Oleh: Mgr. Petrus Turang (Ketua Komsos KWI)
Kehadiran sarana komunikasi moderen, yang dikenal dengan sebutan “media sosial digital” telah menjadi pengalaman harian manusia dewasa ini. Bahkan orang merasa bingung dan kehilangan, bila dia tidak memiliki sarana media sosial baru. Dengan perubahan yang begitu cepat dalam aneka perniknya, media sosial semakin merayu manusia, bahkan membentuk sejenis ketergantungan yang tumbuh dan berkembang secara meluas, khususnya di kalangan kaum muda. Inilah bagian dari gaya hidup semasa, khususnya dalam menciptakan jejaring sosial sebagai bentuk “pengakuan dan perwujudan diri” di dalam budaya digital. Tantangan-tantangan kemanusiaan baru pun muncul berbarengan dengan perkembangan serta kemajuan media sosial dan pada gilirannya memengaruhi sikap serta perilaku manusia dalam pergaulan hidup sehari-hari, terutama dalam keluarga.
Gereja sebagai persekutuan para murid Kristus mengarus-utamakan “komunikasi sosial” yang harus berkembang di antara manusia, yaitu komunikasi yang memelihara dan memuliakan martabat pribadi manusia menurut rencana penciptaan Allah. Dengan memerhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dalam teknologi informasi, Gereja tidak boleh terperangkap oleh kecenderungan teknis belaka, tetapi bagaimana secara cakap memanfaatkannya demi mekarnya komunikasi manusiawi yang membangun keadilan dan perdamaian. Gereja bukanlah jurnalistik, tetapi pewarta Sabda Tuhan dalam menggerakkan manusia beserta seluruh alam tercipta menurut rancangan Pencipta. Dengan membuka diri pada media sosial yang berkembang sangat pesat, persekutuan gerejawi tetap berpegang pada upaya penyadaran, agar media sosial menjadi bantuan bagi evangelisasi dalam dunia yang semakin kompleks. Mudah-mudahan umat beriman Kristiani, khususnya yang bergerak dalam teknologi informasi dan komunikasi, semakin siap dan mampu memanfaatkan media sosial demi suburnya nilai-nilai kemanusiaan dalam dunia ini, terutama dalam lingkungan hidupnya.
Perjalanan media sosial baru mendorong manusia untuk siap sedia menerima perubahan dalam upaya komunikasi, karena media sosial baru sedang hadir sebagai peradaban baru dalam dunia semasa, khususnya di daerah perkotaan. Pelayanan pasar serta penawaran barang-barang sekarang ini dapat dilakukan dengan menggunakan media sosial baru. Akibatnya, manusia dewasa ini memiliki pandangan baru terhadap waktu, ruang dan tempat. Perkembangan yang demikian cepat membuat bahwa waktu menjadi sempit, ruang menjadi luas dan tempat tanpa batas lagi. Kecenderungan lama yang membatasi waktu, ruang dan tempat menjadi terbuka, dan orang dapat berkomunikasi kapan, dalam ruang dan tempat dimana saja. Tapal batas hilang secara virtual.
Di dalam dunia yang berubah cepat ini, orang perlu belajar menjadi bijaksana secara baru pula, agar kehadiran media sosial menjadi bernilai bagi kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam peradaban baru ini, orang perlu menemukan kembali martabatnya sebagai manusia yang bertanggungjawab atas kehidupan. Manusia harus belajar agar dia tidak menjadi budak dari media sosial baru, tetapi tetap menguasainya demi kebaikan bersama. Dalam keadaan perkembangan teknologi komunikasi ini, orang perlu sadar akan panggilan hidupnya sebagai penanggungjawab bersama menuju suatu keseimbangan manusiawi yang semakin sejati. Oleh karena itu, orang memang perlu membangun kemampuan dalam penggunaan media sosial dengan sikap kritis dan kreatif dalam konteks wawasan etis yang memajukan nilai-nilai kemanusiaan.
Sesungguhnya komunikasi sosial, yang berkembang menurut gerakan media sosial baik yang bercorak tradisional maupun digital, merupakan upaya manusiawi untuk menjalin hubungan dalam semangat saling membantu, saling melengkapi, saling menghidupkan, saling memajukan dan saling memberdayakan. Dengan demikian apa pun yang tumbuh dan berkembang dalam lingkup media sosial hendaknya menjadi petunjuk adanya suatu peradaban manusiawi yang berkembang guna mempererat jejaring yang menghormati serta menghargai martabat manusiawi. Nyatanya, kemajuan media digital menimbulkan banyak pertanyaan dalam hubungannya dengan persoalan hidup manusia, khususnya tanggungjawab etis dalam penggunaan media sosial.
