Hadirnya alat-alat komunikasi dengan berbagai variannya jangan sampai membuat kita kaku dan mati gaya. Dengan beragam grup media sosial [contohnya Grup Whatsapp ] yang kita ikuti, sanggupkan kita bermurah hati berbagi cerita postiif dan pengalaman bagi pertumbuhan iman bersama?
Satu kalimat menarik yang disampaikan Paus Fransiskus dalam pesannya di Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-55 berbunyi, “Internet dengan berlimpah ekspresi sosialnya dapat meningkatkan kemampuan bercerita dan berbagi. Karena itu, banyak mata makin terbuka atas dunia. Demikian juga banyak gambar dan kesaksian akan terus dihadirkan.”
Maka, ajakan yang sama juga berlaku untuk kita semua : siapa saja dan dimana saja untuk membagikan apa yang kita alami, kita refleksikan. Sebuah ajakan kepada mereka yang ingin meneruskan pengalaman-pengalaman keseharian yang dialami sebagai sebuah kristalisasi iman yang perlu diteruskan, dibagikan dan disebarkan.
Ajakan ini menjadi relevan ketika dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini, pergerakan hidup kita seolah berada dalam satu ruangan ke ruangan lain, yang kita namai grup Whatsapp. Setiap hari seolah kita dipaksa untuk menengok terus-menerus ruangan ini.
Yang menjadi kegelisahan [setidaknya saya pribadi], dalam berbagai grup yang bisa sampai sepuluh saya masuki, tidak banyak yang dengan senang hati berbagi cerita, mengungkapkan sepenggal atau lebih pengalamannya. Apalagi refleksi mendalam atas pengalaman yang dialaminya.
Yang terjadi sebaliknya. Kita semua lebih senang, lebih mudah dan nyaman membagikan fragmen-fragmen pengumuman, flyer undangan webinar atau apa pun, juga cerita/kisah milik orang lain dalam grup-grup itu. Ketika ada teman berkisah, sering tidak ditanggapi dengan lemparan kisah. Paling-paling hanya lontaran kata “terima kasih”, “bagus”, “cerita yang mengesan”. Itu saja. Parahnya lagi, banyak juga yang membagi hal-hal/ kabar/informasi yang belum tentu benar alias hoaks.
Grup-grup di media sosial seakan menjadi grup yang tidak ada artinya karena mirip papan pengumuman yang bisa dipasangi kertas apa saja berisi pengumuman apa pun. Dan orang-orang yang membacanya seolah-olah zombi-zombi yang tak bisa mengeluarkan kata-kata penting. Mungkin gambaran ini terlalu berlebihan, tapi marilah berefleksi atas apa yang kita lakukan dalam grup-grup Whatsapp yang kita ikuti selama ini dengan mengaca pada pesan Paus Fransiskus tentang hal ini.
Kata Paus, kalau kita tidak bisa memanfaatkan peluang dan mengambil manfaat atas alat-alat komunikasi itu [ misalnya dengan membagikan sebanyak-banyaknya kisah positif yang original], maka bisa jadi yang kita bagikan entah hal-hal yang dangkal, palsu, atau kering serta membosankan.
Karenanya, melihat kenyataan sehari-hari seperti itu, saya ingin mengajak kita semua untuk melihat sebenarnya ada dimana kita saat ini dalam berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar kita.
Tiga Fase
Dalam berbagai pengalaman berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya ada tiga tahap yang pernah saya temui atau alami. Tahap pertama, ketika seseorang berkomunikasi dengan kita, bisa jadi bahan yang dibicarakan kebanyakan hal-hal di luar dirinya. Ambil contoh misalnya, suatu ketika saya bertemu dengan A di sebuah bus. Karena duduk berdekatan, kami lalu berkomunikasi satu sama lain. Yang terjadi, biasanya A atau saya tidak langsung bicara mengenai dirinya melainkan bicara mengenai halte, orang-orang yang ditemui, kendaraan yang lalu lalang dan sebagainya. Apalagi pada orang yang baru kenal, terhadap yang sudah kenal lama saja belum tentu seseorang bisa langsung menceritakan hal-hal yang terkait dengan dirinya sendiri.
Maka, komunikasi model seperti ini untuk orang-orang yang baru kenal bisa dimaklumi. Tahap pertama ini merupakan tahap dimana apa yang kita bicarakan menandai hubungan superficial antarindividu. Sayang, bila hal ini terjadi pada kita dan komunitas, keluarga yang sudah bertahun-tahun hidup bersama. Ini tahapan terdangkal dalam satu relasi.
Tahap kedua, ini merupakan fase yang lebih dalam meski masih dalam tataran permukaan. Ketika Si A bertemu dengan saya untuk kedua atau ketiga kalinya, A sudah mulai bercerita tentang dirinya. Misalnya dia yang baru saja pergi dari tempat tertentu atau mengonsumsi makanan yang enak di sebuah gerai kuliner tertentu. Intinya, A sudah mulai berkomunikasi dalam tataran yang lebih dalam lagi, tidak sekadar bercerita tentang suatu hal di luar dirinya.
Tahap ketiga, fase yang lebih jauh lagi. Ketika si A sudah mulai mengatakan bahwa dirinya jengkel, sedih, marah atau punya pikiran menyenangkan atau tidak menyenangkan tentang saya misalnya. Bahkan A sudah mulai bercerita mengenai pergulatan batin, susah senang hidupnya kepada saya, di situlah A sudah mulai masuk lebih dalam dalam berkomunikasi dengan saya. Relasi pun sudah bisa dibilang lebih dalam. A merasa saya bukanlah orang lain dalam hidupnya.
