Beranda OPINI Editorial Mantila, Kerudung Tradisional yang Semakin Diminati Perempuan Beriman Katolik?

Mantila, Kerudung Tradisional yang Semakin Diminati Perempuan Beriman Katolik?

OMK Korea Selatan mengenakan mantila/Foto: John Laba Wujon

ERUDUNG kepala atau mantila merupakan kain berbentuk lingkaran atau berbentuk segitiga dari renda hitam atau putih yang disampirkan di atas kepala wanita saat menghadiri perayaan misa atau  Sakramen Mahakudus. Populer di Spanyol, Korea Selatan, Timor Leste dan di beberapa negara Amerika Latin, secara tradisional mantila berwarna hitam dipakai oleh perempuan Katolik yang sudah menikah atau  yang janda, sedangkan kerudung putih dipakai oleh gadis-gadis muda atau perempuan yang belum menikah. Meski demikian, tidak ada aturan yang tegas soal pemakaian mantila.

“Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya, oleh karena para malaikat (1 Korintus 11:10)

St. Paulus mengingatkan kita bahwa seperti Kristus yang melaksanakan kehendak Bapa-Nya, maka  orang Kristen berkat  baptisannya akhirnya dipanggil masuk ke dalam persekutian iman bersama  Kristus. Mereka juga diajak untuk melaksanakan  kehendak Allah dan mencari kemuliaan-Nya. Secara khusus bagi kaum perempuan beriman, diingatkan untuk dapat ber sikap yang tepat terutama dalam berpakaian sesuai dengan adat kebiasaan di dalam Gereja, yakni dengan menghindari segala sesuatu yang mungkin tidak terhormat di hadapan Allah. Dengan mengenakan mantila sebagai penutup kepala, kaum wanita memperlihatkan statusnya yang unik.  Mereka memperlihatkan rasa hormatnya seperti para  malaikat suci yang selalu hadir baik di dalam perayaan sakramen Mahakudus. Wanita yang mengenakan mantila  saat datang ke hadapan  Allah, memperlihatkan secara sederhana tindakan para malaikat yang menyanyikan puji-pujian bagi Allah. Para malaikat itu, ketika mereka menyanyikan puji-pujian bagi Allah, mereka menutupi wajah dan kaki mereka dengan sayap mereka. (Yesaya 6: 2).

Sejak masa awal Kekristenan, mantila dikenakan kaum perempuan sebagai penutup kepala ketika pergi ke Gereja untuk berdoa dan memuji Tuhan. Praktik ini sudah umum di kalangan perempuan beriman. Namun sejak Konsili Vatikan Kedua, praktik itu tidak lagi diwajibkan bagi kaum perempuan, meski Gereja tetap mendorong agar mantila tetap dipakai. Namun seiring dengan perjalanan waktu, banyak wanita Katolik dari segala usia menemukan kembali tradisi kuno yang indah ini. Pada misa Latin dan Misa Tridentine, banyak wanita mengenakan mantila sebagai tanda penghormatan, kerendahan hati dan kesalehan. Mereka tahu bahwa mereka sedang berdoa di depan sakramen Mahakudus.

Dengan mengenakan mantila, kaum perempuan beriman  menyembunyikan kecantikan fisik mereka (terutama rambut mereka) dan berusaha memancarkan kemuliaan Tuhan.  Mantila merupakan simbol dan pengorbanan mistis di mana kaum perempuan yang mengenakannya dipanggil untuk menaiki ‘tangga kesucian’. Ini juga merupakan cara kaum perempuan beriman  meniru kebiasaan Santa Perawan Maria, yang setia menunjukkan kerendahan hati, kemurnian dan ketaatannya.

Kredit Foto: Seorang peserta OMK asal Korea Selatan mengenakan mantila saat mengikuti misa penutupan Asian Youth Day 2017 di Yogyakarta.