“Media Sosial: ruang baru untuk evangelisasi” adalah tema yang dianjurkan oleh Sri Paus Benediktus XVI untuk Hari Minggu Komunikasi Sosial Sedunia 2013. Tema ini tentu saja berhubungan dengan tema dari Sinode para Uskup di Roma 2012 dan menjadi tulang punggung dari perayaan Tahun Iman. Kiranya ruang baru ini sungguh menyemangati kembali umat beriman Katolik untuk memanfaatkan media sosial secara lebih berfaedah dalam upaya menemukan kembali kegembiraan iman Kristiani menuju kecakapan kristiani dalam tata dunia yang berkembang demikian cepat. Bilamana umat Katolik menggunakan media sosial dengan benar dan baik, maka karya evangelisasi melalui media komunikasi akan menjadi bantuan yang sangat berharga dan bernilai bagi pembangunan kesejahteraan bersama, khususnya dalam komunikasi sosial ekonomi.
Persekutuan gerejawi di keuskupan, paroki atau pun lingkungan basis semakin tersedia untuk menggunakan media sosial sebagai sarana informasi hidup bersama. Pertanyaannya, apakah sarana media sosial sudah menjadi alat pewartaan yang membangun komunikasi iman yang menggembirakan dan menumbuhkan pengharapan. Jalinan komunikasi yang tersebar dan nampaknya menyatukan belum sepenuhnya menerjemahkan hakikat gereja sebagai persekutuan misioner dalam lingkungan hidup ini. Media sosial belum sepenuhnya menjadi media pembelajaran hidup iman: ruang baru yang terbuka lebar masih berada dalam tataran gaya hidup materialistik, yaitu lingkungan rasa menyenangkan dalam berkomunikasi tanpa suatu upaya untuk melakukan penilaian manusiawi. Nampaknya, hal yang utama adalah memiliki perangkat media sosial untuk memuaskan kebutuhan diri sendiri, sehingga keterasingan dan kesepian tetap mengintai dalam masa kemajuan media komunikasi sosial.
Dalam Tahun Iman, persekutuan gerejawi Katolik seantero jagat hendak menemukan kembali daya dan kekuatan iman Kristiani, yang sedang mengalami demikian banyak tantangan, khususnya di masa perkembangan media sosial digital sekarang ini. Evangelisasi baru di jaman media sosial baru pasti tidak menghadirkan pewartaan Injil yang baru, tetapi bagaimana menempatkan pewartaan Injil dalam lingkungan yang berubah akibat kemajuan teknologi media sosial. Atau dengan kata lain, bagaimana Gereja menghadirkan pewartaan iman Kristiani sesuai dengan tuntutan serta perkembangan lingkungan hidup manusiawi yang semakin terpaut pada perkembangan ilmu dan teknologi moderen. Lingkungan manusiawi di jaman media sosial baru tetap perlu mendapat peduli pewartaan, agar media sosial menjadi ruang baru evangelisasi di jaman sekarang ini. Kecenderungan untuk bergaya hidup ‘digital’ telah menggiring generasi baru kepada suatu lingkungan yang hanya mementingkan kepemilikan media sosial yang sama menurut konteks perubahan yang bergerak sangat cepat.
Kita sadar akan perutusan semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus, ialah menjadi bentara Kabar Gembira. Lingkungan hidup manusiawi berubah, tetapi Kabar gembira tetap sama: perwujudan tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia kita. Kehadiran media sosial harus dipandang sebagai “anugerah” yang mudah-mudahan mendorong semangat berevangelisasi dl dalam ruang baru yang senantiasa berubah. Tanda-tanda Kerajaan Allah itu adalah kenyataan pemajuan martabat manusiawi di tengah segala kemajuan teknologi, agar manusia tidak menjadi budak belian yang hidup dalam lingkungan berhala akibat keserakahan manusia sendiri. Oleh karena itu pelayanan komunikasi sosial dalam dunia baru media sosial hendaknya mampu mencermati tanda-tanda jaman guna memberikan tanggapan manusiawi yang adil dan damai. Artinya, kemajuan dalam teknologi media sosial harus menjadi alat untuk membangkitkan tanggungjawab manusia menurut tuntutan keadilan dan perdamaian. Media sosial, yang menghadirkan peradaban digital dala dunia kita, hendaknya membuka kesadaran manusia secara baru dalam upaya untuk menegakkan budaya kehidupan, ialah peradaban kasih di mana martabat setiap orang mendapat penghormatan dan penghargaan dalam kesetaraan yang saling melayani. Dengan kata lain, media sosial harus menjadi sarana untuk membangun sikap dan tindakan ekologis yang berkelanjutan secara manusiawi.
