Beranda OPINI Memahami Nilai Dasar Hidup Bersama

Memahami Nilai Dasar Hidup Bersama

pksn kwi 2019

CATATAN AWAL

Di Indonesia demokratisasi media telah meningkat jauh sejak runtuhnya Orde Baru. Amat jelas terlihat bagaimana media baru telah dan sedang campur tangan dan membentuk ulang kehidupan sosial masyarakat di seluruh dunia secara umum dan khususnya di Indonesia dalam pelbagai segi, baik secara ekonomi, sosial, politik dan budaya. Media telah merambah masuk sampai pada sendi-sendi kehidupan yang sebelumnya dianggap tabu. Kemajuan itu membawa peluang semakin terciptanya ruang bagi setiap orang untuk mengekspresikan dirinya di ruang publik. Ruang publik adalah ruang kehidupan sosial kemasyarakatan yang menjadi tempat bagi setiap orang untuk mengkonstruksi opini terkait kehidupan bersama baik dalam skala kecil yaitu dalam lingkup kelompok tertentu maupun dalam lingkup yang lebih besar yaitu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajuan pula membuka peluang bagi setiap orang menjalin relasi dengan siapa saja dan mengkonsumsi pelbagai hal sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan dirinya.

Kemajuan itu di samping membawa dampat positif, tidak dapat kita mungkiri juga bahwa ada pelbagai ketimpangan yang terkonstruksi akibat demokratisasi media ini. Di mana masyarakat lebih tergiur untuk berelasi melalui dunia maya ketimbang membangun relasi dalam dunia nyata (dunia praksis). Orang lebih memilih untuk mengasingkan diri dari dunia nyata dan menceburkan diri dalam dunia maya, yang mana lebih memberi banyak opsi bagi pemenuhan kebutuhan mulai dari yang paling rohani sampai yang paling profan. Dampak lanjut dari keterasingan dari dunia nyata ini adalah orang lebih cendrung untuk terbawa dalam dunia yang membuat mereka hidup dalam individualisme dalam dunia nyata dan berkomunal dalam dunia maya. Memang dalam dunia maya bisa saja mereka berelasi dengan orang lain tetapi itu adalah relasi aku-itu, yang mana yang masing-masing pribadi memandang yang lain itu sebagai objek yang ada hanya untuk memenuhi kebutuhannya saja, dalam arti relasi yang dibangun hanya sejauh ada kepentingan. Setelah kepentingan dipenuhi maka relasi dengan muda dilepaskan. Jadi di dunia maya tidak ada ikatan emosional yang mengikat kedua belah pihak untuk setia.

Keadaan ini membawa kecemasan tersendiri untuk Gereja Katolik, yang mana sikap individualisme sebagai akibat dari demokratisasi media (yaitu kemajuan informatikan dan telekomunikasi) membawa umat Katolik semakin jauh dari hidup persekutuan. Kegiatan-kegiatan yang membutuhkan kehadiran diri yang nyata sering dihindari dengan pelbagai alasan yang kadang-kadang kurang mendasar juga, atau kurang mendesak.

Untuk itu, hemat saya perlu untuk membahas makna dari persekutuan hidup orang Katolik yang telah lama menjadi roh yang menghidupkan rasa kebersamaan namun kadang dilupakan atau bahkan sering dilupakan entah secara sengaja pun secara tidak sengaja oleh orang katolik itu sendiri.

MENGAPA ANGGOTA GEREJA MEMILIH UNTUK HIDUP INDIVIDUALIS?

Pertanyaan ini adalah pertanyaan mendasar yang patut untuk ditelisik lebih jauh. Karena setiap orang tentunya memiliki alasan-alasannya tersendiri mengenai motivasi di balik pilihannya itu. Kebebasan memberi peluang bagi setiap pribadi untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya. Hemat penulis, kurang lebih ada dua (2) hal yang mendasari perilaku individulisme itu. Akan tetapi menjadi catatan awal bahwa, alasan-alasan ini tidak lantas mengabaikan sisi positif dari pilihan tersebut.

