JAKARTA,MIRIFICA NEWS- “Sampai dua tahun lalu, saya adalah seorang ateis yang benar-benar berkomitmen dan saya begitu membenci Gereja Katolik,” kata penyair Sally Baca, saat menjelaskan bagaimana diri dan pandanganya berubah secara dramatis selama sembilan bulan pada 2010.
“Seluruh proses dimulai dari Maret sampai Desember, dan saya akhirnya diterima ke dalam Gereja Katolik di Vatikan pada bulan Desember, jadi itu sedikit kilatan petir,” katanya kepada CNA pada 24 Juli.
Seorang wanita Inggris berusia 41 tahun, Sally Baca, selama ini dipandang banyak orang sebagai the rising star dalam dunia puisi. Ia merupakan “salah satu dari generasi baru penyair muda yang membentuk masa depan puisi Inggris.
Saat ini, Sally tinggal di kota tepi laut Italia, Santa Marinella bersama suami dan putrinya. Di kota inilah kisah pertobatannya dimulai,ketika ia sedang menulis sebuah antologi berdasarkan pengalamannya dengan seorang pasien kejiwaan.
“Saat Sally sedang menulis buku antologi, saya sungguh menyadari bahwa saya tidak tahu di mana jiwa itu dan saya tidak tahu apakah jiwa ada. Itu benar-benar membuatku gila. Rasa frustrasi yang dialaminya, membawanya ke dalam diskusi dan perdebatan sengit dengan seorang pastor asal Kanada yang bekerja di Santa Marinella.
“Ketika saya sedang berbicara dengan pastor itu tentang apakah ada Allah dan semua hal semacam itu, perasaan saya sebagai seorang penyair adalah bahwa sesungguhnya yang menjadi penyair utama dan terakhir adalah Allah sendiri, dan saya hanya digunakan sebagai instrumen, “kenangnya.
Kesadaran itu mendorong Sally untuk kembali berbicara lagi dengan sang Pastor, katanya: “Saya tidak berpikir saya seorang ateis dalam segala hal.” Tapi Sally menolak untuk membuat lompatan intelektual Kristen, bersikeras ke pastor bahwa ia tidak akan pernah mengubah pandangannya.
“Dia sangat sabar dan sangat baik.” Dia berkata, “Kristus akan mengubah Anda, saya tidak akan mengubah Anda,” kata Sally mengenang sikap pastor ketika mendengarkan kisah pertobatanya.
Sally dibesarkan di dalam sebuah rumah tangga yang dikenal anti-agama tapi sekarang ia merasa seperti “segala sesuatu yang saya pernah percayai (itu) yang terbalik.”
“Tentu hal itu sangat sulit. Maksudku, saya tidak bisa tidur sama sekali. Saya sangat emosional dan trauma,” katanya, menggambarkan bulan-bulan perjalanan konversinya pada tahun 2010 sebagai sebuah masa paling mengganggu dalam hidupnya.
Pergolakan batin yang dialami Sally mulai berakhir ketika suatu sore ia berjalan melewati Gereja Katolik setempat.
Keseokan harinya Sally menangis tersedu-sedu dan berkata kepada patung Kristus yang ada di dalam Gereja, “Jika Anda berada di sana, maka Anda harus membantu saya.” Ia pun merasa kesulitan untuk menjelaskan hal ini. Tapi Sally merasa seolah-olah beban batin yang dideritanya diangkat dan ia sungguh merasakan kehadiran Kristus.
Ia menggambarkan peristiwa itu sebagai “benar-benar nyata,” sehingga sejak saat itu ia “tahu bahwa kehidupannya dikhususkan untuk Kristus. Tak ada lagi yang lain.” Perjalanannya ke dalam Gereja Katolik pun segera dimulai.
“Saya menyadari bahwa hanya ada satu Gereja dan cara untuk menjadi yang paling dekat dengan Kristus adalah dengan menjadi seorang Katolik, merayakan Ekaristi dan mengambil Komuni.”
Sejak itu Sally harus menghadapi penolakan dari anggota keluarga dan trauma dengan pembentukan artistik sosial-liberal. Namun, ia mengatakan jika ia lebih bahagia dari sebelumnya,” katanya dengan senyum lebar di wajahnya.
=======
Sumber: aleteia.org
Kredit Foto: Catholic Herald
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.