Dalam gerakan mendunia akibat kemajuan teknologi, persekutuan gerejawi harus memelajari bagaimana kehadiran media sosial berperan dalam menyebarkan informasi yang mendukung kerjasama mendunia dalam aneka bidang kehidupan, khususnya politik dan ekonomi. Kedua bidang ini pada gilirannya akan mendorong lahirnya suatu budaya baru dengan gaya hidup yang baru pula. Gereja Katolik semesta mempunyai pengalaman tentang keadaan mendunia bukan karena kekuatan teknologi, tetapi kekuatan hati nurani, biarpun penuh dengan tantangan dan kelemahannya. Pada sekarang ini budaya mendunia atau apa yang disebut “globalisasi” semakin menjadi bagian hidup keseharian manusia. Dalam keadaan yang berkembang demikian, persekutuan gerejawi harus tekun hadir sebagai “an expert in humanity”. Dalam keadaan apa pun, persekutuan gerejawi mempunyai perutusan untuk memajukan nilai-nilai kemanusiaan, agar dunia kita hidup dalam keadilan dan perdamaian dengan bantuan kemajuan teknologi, khususnya media sosial, di mana setiap orang, biarpun tetap berbeda, mempunyai kesetaraan dalam menemukan jati diri yang bermartabat.
Banyak keuskupan atau pun paroki, bahkan komunitas basis sudah memiliki ‘website’ sebagai wadah komunikasi jejaring sosial dalam lingkungan pelayanannya. Nyatanya, wadah media sosial ini belum sepenuhnya menjadi sarana komunikasi yang menumbuhkan semangat bersaudara dalam komunikasi iman. Bahkan beberapa website hanya menjadi pajangan sebagai tanda bahwa persekutuan gerejawi tertentu sedang menguti gaya hidup semasa, namun tidak memberikan nilai tambah dalam pemajuan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai bagian dari pemerkayaan data base umat, website tersebut tidak membantu pencerahannya, karena updatenya hampir tidak terjadi dan tidak dikerjakan. Penggunaan media sosial dalam karya pastoral memerlukan komitmen yang berbasis kompetensi(teknis, kritis, kreatif, etis dan spiritual), agar peduli media sosial dalam karya pastoral menjadi berfaedah dalam membangun komunikasi sosial yang berkelanjutan secara manusiawi.
“Hal mendasar dalam menilai sistem informasi adalah pertanyaan apakah sistem informasi bersangkutan memberi sumbangan agar pribadi manusia menjadi lebih baik; artinya, apakah sistem informasi itu membuat orang lebih matang secara spiritual, semakin sadar akan martabat kemanusiaannya dan tanggung jawabnya serta lebih terbuka untuk orang lain, terutama yang paling membutuhkan dan paling lemah” (Kompendium Ajaran Sosial Gereja, no. 415).
Persekutuan para murid Kristus, ialah Gereja, yang melibatkan diri dan memerhatikan pastoral komunikasi sosial, seyogiyanya mendorong diri untuk menjadi cakap dan tekun dalam hal-hal berikut:
Pertama, iman Kristiani adalah anugerah Allah yang perlu dipelihara dan diperkembangkan dalam perjalanan hidup kita. Pada umumnya, iman Kristiani diterima sebagai warisan dalam keluarga bagaikan sumber komunikasi iman hidup kita. Siapa yang tumbuh dan berkembang dalam suatu proses bina diri, dia itu melibatkan diri pada apa yang disebut komunikasi sosial. Terdapat banyak unsur yang memperlihatkan pentingnya pendidikan dan bina diri dalam komunikasi sosial. Oleh karena itu, Gereja kita perlu suatu orientasi pendidikan serta pembinaan komunikasi sosial, agar kepemimpinan Kristiani semakin menjadi efektif dan berfaedah bagi pelayanan dan perutusan komunikasi iman.