Saya tidak tahu apakah penggolongan tiga tipe ini ada teorinya atau seorang ahli komunikasi atau psikologi pernah membuat teorinya. Yang jelas, tahapan-tahapan itu saya alami dalam bergaul dan berkomunikasi dengan banyak orang selama ini.
Berdasar pengalaman bergaul selama puluhan tahun itulah, saya menemukan bahwa kebanyakan orang masih berada di tahap satu meski sudah lama atau bertahun-tahun hidup bersama entah dalam komunitas keluarga, asrama, rukun tetangga atau komunitas tertentu. Tidak mudah mengeluarkan apa yang dirasakan apalagi membagikan pergulatan/ konflik dalam hatinya untuk orang lain meskipun itu sudah berlalu dan sekarang dalam kondisi biasa saja.
Makin Bersyukur Makin Murah Hati
Mantan Provinsial Serikat Jesus, Pater Sunu Hardianto SJ dalam satu sesi pertemuan dengan para alumni sekolah-sekolah Jesuit pernah mengatakan, orang yang murah hati itu biasanya orang yang bisa bersyukur, mampu merasakan kebaikan Tuhan dalam hidupnya. “Mereka yang bisa dengan mudah berbagi dengan orang lain [ dalam bentuk apa saja ], adalah orang yang bisa merasakan kasih Tuhan,”ujar Romo yang juga doktor dalam ilmu biologi.
Maka, orang yang sulit berbagi dengan orang lain, bisa jadi tidak pernah menyadari bahwa hidupnya penuh kelimpahan berkat dari Tuhan. Dengan kata lain, semakin seseorang bisa mensyukuri hidupnya, maka dia akan semakin bisa murah hati, rela membagikan apa yang dimilikinya untuk orang lain. Kesadaran ini seolah menjadi sebuah paradoks. Semakin memberi, maka semakin merasa penuh. Itu agak aneh, tapi riil.
Maka, dengan kerangka atau kaca mata itu, marilah kita melihat diri kita apakah yang kita geluti dan coba jalani dengan bergaul bersama orang lain secara virtual saat ini sudah pada tempatnya atau belum. Apakah kita sudah berani berbagi, berani masuk ke tahap relasi yang lebih dalam dengan orang-orang yang hadir dalam grup/ komunitas yang kita ikuti? Ataukah kita sekadar ikut-ikut saja, yang penting tidak ketinggalan zaman.
Kalau hal semacam yang terjadi, maka saya bisa menggambarkan situasinya seperti ini. Masih ingat saat Blackberry masih berjaya? Nyaris semua orang memilikinya. Euforia memiliki dan menggunakan alat ini sungguh luar biasa. Tapi kenyataannya apa? Banyak yang punya tapi tidak tidak tahu bagaimana menggunakannya. Banyak yang memakainya tapi tidak tahu bagaimana memaksimalkan alat-alat ini. Sampai kemudian alat merek ini hilang ditelan bumi bisa jadi banyak yang tidak paham bagaimana mengoptimalkan fitur-fitur yang ada di alat ini.
Ambil Peluang
Sebagai agen-agen Tuhan yang menjadi alatNya untuk mewujudkan kerajaanNya di bumi ini seperti yang sering kita daraskan setiap hari dalam doa-doa kita [bdk. Doa Bapa Kami], saya rasa tidak tepat bila kita sekadar ikut dan hanya menjadi penggembira. Setidaknya dengan menyadari keberadaan kita yang ada di mana-mana itu, kita juga menyadari betul serta paham sumbangan apa yang bisa kita bagikan bagi sesama, bagi pertumbuhan bersama, entah itu dalam iman atau apa saja. Tak cukup menyadari saja, tetapi juga terdorong dan melakukan sesuatu.
Dengan hadir dimana-mana dalam ruang virtual di zaman kini justru memungkinkan kita untuk menyebar dan membagikan banyak hal positif dari hidup kita. Cerita, refleksi hidup, pengalaman bergulat dan beriman dalam hidup sehari-hari menjadi bahan yang rasanya tidak akan habis untuk disampaikan/diceritakan. Inilah peluang yang seharusnya kita ambil dan manfaatkan sebaik-baiknya. Jangan sampai kita kaku dan mati gaya di hadapan berbagai kemajuan teknologi itu apalagi bingung mau berbuat apa sehingga hasil akhirnya diam saja. Sia-sia, bila kita hanya hadir dan tidak memberikan apa pun juga bagi komunitas/grup kita entah itu komunitas online atau offline.
Jangan sampai kata-kata Paus ini terjadi pada diri kita, “Jika kita tidak membuka diri pada perjumpaan, kita tetap tinggal sebagai penonton dari luar, meskipun inovasi teknologi mampu membuat kita seolah-olah tenggelam dalam sebuah realitas luas secara langsung.”
Dan yang paling penting, Paus Fransiskus menekankan hal berikut ini, bahwa setiap sarana [ alat komunikasi ] akan berguna dan bernilai hanya bila sarana-sarana itu mampu membuat kita merasakan, mendengar, atau melihat sendiri hal-hal yang tidak akan kita ketahui jika kita tidak menyaksikannya secara langsung.
Mantan Jesuit, Pendiri Sesawi.Net, Jurnalis Senior dan Anggota Badan Pengurus Komsos KWI