SESI ketiga pada studi hari kedua sidang tahunan KWI, Selasa (8/11) dibuka dengan sharing pengalaman dari tiga pembicara yang telah malang melintang berupaya merawat kebangsaan, Romo Feliks Supranto, SSCC, Jeirry Sumampaw dari PGI, dan Alisa Q Munawaroh Rahman dari Jaringan Gus Durian.
Sebagai seorang imam metropolitan di daerah pinggiranTangerang, Banten , Romo Feliks yang sehari-hari bergelut dengan persoalan dialog lintas agama di Tangerang, mengatakan bahwa sejak dulu Banten sudah dikenal sebagai daerah yang sangat Islami. Di situ adalah daerahnya para kiai dan santri, yang semakin hari semakin berhadapan dengan pertambahan penduduk dikarenakan banyak pembangunan di daerah Tangerang.
“Mengapa Banten disebut sebagai daerah ulama dan santri? Karena sebagai pemimpin informal, di Banten itu para ulama sangat dihormati dan dikagumi bukan hanya oleh masyarakat pada umumnya tetapi juga para pemimpin pemerintahan”, ujar Romo Feliks.
“Faktanya, para pemimpin di sana, mereka mendulang suara berkat dukungan para ulama dan santri”.
Berdasarkan catatan yang dibuatnya, Romo Feliks berkesimpulan para santri itu merupakan calon pemimpin masa depan. Karena itu, ia mengatakan kita perlu mendekati mereka, berdiskusi dan berdialog dari hati ke hati dengan mereka.
Romo Feliks lalu merefleksikan pengalamannya itu dengan menekankan perlunya kreatifitas dari dalam. “Kita ini minoritas, tapi kita harus menjadi minoritas kreatif yang mampu merawat Pancasila, sekaligus mampu memperkenalkan identitas Katolik secara benar bahwa kita juga warga negara yang baik.
Berkat perkenalan dan perjumpaan dengan saudara muslim di Tangerang, Romo Feliks mengatakan ia akhirnya diterima bukan hanya oleh para kiai dan santri tapi juga warga biasa. Ia bahkan diundang untuk mengajar di beberapa sekolah dan pesantren Islam di sana. “Kadang-kadang saya diundang untuk menemani makan pagi, tetapi mereka sangat baik, kalau panen itu luar biasa, pastoran itu bisa penuh dengan pisang. Dan memang menenun hinekaan harus dimulai dengaaan hal-hal sederhana, minum kopi”.
Hilangkan Apriori
Romo Feliks mengatakan dalam membangun relasi keagamaan orang perlu menghilangkan apriori di dalam dirinya seraya berusaha menjadi ragi bagi yang lain.“Kita ini kadang-kadang juga sudah berpikir yang bukan-bukan. Padahal belum kenal, belum saling sapa”, ia menjelaskan.
Kepada para Uskup dan peserta sidang, Romo Feliks pun mengharapkan agar para para tokoh agama perlu terlebih dahulu merubah pandangan-pandangan apriorinya.
Romo Feliks mengatakan, kebetulan umat parokinya hidup sederhana, sehiggga ketika bertemu mereka itu saling menghargai perbedaan. Ia mengatakan, toleransi sebagai kesatuan dapat dibuktikatan dengan semangat jiwa gotong royong yan dinamis seperti jalan sehat dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya peduli sesama. Melibatkan diri dalam acara-acara kebangsaan, dalam acara itu tanpa disadari orang jadi bangga dengan nusantara dan bangga sebagai bangsa Indonesia.
“Menghilangkan apriori sambil fokus pada kebaikan merupakan jalan terbaik untuk menenun kebangsaan Indonesia”, ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas PGI yang juga Koordinator Komite Pemilih, Jeirry Sumampaw mengatakan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa saat ini merupakan akibat dari transisi berdemokrasi yang belum selesai.