Pertama, rasa ingin tahu dari setiap pribadi akan hal baru. Tidak dapat kita mungkiri bahwa salah satu cirri khas manusia adalah rasa ingin tahunya yang tinggi yang senantiasa dituntut oleh akal budinya untuk mencari tahu hal-hal baru. Hal ini yang memotivasi setiap pribadi untuk mencoba hal-hal baru. Tentunya pemenuhan tututan budi itu dilakukan dengan perlu mengorbankan hal yang lain. Persekutuan dalam Gereja yang dikesampingkan adalah salah satu dampak lanjut dari hal ini. Orang lebih memilih berlama-lama di dunia maya karena dunia maya memberi kepuasan budi akan hal baru ketimbang mengikuti kegiatan-kegiatan rohani secara bersama dengan ritus-ritus yang terpola secara sama.

Kedua, rasa individualisme juga merupakan sebuah gugatan kepada Gereja tentang nilai-nilai yang ada dalam kebersamaan itu. Maksudnya adalah orang mencari hal-hal yang baru di dunia maya karena kelompok tempat ia berada atau gereja itu sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan pribadi itu. Selain karena ketidakmampuan Gereja untuk memenuhi semua kebutuhan anggota juga karena kurangnya daya kreativitas dari setiap anggota untuk mampu memahami secara baru hal-hal yang lama. Maksudnya adalah anggota Gereja kadang-kadang kurang mampu untuk mencitptakan nilai-nilai yang baru dari hasil setiap pertemuan yang berguna bagi dirinya sendiri.

Untuk konteks Indonesia, masalah kedua adalah yang lebih dimungkinkan. Karena kurangnya pemahaman tentang makna kebersamaan dalam persekutuan itulah, sehingga orang lebih cendrung untuk mencarinya di dunia maya. Jika pemahaman mengenai nilai kebersamaan dalam persekutuan itu sungguh-sunggu disadari, maka masing-masing anggota akan dengan mudah menemukan hal-hal baru dari setiap pertemuan yang dilakukan. Pemahaman yang benar mengenai makna itu memberi rasa kepemilikan yang tinggi bagi setiap anggota, karena persekutuan bukan saja soal ada bersama tetapi juga soal makna yang didapat melalui persekutuan itu.

Lantas yang menjadi pertanyaan lanjutannya adalah apakah dengan demikian, dengan penekanan pada aspek kesosialan manusia, aspek keotonomian diabaikan? Tentu saja jawabannya tidak. Justru dalam relasi itu keotonomian, keunikan dari setiap pribadi mendapat tempat di mata sesama. Untuk itu relasi yang dibangun hendaknya merupakan relasi aku-engkau. Dalam relasi aku-engkau setiap pribadi yang berelasi merupakan subjek yang otonom. Setiap keunikan, kelebihan-kekurangan, talenta serta segala kepribadian dari pribadi itu dinyatakan. Dalam relasi itu keutuhan diri sebagai ciptaan yang unik teraktualisasi secara utuh. Dengan demikian dituntut agar dalam relasi itu setiap pribadi menampilkan diri secara autentik, apa adanya. Hal ini dimaksudkan agar antara subjek yang berelasi ada bagian-bagian dari keunikan diri masing-masing yang dibagikan, disheringkan. Jadi ada hubungan timbal balik, yang mana setiap pribadi saling belajar dan melengkapi.

PERSEKUTUAN ITU DASAR HIDUP ORANG KATOLIK

Tema komunikasi sedunia tahun ini adalah “kita adalah sesama anggota” yang terinspirasi dari bacaan Ef. 4: 25. Paus Fransiskus dalam pesannya untuk memperingati hari komunikasi sedunia ke-53, mengajak umat Katolik di seluruh dunia untuk bersama-sama membangun kehidupan bersama yang harmonis melalui relasi yang intens antarsetiap elemen yang ada dalam masyarakat. Lebih lanjutnya Paus menekankan pentingnya penggunaan media sosial secara bijaksana sehingga umat Katolik tidak mengasingkan diri dari persekutuan dalam praksis hidup sehari-hari dan agar setiap umat Katolik mampu untuk membentuk komunitas jejaring sosial media menjadi komunitas iman yang menyata dalam persekutuan hidup menggereja.

