Pada musim panen, seorang petani menjual hasil panennya berupa semangka di pinggir jalan tengah kota. Ia menyewa sebuah kios dekat keramaian. Banyak pembeli datang ke situ. Sampai suatu saat, begitu larisnya, semangka tinggal satu.
Seorang pembeli tergiur oleh semangka itu. Ia bertanya, “Berapa harga semangka ini?”
Petani itu menjawab, “Oh, ini. Ini ukuran tanggung, harganya dua ribu perak.”
Pembeli itu bertanya, “Maaf, bolehkah saya meminta yang agak besar?”
Dengan cerdik petani itu membawa semangka satu-satunya yang masih tersisa itu ke balik gubug. Kemudian ia membawanya kembali ke hadapan pembeli itu. Sambil memberlihatkan semangka itu, ia berkata, “Yang ini sedikit lebih besar, harganya dua ribu tujuh ratus.”
Tak kalah cerdik, pembeli itu berkata, “Okey, saya ambil dua-duanya.”
Petani itu pusing mendengar dengan permintaan pembeli itu. Sambil tersipu-sipu malu, petani itu menggelengkan kepalanya. Ia hanya punya satu semangka itu. Ia pun menjualnya dengan harga dua ribu rupiah.
Orang-orang dunia ini cerdik, tetapi curang. Mereka selalu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya untuk diri mereka sendiri. Mereka tidak peduli bahwa sesamanya itu butuhkan sesuatu untuk kelangsungan hidupnya. Kepedulian terhadap sesama begitu tipis. Benarkah hal ini?
Kisah di atas menunjukkan betapa manusia itu egois. Ingin memenuhi kepentingannya sendiri. Barang yang harganya murah dinaikkan menjadi lebih tinggi. Kecurangan seperti ini mencekik leher sesama. Orang lain mesti menanggung akibatnya.
Dalam salah satu pengajaran-Nya, Yesus meminta murid-murid-Nya untuk hati-hati terhadap dunia ini. Dunia menawarkan begitu banyak hal yang sering bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan. Murid-murid-Nya mesti selalu bertahan terhadap kecurangan dan godaan-godaan yang mereka hadapi. Senjata untuk menghadapi itu adalah cinta kasih dan kejujuran.
Sebagai orang beriman, kita tentu ingin hidup layak dan baik di hadapan Tuhan dan sesama. Kita tidak ingin menjatuhkan sesama ke dalam nestapa kemiskinan. Kita ingin agar sesama memiliki hidup yang lebih baik. Kita mau supaya sesama juga mempertahankan kehidupan yang layak dengan dasar cinta kasih dan kejujuran.
Karena itu, kita diajak untuk senantiasa mendahulukan kepentingan bersama. Tidak bisa saya bayangkan kalau dalam sebuah keluarga masing-masing anggotanya mendahulukan kepentingannya sendiri. Kalau ini yang terjadi, akibatnya adalah sebuah keluarga yang hancur. Sebuah keluarga yang tidak punya kepedulian satu sama lain. Cepat atau lambat, keluarga seperti ini akan berantakan.
Mari kita membangun hidup yang berdasarkan cinta kasih dan kejujuran. Dengan demikian hidup kita menjadi lebih baik dan berkenan di hadapan Tuhan dan sesama.
Tuhan memberkati.
Ilustrasi: Kejujuran (foto dari blog.ridepost.com)
Imam religius anggota Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ); sekarang Ketua Komisi Komsos Keuskupan Agung Palembang dan Ketua Signis Indonesia; pengelola majalah “Fiat” dan “Komunio” Keuskupan Agung Palembang.