Dalam rangka memperingati hari komunikasi sosial se-dunia ke-53, Bapa Suci Paus Fransiskus mengabarkan sebuah pesan bagi umat Katolik. Pesan tersebut mengutip salah satu kalimat dalam Surat Rasul Paulus kepada Jemat di Efesus 4:25 yaitu “Kita adalah sesama anggota”. Berangkat dari kutipan ayat Alkitab itu, dalam pesannya, Bapa Suci Paus Fransiskus kemudian menyampaikan beberapa hal penting.
Pertama, Bapa Suci Paus Fransiskus merespon kondisi zaman, khususnya perkembangan budaya digital. Semakin populernya penggunaan jaringan internet sebagai alat komunikasi berarti juga mengubah pola komunikasi antar umat manusia. Berkomunikasi menjadi lebih mudah dan memakan lebih sedikit biaya dan waktu.
Kedua, Bapa Suci Paus Fransiskus dalam pesannya juga berupaya untuk membentuk kesadaran atas dampak positif dan negatif dari meluasnya penggunaan jaringan internet. Relasi sosial yang terbentuk melalui jejaring internet seyogyanya dhindarkan dari upaya-upaya memanipulasi data dan menyebarkan berita bohong atau hoax.
Ketiga, melalui pesannya, Bapa Suci Paus Fransiskus mengingatkan kita, jemaat Katholik bahwa era internet ini harus kita sambut dengan kesadaran untuk terhindar dari kecenderungan menyendiri dan terisolasi. Perkembangan komunikasi berbasis jejaring internet selayaknya disambut dengan gairah untuk membuka diri dan berjejaring. Dengan kata lain, kita dihimbau untuk bersikap inklusif.
Keempat, pada bagian penutup, Bapa Suci Paus Fransiskus kemudian menghimbau dan mengharapkan terbentuknya relasi jemaat Katholik dalam jejaring internet dapat mendorong terwujudnya pertemuan-pertemuan jasmaniah, perjumpaan insani antar anggota jemaat.
Esai ini ditulis dengan tujuan merespon pesan dari Bapa Suci Paus Fransiskus tersebut. Tentunya pesan tersebut akan direspon dalam konteks perkembangan era digital dan kaitannya dengan jemaat Katholik di Indonesia secara luas. Dewasa ini, masyarakat di Indonesia sedang dihadapkan kepada kesimpang-siuran informasi yang tersebar melalui media sosial dan paltform perpesanan berbasis internet lainnya. Informasi yang simpang-siur ini kemudian biasa disebut hoax.
Banyaknya hoax yang tersebar kerap membuat masyarakat menjadi bingung. Kebingungan publik ini kemudian dimafaatkan segelintir orang untuk mendapatkan keuntungan ekonomi atau politis. Walaupun beberapa upaya dan gerakan menangkal hoax telah banyak digagas, namun mekanisme yang efektif untuk memberantas persebarannya masih belum ditemukan. Hoax masih tetap bertebaran.
Selain fenomena merebaknya hoax, penggunaan internet yang semakin intens justru menyebabkan kecanduan dan cenderung melemahkan kepekaan sosial. Media sosial dan platform perpesanan lainnya memang mendekatkan yang jauh, namun di saat yang bersamaan juga menjauhkan yang dekat. Kerap kali kita temukan sekelompok orang duduk semeja, namun semuanya asyik menatap layar gawai pintarnya (smart phone) tanpa ada percakapan yang terjadi di antara mereka. Batasan waktu penggunaan internet menjadi kabur, sehingga terkesan layak untuk dilakukan kapanpun dan dimanapun.
Kondisi yang sedemikian rupa tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi terwujudnya relasi antar manusia yang berkualitas, khususnya sesama anggota jemaat Katolik di Indonesia. Gara-gara hoax publik jadi terpecah dan cenderung saling membenci antar kelompok. Kecanduan gawai pintar juga memantik permasalahan tertentu. Banyak waktu yang dibuang percuma sekedar untuk menjelajahi media sosial atau bermain game online, sehingga produktivitas individu menjadi tidak maksimal. Sebuah pertanyaan reflektif lantas muncul, Lantas bagaimana perjumpaan insani, tatap muka langsung, bisa terjadi ketika berkomunikasi melalui jejaring internet dirasa lebih nyaman dan efisien?
Kondisi yang Meniadakan
Bapa Suci Paus Fransiskus menyampaikan himbauan pada bagian akhir pesannya bahwa relasi yang muncul dalam jejaring sosial selayaknya mendorong terjadinya pertemuan dan perkumpulan tatap muka. Namun, berdasar kondisi di Indonesia, kenyamanan akibat efisiensi dari pola komunikasi via jejaring internet justru menjadi penghambat dari terlaksananya pertemuan tatap muka langsung sehingga yang terjadi adalah kondisi yang yang meniadakan. Kebutuhan untuk tatap muka langsung sifatnya menjadi tidak mendesak karena kehadiran fitur-fitur sepeti video call dan video conference.
