Senin, 7 April 2014

( Dan 13:1-9,15-17,19-30,33-62; Yoh 8: 1-11)

“Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” (Yoh 8 :7)

Banyak orang kecewa terhadap penegakan hukum di negara kita. Mengapa? Karena banyak penjahat atau koruptor yang tertangkap basah, pelakunya hanya dijatuhi hukuman ringan, bahkan ada yang diputus bebas murni. Padahal mereka terbukti telah merugikan orang lain, menyengsarakan rakyat banyak, dan merampok uang Negara milyaran rupiah. Sebaliknya, banyak orang kecil yang hanya mencuri ayam, buah, helm atau sepeda dihukum berat, dan ada yang dianiaya sampai tewas. Sungguh tidak adil! Di mata hukum ternyata semua warga Negara tidak diperlakukan sama. Hukum ibarat mata pisau “tumpul ke atas, tajam ke bawah”. Penegakan hukum terlalu bersifat legal, formal tetapi kurang substansial, esensial. Mengutamakan yang tersirat, rumusan pasal-pasal yang tertulius, tetapi mengabaikan yang tersirat, kebenaran dan keadilan yang hidup dan dianut oleh masyarakat banyak. Berupa nilai-nilai etis dan moral adat budaya (setempat) yang telah lama tertanam dalam hati sanubari setiap orang.

Praktek penegakan hukum yang tidak tepat, ternyata berdampak negatif, tidak membuat para pelaku kejahatan menjadi jera, kapok, malu, menyesal dan bertobat, tidak akan berbuat jahat lagi, setelah keluar dari penjara. Tetapi justru sebaliknya, membuat para pelakunya seperti kecanduan, mengulangi perbuatan jahatnya lagi, dan malah menginspirasi, mendorong orang lain untuk meniru dan mengikuti jejaknya.

Bagaimana dengan Yesus? Yesus berani mendobrak cara penegakan hukum seperti itu. Dia membuat terobosan baru dalam menghakimi kesalahan seseorang. Ketika Ia harus mengadili kasus perempuan yang tertangkap basah berbuat zinah, Yesus tidak terpaku pada ranah hukum , – seperti yang dilakukan oleh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi – tetapi membawanya keluar ke ranah moral. Kata-Nya: “Barang siapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” (ay. 7).

Yesus mengajak para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, jangan hanya memperhatikan rumusan kata-kata dalam hukum Taurat yang dilanggar, tetapi harus lebih mengutamakan nilai-nilai etik, moral dan spiritual yang dirusak dalam hati nurani manusia.Yesus langsung menuju ke titik mula timbulnya semua kesalahan dan dosa, atau ke sumber utama asalnya segala keinginan jahat yang dilakukan oleh manusia, yaitu pada hati nuraninya. Kata-Nya: “…sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan” (Mrk. 7: 21-22).

Begitu juga kata Yakobus, bahwa timbulnya segala pencobaan dan kejahatan itu berasal dari keinginan (hati) manusia itu sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. “Dan apabila keinginan itu telah dibuai, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.” (bdk. Yak. 1: 14-15). Setelah mendengar perkataan Yesus, akhirnya para ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu semua bubar, satu per satu meninggalkan perempuan itu. Yesus pun berkata: “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”(ay. 11). Hal itu dilakukan oleh Yesus karena Ia datang bukan untuk menghakimi melainkan menyelamatkan. Karena kata-Nya: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.” (Luk.5: 31-32). Hidup baru di tengah-tengah masyarakat, dengan berbuat baik dan pelayanan kasih.

Sering orang bercanda, bangsa Indonesia itu kaya, dibandingkan dengan bangsa lain, kita memiliki segalanya.Tetapi hanya dua hal yang kita tidak punya, yaitu “rasa malu” dan “rasa bersalah”. Kita tidak merasa malu, bila kita di hukum dan dipenjara karena berbuat kejahatan atau korupsi; juga tidak merasa bersalah, bila melanggar norma agama atau berdosa melawan perintah Allah. Juga tidak merasa malu dan bersalah bila berdusta dan berbohong, berlaku tidak jujur dan tidak benar terhadap sesama dan Allah. Jelas berbuat salah masih membantah, tahu menolak tidak tahu, kenal mengaku tidak kenal; Jadi “maling” teriak maling, “koruptor” teriak koruptor. Mungkin karena mata hati kita telah tertutup dan telinga hati kita telah tuli. Mata hati kita sudah terlanjur silau untuk melihat keadilan, kebenaran, kebaikan, pengorbanan, solidaritas, dan pengabdian/pelayanan kasih; dan hati kita sudah terlanjur membeku karena ketamakan dan kerakusan akan tahta kekuasaan, harta kekayaan, dan wanita-wanita yang cantik.

Pertanyaan reflektif:

Mungkinkah cara Yesus menangai persoalan itu dapat kita pratekkan dalam melayani orang-orang kecil, miskin, menderita, lemah dan tak berdaya? Agar mereka dapat dengan mudah dilayani tanpa terhambat oleh peraturan, pedoman, panduan, juklak dan prosedur yang ada? Beranikah kita menjadi pelopor penegakan keadilan dan pelayanan kasih.

Doa :

Ya Tuhan Allah ampunilah segala kesalah dan dosa yang telah kami perbuat selama ini dalam melayani Engkau dan orang-orang miskin; karena kami sering kali hanya banyak menasehati, tetapi sedikit memberi pertolongan. Kami tidak membantu dengan murah hati, namun dengan perhitungan akal budi.

(I. Masiya Suryataruna)