Dalam konteks demokrasi, katanya, apa yang dialami saat ini merupakan bagian dari proses berdemokrasi yang belum secara sempurna kita lakukan. Efek-efek yang dihadapi saat ini merupakan tantangan kita semua.
Menurutnya, saat ini dan ke depannya, bangsa Indonesia akan semakin diuji, terutama karena sejak reformasi itu pelemahan terhadap Pancasila terus menerus dilakukan.
“Ada satu atau dua generasi yang tidak mendapat pembelajaran yang baik menegenai Pancasila. Lalu muncul ideologi-idelogi baru yang semakin terbuka diajarkan.
Jeirry mengingatkan pula bahwa saat ini negara sedang mengalami semacam degradasi di bawah, di mana masyarakat begitu mudah melakukan kritik kepada para pemimpin negara. Lemahnya penegakan hukum yang tidak berjalan secara baik, situasi sosial ekonomi juga rawan, kemiskinan di mana-mana, fenomena kesejangan ekonomi antara kaya dan miskin, merajalelanya korupsi, merenggangnya relasi antar para penganut agama secara kualitatif, meningkatnya ujaran kebencian, dan kecenderungan meningkatnya pendidikan sektarian.
“Kalau kita jujur melihat, out put pendidikan kita kadang-kadang membuat para peserta pendidik kita memiliki ketakutan untuk bertemu dengna kelompok-kelompok penganut agama lain”.
Yang juga penting untuk disebutkan, menurut Jeirry, adalah politik sara yang semakin dominan di dalam pemilu dan pilkada. “Kita khawatir karena dampaknya tidak hanya di lokasi pelaksanaan tetapi juga menyebar ke daerah lainnya”.
Mencermati sejumlah tantangan tersebut, Wasekjen Perkumpulan Senior GMKI itu mengatakan sekarang ini menjadi pertaruhan bagi kita, kalau proses demokrasi tidak dijalankan secara baik maka negara ini bisa mengarah pada kehancuran.
Ia menilai meskipun pemerintah sekarang ini memiliki kemauan untuk bekerja, sikap kritis terhadap pemerintah harus tetap dikembangkan. “Harus ada catatan-catatan dan kritik yang terus menerus disuarakan. Sebab fenomena yang terjadi kalau sebuah pemerintahan itu semakin baik, ada kecenderungan kelompok-kelompok kritis itu menghilang”.
Sebagai elemen penting dari bangsa ini, Jeirry mengajak para uskup dan peserta sidang untuk mulai terlibat aktif, terutama dalam penguatan dan pendampingan masyarakat.
“Masyarakat ini harus dijadikan sebagai subjek dan tidak sekedar menjadi penonton terhadap apa yang terjadi di tengah masyarakat saat ini”, pungkasnya.
Hampir senada dengan Jeirry, Alisa Rahman ketika berbicara tentang lansekap Indonesia saat ini mengatakan telah terjadi jumlah peningkatan insiden kekerasan dan intoleransi dalam 12 tahun terakhir. Selain itu, terjadi pula peningkatan jumlah legislasi yang rentan diskriminasi atas dasar prinsip mayoritas-minoritas, menguatnya intoleransi dalam masyarakat umum yang didasarkan pada sikap eksklusivisme dan ekstrimisme dalam beragama, terorisme, intoleransi, dan lemahnya penegakan hukum.
Mencermati dinamika sentimen agama di Indonesia yang terus berkembang hingga saat ini, Alisa menaruh harapan kepada para uskup dan para pemimpin Gereja Katolik di Indonesia berharap agar para untuk terus memperhatikan dinamika sentimen agama dalam politik Indonesia, terutama menjelang Pilkada serentak 2018 yang ditandai dengan tajamnya dinamika politik nanti.
“Kita membutuhkan peran para pemuka agama yang lebih kuat, terutama untuk merespons situasi yang diprediksi tidak setenang seperti yang diharapkan”, katanya.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.