Kedua, siapa saja yang dipanggil untuk melayani dalam Gereja, menerima panggilan ini dengan suka rela. Oleh karena itu, harus ada alasan, kobaran semangat, tenaga dan hasrat batiniah yang menggerakkan seseorang untuk mewartakan Injil. Pelayanan komunikasi Kristiani tanpa hasrat yang berkobar secara mendalam adalah seperti garam yang kehilangan rasa asinnya. Terdapat banyak ahli komunikasi dalam Gereja, tetapi sebagian dikuasai oleh teknologi dan sebagian dikuasai oleh peragaan yang menyenangkan. Sedikit orang yang dikuasai oleh perutusan komunikasi pastoral.
Ketiga, komunikasi tidak terjadi dalam ruang kosong. Kehadiran serta makna budaya merupakan utama dalam komunikasi. Para pelayan gerejawi harus memiliki pemahaman akan budaya di mana Injil diwartakan. Beatus Yohanes Paulus II menyebutnya “Aeropagus baru” untuk melukiskan komunikasi dalam dunia moderen. (Redemptoris Missio, no. 37).
Keempat, pelayanan pastoral komunikasi harus memerhatikan dua hal kunci, yaitu kemendesakan dan kewaktuan. Komunikasi yang tidak memerhatikan kemendesakan akan sia-sia dan gagal. Kita tidak boleh mengesampingkannya dalam hubungan dengan komunikasi. Siapa yang tidak memanfaatkan waktu akan kehilangannya. Dalam dunia yang cepat berubah dan bercorak sesaat, persoalan waktu sangatlah menentukan. Nyatanya, Gereja biasanya lambat dalam membaca manfaat waktu dan kurang tanggap terhadap hal yang mendesak. Dalam upaya pastoral komunikasi sosial, penundaan berarti sama dengan ketertinggalan, bahkan mungkin kematian.
Kelima, memahami komunikasi dari sudut pandang Kristiani dan merenungkan bagaimana Kristus berkomunikasi, akan memampukan kita untuk mengerti komunikasi sebagai jejaring atau hubungan sosial manusiawi daripada semata-mata urusan teknologis. Konsili Vatikan II mernggunakan istilah “Komunikasi Sosial” daripada mass media atau media. Media lebih mementingkan alat komunikasi secara teknis dan hal ini hanyalah satu aspek dari komunikasi. Yang utama dalam komunikasi Kristiani adalah pribadi manusia Cfr CP, 1,8. Pelayanan Kristiani dalam komunikasi harus meliputi serta merangkul seluruh dimensi hidup manusiawi.
Keenam, pengkotakan antara hal agamawi dan hal duniawi telah menguasai pemahaman serta praktek hidup kita. Kita berpikir bahwa dunia itu rusak dan jahat, tanpa harapan. Oleh karena itu, Gereja tidak perlu berhubungan dengan dunia. Kenyataan ini juga berkaitan dengan sikap kita terhadap media. Namun, tantangan kita dewasa ini adalah membawa perspektif injili ke dalam dunia. Kita tidak dapat melaksanakannya secara efektif, jika kita mengambil jarak dari lingkungan duniawi. Seharusnya, komunikasi sosial membuat hubungan antara hal agamawi dan hal duniawi. Komunikasi menyediakan kesempatan untuk mengadakan kontak dengan dunia yang jauh dari nuansa ilahi. Komunikasi sosial memampukan kita untuk menyentuh hasrat hati manusiawi yang merindukan Allah. Komunikasi sosial Gereja harus memerikan perhatian pada apa yang ada dalam hati manusia, yang seringkali berada jauh dari Tuhan atau berada dalam kerinduan akan Tuhan.
Ketujuh, komunikasi Kristiani harus melampaui perspektif yang melibatkan media secara teknis, agar pemanfaatannya mampu menyebar-luaskan pesan Kristus. Segala jenis sarana serta prasarana komunikasi tidak dengan sendirinya menambah kemampuan efektif untuk pastoral komunikasi. Keterlibatan pada media moderen memang perlu, tetapi terdapat juga ruang yang perlu perhatian dan pandangan kritis. Ini bersangkutan dengan cara dan metode pewartaan yang menggunakan media elektronik. Persoalannya, keterlibatan pada media komunikasi seakan-akan untuk memertobatkan orang menjadi umat Kristiani. Gereja harus mengarus-utamakan komunikasi yang berkelanjutan secara manusiawi, sedangkan pertobatan hati terserah pada tangan Tuhan. Keterlibatan pastoral efektif dalam komunikasi sosial dapat menerangi kehadiran kristianitas dengan tekad untuk membangun dunia yang lebih baik. Di dalam negara Indonesia di mana sering terdapat salah paham akan pewartaan Injil, komunikasi sosial dapat membantu untuk memperjelas dan mengadakan perbaikan, dengan memerhatikan bahasa, perbendaharaan kata, gaya dan metodenya.