Melihat pesan dari Paus fransiskus ini dapat kita lihat bahwa yang menjadi inti dari pesan ini hemat saya adalah pentingnya membangun relasi interpersonal yang merupakan dasar dari kehidupan bersama orang Katolik. Akan tetapi cakupan pesan ini tidak hanya untuk sesama orang Katolik tetapi juga dalam relasi dengan anggota agama dan kebudayaan lain. Media sosial bisa digunakan untuk membantu membangun hal itu tetapi Paus Fransiskus sendiri lebih menekankan pada relasi intersubjektif yang berlansung secara langsung tanpa perantara. Pertanyaan lanjutnya adalah mengapa membangun persekutuan itu penting?

Adanya seruan dari Paus tentunya bukan tanpa alasan yang mendasar. Hemat saya ada dua hal yang mendasarinya. Pertama, membangun berarti ada sesuatu yang menjanggal dalam kehidupan bersama, yang memotivasi pembangun itu dilakukan bisa saja dengan memperbaiki yang ada atau membangun sesuatu yang baru sama sekali. Kedua, membangun juga berarti karena para pembangun menyadari akan sebuah nilai yang baik, jujur dan mulia yang harus disertakan dalam kehidupan persekutuan itu yang kurang atau bahkan tidak disadari. Dalam konteks ini alasan pertama lebih mendasar yang memotivasi untuk membangun hidup persekutuan itu. Pembangun itu perlu dilakukan karena ada nilai-nilai persekutuan yang sudah disalahartikan atau dimaknai secara salah sehingga perlu adanya sebuah pembangunan pemahan yang baru tentang hidup bersama yang lebih kontekstual dan benar.

Dalam konteks ini makna persekutuan itu perlu dipahami lagi karena demokratisasi media yang pada dasarnya membantu setiap orang untuk semakin memaknai hidupnya baik secara pribadi pun kolektif, telah disalahartikan dan disalahfungsikan sehingga setiap orang berjalan dalam persekutuan seturut pemahamannya masing-masing. Pertanyaan lanjutannya adalah bukankan dalam dunia sosial juga ada persekutuan? Memang benar bahwa bisa saja orang masuk dalam persekutuan dalam dunia sosial tetapi sebagaimana yang ditegaskan oleh Paus Fransiskus, “pembentukan komunitas dan jejaring sosial tidak lebih dari sekadar kelompok-kelompok individu dengan ikatan yang lemah.” Relasi yang ada dalam komunitas-komunitas media adalah relasi kepentingan semata. Orang berelasi sejauh ada kepentingan saja, jadi bukan relasi persona yang autentik. Lewat media sosial masing-masing pribadi menampilkan dirinya yang lain, dalam media sosial “aku kehilangan aku yang riil. Aku adalah aku yang ingin agar dipandang baik, menarik dan bagus bagi orang.” Untuk itu lewat media orang merasakan kesendirian dalam kebersamaan. Setiap pribadi tidak mampu tampil secara utuh sebagai pribadi dengan segala keunikan, talenta dan hal-hal yang menjadi kekhasan pribadinya.

NILAI-NILAI DALAM HIDUP PERSEKUTUAN

Pertama, persekutuan berarti mengambil bagian dalam persekutuan Allah Tritunggal. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Allah menciptakan manusia bukan untuk hidup sendiri dengan saling meniadakan melainkan untuk hidup dalam relasi, karena dalam relasi setiap manusia belajar dengan sesama yang sederajat. Setiap manusia adalah pribadi yang istimewa, unik, khas dan selalu terarah untuk membangun relasi, baik dengan Allah, sesama manusia, alam, dan dirinya sendiri. Kesanggupan membangun relasi ini mencerminkan sifat Allah sendiri yang memang senantiasa berelasi dalam diri-Nya sebagai Bapa, Putra dan Roh Kudus. Oleh karenanya hidup manusia adalah sebuah kerinduan untuk hidup bersama dalam persekutuan. Itulah makna terutama yang hendak dicapai dalam hidup bersama yaitu mengambil bagian dalam persekutuan Allah Tritunggal Mahakudus.

