Pendahuluan
Sekolah berhak memakai predikat Katolik jika sekolah itu dipimpin oleh otoritas gerejawi yang berwenang atau oleh badan hukum gerejawi publik atau yang diakui demikian oleh otoritas gerejawi melalui dokumen tertulis. Memakai predikat Katolik berarti mengatasnamakan Gereja Katolik dalam misi pewartaan melalui sekolah. Maka pengajaran dan pendidikan di sekolah Katolik harus berdasarkan asas-asas ajaran Katolik; selain dari pada itu hendaknya para pengajar unggul dalam ajaran yang benar dan hidup yang baik. Mereka guru – guru dipilih dan terpilih oleh otoritas Gereja sebagai pewarta ajaran Katolik melalui pendidikan (bdk. kan 803).
1. Prinsip Dasar tentang Pendidikan Katolik
Dalam sebuah bukunya yang berjudul “Dio educa il suo popolo” (Tuhan mendidik umat-Nya), Kardinal Carlo Martini melukiskan peristiwa pembebasan Israel dari Mesir sebagai bentuk pendidikan Tuhan. Dengan merayakan Paska Perjanjian Baru, kita mengenangkan Tuhan Yesus yang membebaskan manusia dari perbudakan dosa. Dalam konteks itu pendidikan dimengerti sebagai proses “pembebasan”. Demikian juga hal yang sama dikatakan oleh Paulo Freire (1921-1997) seorang tokoh pendidikan yang berhasil mengembangkan sebuah metode pendidikan yang responsif terhadap situasi masyarakatnya sebagai sebuah proses “pembebasan”. Paulo Freire meyakini bahwa panggilan dasar manusia adalah menjadi subyek yang bertindak dan mengubah dunianya demi pengembangan hidup dan komunitasnya. Dunia dan masyarakat bukanlah kenyataan yang harus diterima begitu saja karena memang demikian adanya dan tidak dapat diubah. Akan tetapi belajar dari sejarah, orang disadarkan bahwa mengarahkan sejarah demi tujuan tertentu adalah mungkin. Demikian juga dalam bidang pendidikan, kita dapat berupaya untuk mengatur dan mengarahkan meski terdapat campur tangan Negara dan bahkan perubahan jaman yang menghambat proses pendidikan sebagai proses pembebasan. Pendidikan bagi Freire dapat menjadi alat pelestarian sistem yang ada sekarang bahkan kepentingan-kepentingan politik tertentu, atau sebaliknya pendidikan menjadi sebuah praktek pembebasan (Pedagogy of the oppressed). Pendidikan sebagai praktek pembebasan itu mengajak setiap orang untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan dunia baru yang lebih adil dan lebih manusiawi. Paus Paulus VI dalam ensikliknya Perkembangan Bangsa – Bangsa, no. 83 menegaskan bahwa “Anda para pendidik hendaklah bertekad menyemangati kaum muda untuk mencintai bangsa-bangsa yang miskin”. Dengan pernyataan itu Paus mau mengatakan kepada kita kaum pendidik agar membuka hati dan melihat realitas kehidupan masyarakat, untuk memajukan kehidupan yang lebih baik demi kesejahteraan umum. Pendidikan merupakan tindakan budaya yang seharusnya membebaskan dan tidak mengasingkan siswa di tengah realitas dunia. Relasi antara anggota masyarakat dan relasi dengan dunianya ditelaah secara kritis demi perkembangan siswa dan masyarakatnya. Pertumbuhan integral setiap pribadi, kesejahteraan umum dan keutuhan ciptaan merupakan sasaran pendidikan yang bersifat holistik. Itulah prinsip pendidikan untuk semua bidang kehidupan.
Jadi prinsip dasar pendidikan adalah suatu usaha bersama dalam proses terpadu-terorgarnisir untuk membantu manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri guna mengambil tempat semestimya dalam pengembangan masyarakat dan dunianya dihadapan sang pencipta. Pusat perhatian dalam pendidikan adalah usaha untuk membagikan dan membangkitkan pengalaman nilai dalam hidup manusia secara keseluruhan. Baik itu pengembangan intelektual, ketrampilan, afeksi maupun lebih jauh lagi dalam bidang pendidikan moral atau pendidikan suara hati. Pendidikan suara hati yang dikemukakan oleh sosiolog Andre Benoit asal Belgia itu membantu manusia untuk dapat mengolah hidup dan membuat discernment atas peristiwa, situasi, sesuatu hal dengan bantuan argumentasi etis. Karena itu pentingpendidikan moral/suara hati agar memampukan orang untuk mengaktualisasikan suatu nilai dalam hidup. Banyak siswa tahu tentang sesuatu nilai tetapi tidak tahu memraktekannya dalam hidup. Di sini ada ketimpangan, karena siswa tidak bisa mengaplikasikan ilmunya untuk pengembangan hidupnya dan masyarakat. Kecerdasan seseorang bukan diukur dari kemampuan mendapat nilai akademik melainkan juga kemampuan mengaplikasikan ilmu dan kedewasaan emosional dalam kehidupan konkrit bermasyarakat.
