandang sebagai sebuah panggilan untuk mengabdi dengan cara dan keterlibatan yang lebih luas di dalam Gereja. Fakta bahwa nama pertama yang mendahului gelar itu adalah nama kristiani, kemudian diikuti oleh Cardinal dan disusul dengan nama marga hendak menegaskan suatu alasan menarik lainnya, yakni tentang ajakan untuk selalu melihat gelar mereka sebagai tanda tingkatan yang lebih besar, luas dan dalam untuk melayani Kristus, Gereja dan semua orang di sekitar mereka.
Kardinal Suharyo menegaskan: menjadi Uskup dan Cardinal bukanlah cita-cita. Cita-citanya adalah melayani. Karena itu, menurutnya, pengangkatan cardinal ini menandakan dua hal yakni penghargaan akan tumbuh kembangnya Gereja di Indonesia dan juga pengakuan dan dukungan pimpinan Gereja Katolik untuk apa yang sedang terus kita upayakan sebagai NKRI. Dengan kata lain, bagi beliau pengangkatan ini menjadi sebuah undangan yang lebih besar untuk terlibat dan berbuat lebih dalam membawa kasih Kristus, ad intra ecclesiam et ad extra. (ke dalam dan keluar gereja). Jadi ingat kata-kata uncle Ben Parker, Paman-nya Spiderman, “with great power comes great responsibility.”– (Dari kuasa besar lahir tanggung jawab besar). Mari kita doakan…
Proficiat His Eminence Ignatius Cardinal Suharyo.
Dari Pelbagai sumber
Bill Robert, Imam Keuskupan Manado (Sedang belajar Sejarah Gereja di Manila)
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.