Kedelapan, usaha pastoral memang memerlukan pembiayaan. Pastoral komunikasi sosial dalam Gereja tidak dapat dilepaskan dari unsur investasi, biarpun hal ini hanya merupakan salah satu aspek. Perlu infrastruktur, sumber daya manusiawi, penggunaan yang bijak dan terarah dari barang-barang dan fasilitas, dan juga rencana keberlanjutan: semuanya perlu untuk membuat pelayanan komunikasi sosial menjadi karya pastoral yang sejatinya mewartakan tanda-tanda kerajaan Allah. Tetapi kenyataan adalah bahwasanya dengan banyak wacana dan rencana, rencana penganggaran kurang mendapat perhatian. Perlu suatu keseimbangan antara yang material dan sumber daya manusiawi untuk menjamin bahwa investasi bercorak efektif dan strategis.
Kesembilan, terdapat anggapan yang keliru bahwa komunikasi sosial dalam Gereja hanya bagi para pakar. Nyatanya, kita harus belajar dari Moses (Bil 11:29). Sungguh luar biasa bila seluruh umat Allah adalah pelayan komunikasi sosial dengan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Ketrampilan media tidak dibawa sejak lahir dan juga bukan saja hak dari para pakar. Setiap orang harus mengembangkan ketrampilan komunikasi dasar (mendengar, membaca, menulis dan berbicara serta berjejaring) yang diperlukan untuk melakukan kepemimpinan pastoral: uaskup, pastor, pengkotbah, katekis, pemimpin umat setempat etc.
Kesepuluh, peran Gereja dalam komunikasi sosial perlu tata tertib dan pengaturan. Para pelayan komunikasi sosial Gereja harus mempunyai pengaturan yang jelas dan tepat sasaran. Perlu manajemen serta kepemimpinan yang tertata secara organisatoris, agar bila pemimpinnya berganti, maka organisasinya berjalan terus dan membarui diri sesuai perkembangan jaman. Struktur komunikasi sosial tidak dapat tumbuh menurut selera satu dua orang, tetapi harus menjadi bagian utuh dari seluruh tertib pastoral. Bila tidak demikian, maka karya komunikasi selalu mengalami kesulitan atau kesakitan, karena hanya terbangun seputar selera beberapa orang tanpa rencana yang terbuka bagi keberlanjutan karya. Harus ada usaha untuk menjaga keberlanjutannya. Di samping itu, jejaring adalah suatu unsur yang utama dalam komunikasi pastoral yang berhasil. Jejaring sosial dapat mengembangkan kemampuan yang terbatas dalam meningkatkan kekuatan dan menambah mutu dalam karya pelayanan.
Kesebelas, komunikasi Kristiani berakar mendasar dalam pengosongan diri Yesus Kristus. Setiap komunikator Kristiani harus masuk ke dalam proses pengosongan diri untuk menemukan efektivitas pastoral dalam menunaikan komunikasi sosial. Sungguh menyedihkan, karena mereka yang dipanggil dan dilatih untuk menjadi komunikator Berita Gembira Kristus seringkali menjadi terlalu sibuk dengan diri sendiri: gambarannya, namanya dan popularitasnya. Banyak rencana dan kegiatan komunikasi sosial pada akhirnya membumi pada kesombongan diri, sambil membangun ruang sendiri dengan memperalat Kristus dan pesan-Nya. Sejatinya, kita menjadi komunikator pesan Kristus, jika kita telah memurnikan diri kita melalui pengorbanan dan pengosongan diri, yang pada dasarnya menjadi sumber inspirasi untuk mengadakan komunikasi( cfr. 1Yoh 1:3).
Keduabelas, komunikasi merangkul seluruh realitas dan olehnya semua yang kita lakukan mempunyai dimensi komunikatif. Komunikasi yang terkotak-kotak dan terasing adalah suatu “penyesatan”. Kegagalan untuk menempatkan komunikasi sebagai pusat rencana dan tindakan pastoral menghantar kepada kegagalan perutusan yang dipercayakan kepada kita. Cfr. Aetatis Novae n. 17.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.