Antara wacana dan realita terbentang sebuah ruang, yaitu hati. Di situ akalbudi, pengertian, dan pengetahuan diuji waktu ditatapkan pada kehidupan nyata. Mampukah fakultas kognyitip manusia itu menggerakkan fakultas volutipnya, yakni kehendak bahkan keberanian untuk mengambil keputusan dan melaksanakannya. Untuk itu sering dipakai ungkapan “sampai hati,” “tega,” atau “berani.”
Menyetujui pembubaran Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial (LPPS) KWI adalah salah satu keputusan “berani” yang mengalir dari wacana Sidang KWI 23-26 April dengan tema pokok “Mengembangkan Kredibilitas Gereja/KWI melalui Pelayanan Administrasi Kelembagaan dan Keuangan yang Transparan dan Akuntabel.”
Setelah mempertimbangkan dalam-dalam dampak negatip kemelut yang sudah bertahun-tahun sekitar transparansi dan akuntabilitas LPPS KWI bagi kredibilitas Gereja Katolik Indonesia mumnya dan KWI khususnya di hadapan para penyandang dana baik dalam maupun luar negeri, khususnya bagi masyarakat yang dilayani, maka KWI dalam Sidang tersebut menerima usul Badan Pengurus Yayasan Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial (YLPPS untuk membubarkan YLPPS.
Sebagai tindak lanjut, sesuai dengan Anggaran Dasar LPPS, Badan Pengurus Yayasan LPPS, dalam rapatnya 18 Mei 2002, secara resmi dan dengan suara bulat memutuskan pembubaran LPPS, dan mengusulkan kepada Presidium KWI untuk membentuk Tim Likuidasi. Tanggal 31 Mei 2002 Presidium KWI mengeluarkan Surat Keputusan Pembentukan Tim Likuidasi LPPS. Menurut SK tersebut, Mgr. Martin D. Situmorang, OFM Cap diangkat menjadi Pengawas, Bp. Thomas Suyatno sebagai Ketua, Bp. Benny Soeparno Wakil Ketua, Pastor H. Datus Lega Sekretaris, dan Sr. Franscesco Marianti, OSU, Bp. VB da Costa, dan R.P. Anton K. Gunawan, OCarm sebagai anggota. Demikian pemberitahuan Datus Lega kepada Sekretaris Jendral dan seluruh jajaran KWI tertanggal 24 Juni 2002.
Salah satu langkah implementasi keputusan pembubaran LPPS ini adalah pemberhentian semua karyawan/wati LPPS-KWI, termasuk direkturnya sendiri, efektip per 28 Juni 2002, lanjut H. Datus Lega, yang kini mengurus kegiatan operasional Tim Likuidasi LPPS. Di tengah kesulitan ekonomi dan sedikitnya lapangan kerja di Indonesia, apalagi LPPS telah begitu banyak berjasa sebagai penghubung antara penyandang dana dan mereka yang memerlukannya, keputusan pemutusan hubungan kerja tersebut terpaksa diambil dengan berat hati. Oleh karena itu, segera KWI menyetujui keputusan Badan Pengurus Yayasan LPPS untuk membubarkan LPPS, Direktur LPPS mengambil inisiatip untuk membicarakannya dengan semua pihak, khususnya para staff.
Dalam dua kali pertemuan dengan staff LPPS tanggal 6 Mei dan 15 Mei 2002, Pastor Datus Lega selaku Direktur LPPS telah menjelaskan persetujuan KWI atas pembubaran LPPS dan pembubaran LPPS sendiri oleh Badan Pengurus YLPPS serta masalah-masalah yang berkaitan dengan pembubaran LPPS tersebut. Bahkan “pada kesempatan itu saya mohon agar semua staf membuat laporan akhir pertanggungjawaban tugas-tugas mereka. Semuanya mengerjakan permohonan saya itu, dan menyerahkan pada waktunya, yakni paling lambat 31 Mei 2002,” begitu tukas Datus Lega. “Bahkan dengan beberapa anggota staff, Direktur berbicara secara pribadi dan mendengarkan curahan hati mereka,“ lanjutnya.
Adalah hak mereka, kalau ada staff yang tidak puas dengan keputusan pembubaran LPPS ini. Namun, satu hal seharusnya menjadi jelas. Sementara letak kesalahan transparansi dan akuntabilitasnya terus diusut, penyandang dana sudah terlanjur tidak percaya lagi kepada LPPS. Kredibilitas LPPS sudah hilang, dan langsung mengena pada kredibilitas KWI juga. Oleh karena itu lah LPPS diputuskan untuk dibubarkan. Salah satu akibatnya pemutusan hubungan dengan para karyawan/wati. Mirip sebuah perusahaan yang sudah bangkrut. Bubar. Karyawan kena PHK dan mendapat pesangon sesuai peraturan yang berlaku. “Kalau mengikuti peraturan internal KWI, pesangon mereka kecil. Namun, KWI memikirkan peraturan yang lebih menguntungkan karyawan/wati, yakni peraturan Depnaker. Pesangon mereka jauh lebih banyak,” begitu penjelasan mantan Direktur LPPS Datus Lega.
Membantu para Waligereja mewujudkan masyarakat Indonesia yang beriman, menghayati nilai-nilai universal, serta mampu menggunakan media komunikasi secara bertanggung jawab demi terciptanya persaudaraan sejati dan kemajuan bersama.