Pada satu sisi, kondisi meniadakan diatas sesungguhnya adalah dampak dari perkembangan Revolusi Industri 4.0. Internet (komputer secara umum) merupakan salah satu media yang dikembangakan secara optimal di era 4.0 ini, baik sebagai alat ekonomi, komunikasi ataupun edukasi. Beni Hari Juliawan, S.J., Ph.D., dalam pidato ilmiahnya menyampaikan bahwa di era Revolusi Industri 4.0, intervensi manusia terhadap cara kerja komputer (termasuk internet) menjadi sangat minim; “Teknologi informasi dan komunikasi digital memungkinkan proses otomatisasi berlangsung dengan lebih mudah dan luas. Revolusi keempat (baca: Revolusi Industri 4.0) memanfaatkan kemajuan teknologi digital ini. Komputer bukan lagi sekedar mesin pengolah data; ia telah menjelma menjadi mesin yang bisa belajar dan memperbaiki kemampuannya mengolah data. Kecanggihannya memicu integrasi antara dunia sehari-hari dengan dunia virtual. Terciptalah ekosistem digital yang minim intervensi manusia.”
Kutipan pidato ilmiah Beni Hari Juliawan, S.J., Ph.D. diatas menegaskan dan sekaligus menerangkan bahwa minimnya intervensi (sentuhan) manusia terhadap cara kerja komputer, khususnya internet sebagai alat komunikasi, adalah konsekuensi dari semakin canggihnya cara kerja komputer itu sendiri. Cara kerja komputer ini menjadi semakin canggih akibat ditemu-kembangkannya AI (Artificial Inteligence/kecedasan buatan).
Pada sisi yang lain, logika pengembangan teknologi sepatutnya seiring sejalan dengan kebutuhan akan kehidupan manusia yang lebih berkualitas. Berdasarkan logika tersebut, maka semakin canggihnya teknologi dapat diartikan sebagai semakin berkualitasnya hidup manusia. Namun, ternyata gerak perubahan berkata lain. Peningkatan kualitas hidup manusia, dalam konteks pola komunikasi, kemudian diartikan sebagai efisiensi waktu, jarak dan biaya semata. Semakin besar biaya yang bisa dipangkas, jarak yang bisa dipotong dan waktu yang bisa dihemat (semakin efisien) dalam proses komunikasi antar manusia berarti semakin berkualitas. Pemahaman ini menjalar sampai ke dunia kerja. Sebagai contoh, masih merujuk pada pidato ilmiah Beni Hari Juliawan, S.J., Ph.D., beberapa profesi pekerjaan yang berkaitan dengan komunikasi (seperti operator telefon dan customer service) perlahan mulai dihapuskan dan diganti posisinya oleh kecerdasan buatan.
Proses substitusi ini adalah bentuk penyesuain terhadap upaya efisiensi besar-besaran dalam Revolusi Industri 4.0. Dengan menggunakan kecerdasan buatan, sebuah perusahaan dapat menghemat biaya untuk menggaji karyawan karena fungsi kerjanya dapat tergantikan. Konsumen atau customer tidak harus lagi bertatap muka untuk mengurus kepentingannya, dengan mengakses layanan online maka kepentingannya bisa terakomodasi. Konsumen bisa menghemat waktu dan jarak tempuh. Pola hubungan ini kemudian terkesan sangat mutualis. Namun betulkah dampaknya hanya berhenti disitu? Lantas bagaimana kita sebagai sesama anggota jemaat Katolik harus menanggapinya?
Jejaring Jemaat Katolik 4.0
Dalam sebuah transaksi ekonomi tatap muka mungkin bisa digantikan oleh kecerdasan buatan, selama hak penjual dan pembeli tetap dapat terlindungi. Begitu juga dalam dunia kerja, beberapa posisi mungin bisa digantikan oleh kecerdasan buatan selama fungsinya tetap dapat berjalan secara optimal. Masalahnya, apakah produk-produk kecerdasan buatan ini mampu menggantikan tatap muka dalam jejaring jemaat Katolik?
Sebuah artikel menarik saya temukan dalam laman situs pendalamanimankatolik.com. Ada penjelasan tentang makna jemaat yang mengena dalam artikel tersebut. Pada dasarnya, jemaat adalah jaringan umat beragama yang diikat oleh ikatan batin.3 Sehingga kata jemaat bukanlah merujuk pada organisasi umat beragama semata, namun sampai kepada ikatan emosional, batiniah antar anggotanya.
