Beranda OPINI Menangani Pelanggaran HAM di Papua

Menangani Pelanggaran HAM di Papua

Ratusan orang diamankan pihak kepolisian karena mengikuti Kongres Rakyat Papua yang menyetujui pembentukan negara Papua Merdeka, Rabu (19/10/2011, doc. www.umm.ac.id

PELANGGARAN hak-hak asasi manusia di Papua menjadi satu isu yang menarik perhatian baik secara nasional maupun internasional. Akan tetapi, hal itu tak perlu dikhawatirkan karena pemerintah telah berkomitmen menyelesaikan semua pelanggaran hak asasi manusia di Papua secara menyeluruh, seperti yang diumumkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan (Kompas.com, 8/6/2016).

Menkopolhukam dalam kunjungannya di Jayapura menegaskan kembali komitmen pemerintah ini bahwa semua persoalan hak asasi manusia (HAM) di Papua akan diselesaikan secara transparan dan independen, tanpa ada rekayasa (Antaranews. com, 16/6/2016). Kini pemerintah sedang menangani tiga kasus pelanggaran HAM, yakni kasus-kasus Wasior (2001), Wamena (2003), dan Paniai (2014).

Mendorong Audit

Komitmen pemerintah ini patut diapresiasi, tetapi penyelesaian masalah HAM Papua yang difokuskan hanya pada ketiga kasus tersebut akan menimbulkan pertanyaan. Apakah hanya tiga kasus pelanggaran HAM ini saja yang terjadi sejak Papua berintegrasi ke dalam Republik Indonesia, 1 Mei 1963, hingga kini? Pertanyaan seperti ini tidak perlu dijawab melalui pernyataan yang defensif karena pemerintah dapat dicurigai sengaja menyembunyikan kasus lain dan mengangkat hanya tiga kasus ini.

Pemerintah justru perlu mendorong pelaksanaan audit HAM di tanah Papua. Audit ini dibuat bukan karena adanya kecurigaan, tuduhan, dan tekanan dari luar, tetapi sebagai inisiatif pemerintah sendiri. Juga bukan untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Melalui audit ini, semua data tentang situasi HAM di Papua sejak 1963 hingga kini dapat dihimpun dan diungkapkan secara menyeluruh, obyektif, transparan, dan tanpa ada rekayasa. Tentunya pengungkapan kebenaran ini tidak didorong oleh kebencian, permusuhan, dan hasrat balas dendam karena kemajuan dan keutuhan negara ditempatkan sebagai motif dan tujuan utamanya.

Hasil audit HAM selanjutnya dipublikasikan sebagai dokumen resmi yang dimiliki dan diterbitkan oleh negara. Masyarakat luas perlu mendapatkan kemudahan akses untuk membacanya karena dia menyimpan pelajaran yang berharga demi kemajuan dan masa depan Indonesia. Belajar dari pengalaman historis yang telah didokumentasikan ini, pelanggaran HAM dapat dicegah bukan hanya di Papua, melainkan juga di seluruh persada Nusantara.

Restorasi Hubungan

Dalam menangani persoalan HAM di Papua, perlu dipikirkan juga upaya penghentian dan pencegahannya agar tidak terjadi pelanggaran yang sama di masa depan. Teori episode-episentrum yang diperkenalkan oleh seorang ahli studi perdamaian, John Paul Lederach (2003), dapat membantu refleksi kita.

Berbagai kasus pelanggaran HAM dipandangnya sebagai episode-episode dari sebuah konflik. Sebuah episode terjadi tidak dari suatu kevakuman karena selalu ada konteks yang memengaruhinya. Konteks inilah yang disebut episentrum, yang kapan saja dapat menyebabkan aksi kekerasan baru. Selama episentrumnya belum diatasi, pelanggaran HAM akan terus terjadi.

Mengikuti teori ini, dapat dikatakan bahwa bukan hanya kasus-kasus HAM yang perlu dituntaskan, tetapi hal yang jauh mendasar adalah mengatasi episentrum yang setiap saat dapat melahirkan pelanggaran HAM baru di Papua.

Episentrum masalah HAM di Papua, menurut pengamatan penulis, adalah adanya relasi permusuhan antara orang Papua dan pemerintah. Di satu pihak, orang Papua, sekalipun tidak semuanya, dicurigai sebagai pendukung gerakan separatis yang dimotori Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pemerintah selama ini berusaha membasmi separatis Papua, yang merupakan musuh negara, dengan mengedepankan pendekatan keamanan.

Di pihak lain, OPM memandang pemerintah sebagai penjajah. Maka, aksi-aksi kekerasan dan diplomasi dilakukannya demi pembebasan tanah dan orang Papua dari penjajahan (dekolonisasi). Relasi permusuhan inilah yang melahirkan kasus-kasus HAM. Maka, selama relasi ini tidak diperbarui, pelanggaran HAM akan terus terjadi di Papua sekalipun ketiga kasus HAM di atas mungkin dapat diselesaikan.

Dalam suasana permusuhan seperti ini, pelanggaran HAM di Papua tak dapat diakhiri dan dicegah melalui suatu keputusan sepihak, entah oleh pemerintah entah oleh OPM. Keputusan seperti itu akan ditolak oleh pihak lain, terutama, karena merasa diri dipandang sebagai musuh yang tidak dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan tersebut.

Meski demikian, restorasi relasi antara pemerintah dan OPM merupakan suatu keharusan apabila pelanggaran HAM mau diakhiri dan dicegah di Papua. Relasi permusuhan perlu diperbarui menjadi relasi persahabatan, ketika mereka tidak saling memandang sebagai musuh, tetapi sebagai saudara. Sekali relasinya direstorasi, sikap saling tidak percaya yang mewarnai relasi antarmereka selama ini akan hilang dan muncul sikap saling percaya satu sama lain. Selanjutnya, mereka dapat bertemu dan berdiskusi dalam suasana persaudaraan.

Pembaruan relasi ini menuntut keterlibatan dari kedua belah pihak dan sarananya adalah dialog. Karena itu, pemerintah dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang mewakili OPM diharapkan bertemu untuk memperbarui relasi antarmereka dan secara bersama membahas upaya penyelesaian dan pencegahan pelanggaran HAM secara menyeluruh melalui dialog.

Penulis: NELES TEBAY, dosen STF Fajar Timur dan Koordinator Jaringan Damai Papua di Abepura

Kredit Foto: Ratusan orang diamankan pihak kepolisian karena mengikuti Kongres Rakyat Papua yang menyetujui pembentukan negara Papua Merdeka, Rabu (19/10/2011, doc. www.umm.ac.id