2. Memaknai sekolah yang berpredikat Katolik
Konsili suci dalam tentang penidikan kristen “Gravissimum Educationis” menyatakan bahwa sangat pentingnya pendidikan dalam hidup manusia serta dampak pengaruhnya yang makin besar atas perkembangan masyarakat zaman sekarang. Memang bahwa tugas menyelenggarakan pendidikan, yang pertama-tama menjadi tanggungjawab adalah keluarga. Namun demikian keluarga memerlukan bantuan seluruh masyarakat. Bahkan akhirnya Konsili menegaskan secara istimewa bahwa pendidikan termasuk tugas Gereja, bukan hanya masyarakat saja (bdk. GE, no. 1,3). Gereja bertugas mewartakan jalan keselamatan kepada semua orang, menyalurkan kehidupan Kristus kepada umat beriman serta tiada hentinya penuh perhatian membantu mereka, supaya mampu meraih kepenuhan hidup. Maka Konsili mendorong para Uskup di wilayahnya atau para misionaris agar mengusahakan pendidikan Katolik di sekolah yang memiliki makna istimewa bagi masyarakat luas. Sekolah katolik memiliki misi Gereja menumbuhkan kemampuan akal budi, meningkatkan kesadaran akan tata nilai, memberi penilaian yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya, mempersipkan para siswa untuk mengelola kejujuran tertentu, memupuk rukun persahabatan antara para siswa dan mengembangkan sikap saling memahami.“Secara khusus tugas dan hak mendidik itu dimiliki Gereja yang diserahi oleh Allah perutusan untuk menolong orang-orang agar dapat mencapai kepenuhan hidup kristiani. Para gembala rohani mempunyai tugas untuk mengurus segala sesuatu sedemikian rupa sehingga semua orang beriman dapat menikmati pendidikan katolik. Karena pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya, yang memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat maka anak-anak dan para remaja hendaknya dibina sedemikain rupa sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh citarasa tanggungjawab yang semakin sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan tepat pun pula dapat berperan serta dalam kehidupan sosial karitatif”.
Baik ajaran Konsili maupun Kitab Hukum Kanonik 1983 (bdk. kann. 793-795)ingin mengajak kita semua anggota Gereja-Nya untuk mewartakan, melayani dan memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah lewat Sekolah Katolik. Nilai-nilai yang diperjuangkan melalui pendidikan adalah pencerdasan anak bangsa, penanaman nilai-nilai kemanusiaan, pembinaan hati nurani agar hidup bersama menjadi lebih baik. Nilai-nilai disiplin, kejujuran, gotong royong, tolong-menolong, ketrampilan dalam kerjasama, kepemimpinan yang bertanggungjawab demi kesejahteraan umum semua nilai itulah yang diperjuangkan oleh Yesus dan hendaknya ditanamkan dalam diri siswa di Sekolah Katolik.
3. Gereja Katolik berkewajiban mencerdaskan anak bangsa
Sekali lagi memakai nama Katolik berarti sekolah itu mengatasnamakan Gereja membawa kekatolikan termasuk ajarannya. Memang tidaklah mudah mengaplikasikan ajaran, doktrin Gereja dalam situasi konkrit sekolah di bumi Indonesia yang serba amburadul ini. Bila dipetakan masalah-masalah yang muncul mungkin akan ditemukan setumpuk persoalan misalnya: kekurangan dana, siswa kurang, kualitas dan mentalitas guru, prasarana kurang, gaji guru kecil, suasana tidak nyaman kotor-panas, kurang disiplin, campur tangan Negara terhadap pendidikan dan lainnya. Namun kita tidak bisa menghindar atau lari dari masalah karena itu kita wajib mengatasi masalah pendidikan itu demi tugas panggilan mencerdaskan bangsa dan pewartaan nilai-nilai Kerajaan Allah. Di situlah peran Gereja ikut mencerdaskan bangsa melalui Sekolah Katolik. Bila kita mau dengan sungguh-sungguh mengatasi persoalan itu akan mudah dilalui. Semoga.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.