Berangkat dari temuan itu, maka menjadi semakin jelas urusan jejaring jemaat Katolik 4.0 yang dimaksud. Jejaring jemaat Katolik 4.0 berarti adalah jejaring antar warga gereja Katolik di era digital yang sejatinya dilandasi oleh kesadaran untuk menginisiasi perjumpaan diantara anggota jemaatnya. Perjumpaan yang dimaksud bukan sekedar perjumpaan virtual dalam media sosial atau aplikasi perpesanan berbasis internet. Perjumpaan yang dimaksud adalah, meminjam istilah Bapa Suci Paus Fransiskus, perjumpaan insani (perjumpaan tatap muka). Dengan kata lain, perjumpaan insani bukan hanya berarti tergabung dalam WhatsApp Group (WAG) yang sama dan kemudian saling berinteraksi secara virtual. Namun, bukan berarti pula membangun jaringan melalui bantuan internet tidak penting untuk dilakukan.
Justru, sebagai bagian dari masyarakat digital, kita sudah selayaknya mengenal dan mengaktualisasi diri dengan kemajuan teknologi yang ada. Termasuk kemajuan teknologi komunikasi. Sehingga platform berbasis internet, misalnya seperti WhatsApp, Instagram, Facebook dan Twitter tetap layak digunakan secara optimal sebagai media komunikasi. Hanya saja dalam konteks jejaring jemaat Katolik, maka perjumpaan insani dan ikatan batin yang dibangun setelahnya, merupakan keniscayaan. Oleh sebab itu, komunikasi yang diawali dari media sosial dan aplikasi perpesanan selayaknya mendorong terjadinya perjumpaan insani antar sesama anggota jemaat, sehingga muncul pula ikatan batiniah sebagai kelanjutannya dan tergenapi sifat dari konsep jemaat tersebut.
Selain kokohnya ikatan batiniah, perjumpaan insani juga akan berkontribusi secara positif bagi upaya menangkal berita bohong. Melalui perjumpaan insani, maka kabar dapat diverifikasi dan berita dapat dikonfirmasi. Seperti pesannya pada pada perayaan misa Pekan Komunikasi Sosial Nasional di Keuskupan Palangkaraya, 7-13 Mei 2018, Bapa Suci Paus Fransiskus menegaskan bahwa hoax (berita bohong) harus ditangkal dan kebenaran harus diungkapkan.
Perjumpaan insani kemudian jadi mendesak untuk diinisisai supaya hoax tersebut tak menyebar lebih luas dan merugikan orang lain. Maka dari itu, anggota jejaring jemaat Katolik di era Revolusi Industri 4.0 ini sudah sepatutnya berada di garis depan dalam upaya mengoptimalisasi perkembangan teknologi komunikasi, menginisiasi perjumpaan insani dan menangkal hoax atau berita bohong. Anggota jejaring jemaat Katolik harus mampu membongkar kenyamanan digital dan saling menguatkan ikatan batin. Kiranya hal tersebut dapat menjadi karakter ideal anggota jejaring jemaat Katholik 4.0, sesuai dengan pesan Bapa Suci Paus Fransiskus. Salam.
Daftar Pustaka
Bapa Suci Paus Fransiskus. (2018). “Berita Palsu dan Jurnalisme Perdamaian” dalam Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2018”. Konferensi Waligereja Indonesia : Keuskupan Agung Palangkaraya.
____________________. (2018). “Kita adalah sesama anggota (Ef: 4:25). Berawal Dari Komunitas Jejaring Sosial Menuju Komunitas Insani” dalam Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-53. https://www.mirifica.net/2019/02/15/pesan-paus-untuk-hari-komunikasi-sedunia-ke-53/. Diakses 16 Maret 2019, 20.27 WIB.
Benedictus Hari Juliawan, S.J. (2018). Siapakah Manusia di Hadapan Revolusi Industri 4.0? Kecerdasan Buatan Dan Konsekuensinya Bagi Dunia Kerja Dan Pendidikan Tinggi. Yogyakarta : SDUP.
“Jemaat” dalam “Iman dan Agama” . http://pendalamanimankatolik.com/tag/jemaat/. Diakses 11/03/2019 pukul 21.05 WIB.
4Bapa Suci Paus Fransiskus. (2018). “Berita Palsu dan Jurnalisme Perdamaian” dalam Pesan Paus Fransiskus untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia 2018”. Konferensi Waligereja Indonesia : Keuskupan Agung Palangkaraya. Hal. 6-11.
Ilustrasi: Nicholas Pudjanegara
Penulis: Yohanes de Britto Wirajati
Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.