TINGGAL di tengah keluarga dan merasakan keseharian hidup mereka tentu saja menjadi sebuah pengalaman berharga. Tapi ,bagaimana pengalaman Stefanus Alfonsius Weto, salah satu anggota OMK asal keuskupan Maumere yang menjalani live-in di tengah kepungan gunung sampah di sekitar rumah?
Gunung sampah yang terletak di Kilo Lima, Simompo Kota Manado sejak dulu memang sudah terkenal. Sampah-sampah dari kota Manado dan sekitarnya selalu dibawa ke sana, Simompo. Di sekitar lokasi gunung sampah inilah, Weto tinggal bersama keluarga angkatnya, Bapak Antonius Pareira.
Tetapi untuk mencapai rumah keluarga bapak Anton, kami harus menyusuri jalan setapak sepanjang 300 meter. Kebetulan saat itu sedang tidak hujan, sehingga jalannya tidak becek. Di sepanjang jalan, berdiri pohon kelapa yang menjadi komoditas unggulan Sulawesi Utara. Tidak heran, propinsi ini dijuluki pula dengan pulau nyiur.
Kami tiba di rumah Bapak Alfons, Sabtu (1/10/2016) sekitar pkl. 12.25. Waktu yang tepat bagi keluarga untuk berisitrahat. Weto dan keluarga angkatnya sedang duduk bersama di teras rumah. Mereka sedang asyik ngobrol ketika kami tiba.
“Selamat siang, Bapak”, kami memberi salam kepada keluarga Bapak Anton.
“Kami dari mirifica.net, media onlinenya Konferensi Waligereja Indonesia di Jakarta, pa”, saya meneruskan perkenalan sambil berjabat tangan dengan seluruh anggota keluarga, termasuk Weto.
“O iya, mari jo,” kata Pa Alfons dengan dialek khas Manado sambil mengajak kami masuk ke dalam ruang tengah rumahnya.
Kami pun segera mengikuti langkah kaki bapak Alfons. Dan setiba di ruang tengah, ia mempersilakan kami duduk. Obrolan pun dimulai.
Kepada mirifica news, Bapak Anton mengisahkan kalau ia berasal dari Timor Leste. Ia bersama isteri dan 4 orang anaknya mengungsi ke Manado ketika pecah kerusuhan di Timor Lesta tahun 1998. Tapi jauh sebelum itu, Bapak Anton sudah pernah tinggal di Manado tahun 1975. Ia kembali ke Timor Leste pada tahun 1980 karena sebagai anak sulung ia harus berada dekat dengan kedua orang tuannya. Tapi takdir menentukan lain. Setelah kerusuhan pecah di Timor Leste, ia memilih kembali lagi ke Manado.
“Ketika saya mengungsi ke sini, di Simompo ini belum ada rumah sebanyak seperti sekarang. Daerah ini sering disebut dengan ondernemen yang artinya dulu menjadi wilayah kekuasaan Belanda dan dijadikan sebagai area perkebunan kelapa,” katanya.
“Dari tempat ini, saya dan keluarga mulai membangun dan menata kembali hidup kami”, katanya lagi.
Datang sebagai keluarga pengungsi, tidak membuat semangat Bapak Anton luntur. Apalagi mereka mengungsi karena peristiwa kerusuhan yang menelan begitu banyak korban manusia. Justru karena peristiwa seperti itu terjadi, keluarga ini bisa berdiri dan bertahan di tengah kesulitan hidup pasca kerusuhan.
Mendengar kisah hidup keluarga angkatnya, Weto tampak serius memperhatikan. Wajahnya tampak memancarkan keharuan. Di tambah lagi ia seorang pemuda pendiam. Sesekail ia hanya melempar senyum dan tawa. Namun Weto sesungguhnya seorang yang suka peduli dengan kehidupan orang lain.
Meski tinggal di tengah kepungan gunung sampah, Weto tak pernah merasa jijik dengan aroma tak sedap dari sampah yang membusuk. Katanya, di sini ia bisa belajar bagaimana bertahan dalam setiap kesulitan hidup. “Keluarga angkat saya sudah melawati kesulitan hidup yang lebih menantang, saya sangat menikmati suasana di rumah ini,” katanya.
“
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.