Kedua, ko-eksitensi adalah eksistensi dasar manusia. Dasar eksistensi manusia adalah ko-eksistensi atau ada bersama. Dengannya setiap relasi adalah sebuah bentuk pemenuhan kebutuhan dasari itu. Itulah relasi intersubjektif. Untuk itu, setiap elemen dalam komunitas diharapkan untuk mampu membangun sikap hidup kolektif yang bertanggung jawab. Tanggung jawab itu dibangun bukan dengan bergerak secara terpisah melainkan dengan menjalankan setiap tugas yang dipercayakan kepada setiap pribadi dalam struktur sosial secara beertanggung jawab. Doa adalah sebuah bentuk pemenuhan kerinduan manusia akan relasi yang intens dengan Allah yang diyakini, diimani. Iman adalah cara manusia mengamini pernyataan diri Allah. Pembentukan komunitas adalah sebuah bentuk kerinduan akan adanya kehidupan bersama demi pencapaian sesuatu yang hakiki dan relasi yang ada dalam komunitas itu adalah cara untuk memenuhi kerinduan akan pemenuhan kebutuhan eksistensi manusia, ada bersama.

Ketiga, kasih adalah dasar hidup persekutuan. Dalam hidup persekutuan ada sebuah landasan fundamental yang dihidupi dalam persekutuan itu. Landasan fundamental ini sering diajarkan dan dihidupi oleh Yesus dan juga sering ditegaskan oleh Paulus dalam surat-suratnya, yaitu kasih. “Allah adalah kasih. Kasih hadir dalam setiap persekutuan antarmanusia yang menyadari perannya dalam komunikasi,” demikian kata Paus Fransiskus.
Dalam konteks Indonesia yang plural tindakan kasih itu perlu adanya. Kasih tidak hanya untuk sesama anggota agama, suku, golongan atau kelompok tertentu melainkan harus merangkum semua orang. Mencintai secara penuh, paripurnah. “Metafora tentang tubuh dan anggota-anggotanya mengantar kita untuk merenungkan jati diri kita, yang dilandasi persekutuan dan kebhinekaan,” kata Paus Fransiskus. Pesannya ini menuntut setiap orang Katolik untuk tahu bagaimana hidup untuk mengasihi seperti Bapa, yang secara nyata Yesus ajarkan melalui perkataan dan perbuatan-Nya selama hidup-Nya. Tatapan penuh kasih Bapa membantu setiap pribadi untuk melihat sesama itu sebagai subjek, sesama anggota yang dikasihi Bapa. Sebagaimana Allah adalah persekutuan kasih antara Bapa, Putra dan Roh Kudus, setiap orang katolik pun hendaknya hidup bersama dalam persekutuan kasih tersebut. Dengan demikian manusia turut serta dalam menghadirkan kasih Allah bagi sesamanya, terlebih yang terpinggirkan. Karena dalam relasi itulah kasih saling memberi diri.

CATATAN AKHIR

Gereja pada dasarnya, sebagaimana yang sudah diutarakan oleh Paus Fransiskus, tidak menolak adanya relasi yang tercipta dalam jejaring sosial. Hanya yang menjadi tuntutannya adalah relasi itu jangan sampai membuat setiap anggota Gereja melupakan sesama yang ada di sekitar. Berawal dari komunitas jejaring sosial itu, setiap orang Katolik dituntut untuk bisa membawa anggota komunitasnya untuk masuk dalam persekutuan nyata dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian persekutuan kasih yang Allah tunjukkan dengan hadir dan berjumpa secara langsung dengan umatnya melalui Yesus Kristus sunggu dimaknai. Sehingga kehadiran dari setiap pribadi mampu untuk membawa Allah dalam hidupnya. Hal ini demi terciptanya persekutuan yang harmonis di mana antara aku dan engkau, di antra kita ada Allah yang hadir yang menjembatani relasi dalam persekutuan itu.

Ilustrasi: lifeforstock

Penulis: Julius Kardi Hatom Jebau

Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019