Beranda OPINI Lidah dan Tangan Seorang Murid: Etika Rasul Paulus Dalam Konteks Globalisasi Komunikasi...

Lidah dan Tangan Seorang Murid: Etika Rasul Paulus Dalam Konteks Globalisasi Komunikasi dan Informasi

pksn kwi 2019

Pendahuluan

Globalisasi sudah menjadi sebuah fenomena yang mendunia. Globalisasi diartikan sebagai
suatu proses menuju dunia global atau sebuah proses yang mendunia sehingga membuat dunia saling
terintegrasi dan terkoneksi satu sama lain tanpa batas. Hal ini menyebabkan globalisasi menjadi
sebuah gerakan dengan dampak serta manfaat yang besar. Roland Robertson sebagaimana ditulis
Ibrahim (2014) menjelaskan bahwa globalisasi memiliki dua sifat, yakni sifat penyempitan dan
perluasan. Sifat penyempitan adalah ketika globalisasi membuat dunia semakin sempit secara insentif
dan di satu sisi terjadi juga perluasan kesadaran manusia untuk meningkatkan koneksi yang bersifat
global.

Beraneka macamnya pulau, kelompok etnik, suku bangsa dan agama di Indonesia menjadikan
Indonesia sebagai negara yang multikulturalisme. Keberagaman yang terwujud ini tentunya akan
menghasilkan sebuah konsekuensi di mana masyarakat Indonesia harus berhadapan dengan orangorang
yang memiliki latar belakang yang berbeda antara satu sama lain. Globalisasi nampaknya
menjadi solusi akan status multikulturalisme tersebut. Ia hadir dan diterima oleh Bangsa Indonesia
untuk mengisi keberagaman yang dimiliki Indonesia.

Salah satu dampak yang dapat terlihat adalah dalam bidang komunikasi dan teknologi. Hal
tersebut terbukti dapat membuat Indonesia yang multikulturalisme saling terkoneksi. Bahkan lebih
jauh, kemajuan dalam bidang komunikasi dan teknologi dapat mengkoneksikan Indonesia sampai ke
pelosok-pelosok dunia. Kemajuan dalam bidang teknologi dan informasi ini menjadi salah satu tanda
proses perkembangan globalisasi di Indonesia sekaligus menjadi motor penggerak proses globalisasi
karena kemajuan dalam bidang teknologi dan informasi akan memengaruhi sektor lainnya seperti
bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Media sosial hadir untuk mewadahi proses globalisasi yang berjalan itu. Kehadirannya telah
membawa perubahan ke arah penyertaan masyarakat yang lebih bersifat dalam jaringan (online) dan
lebih dari itu, muncul keterlibatan masyarakat dalam berbagai isu-isu yang dibangun dalam media
sosial. Hal ini terjadi karena media sosial mewadahi para pengguna untuk dapat menyampaikan
aspirasinya berupa komentar, diskusi daring ataupun tindak penyebarluasan. Namun, tak sedikit pula
isu-isu seperti pemberitaan dan ujaran kebencian muncul akibat tindak komentar, diskusi daring ataupun tindak penyebarluasan yang tak terkontrol dengan baik. Masalah ini yang kemudian
mendorong peran serta dari Gereja dan sikap kritis umat dalam menanggapi fenomena tersebut.

Media Komunikasi dan Kekhawatirannya

Tingginya pengguna internet di Indonesia menimbulkan suatu kekhawatiran bahwa muncul
banyak fenomena tentang pemberitaan palsu. Informasi yang diwartakan dalam pemberitaan
tersebut sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Hal tersebut dilakukan
dengan tujuan hanya sekedar bahan lelucon, sekedar iseng, bahkan hingga pada tahap menjatuhkan
pesaing (negative and black campaign). Sikap tegas telah ditunjukkan oleh Paus Fransiskus yang
menyebut pemberitaan palsu sebagai iblis. Baginya, berbagai pemberitaan palsu merupakan tanda
intoleransi, hipersensitif dan mengarah hanya untuk menyebarkan kebencian dan keangkuhan.

Fenomena pemberitaan palsu saat ini, menurut Fransiskus, mengakar pada eksploitasi stereotip dan
prasangka umum masyarakat. Persis dengan tujuan pemberitaan palsu yakni untuk menjauhkan
pesaing yang berupa kampanye negatif dan kampanye hitam. Gereja senantiasa mendorong umat
untuk lepas dari godaan tersebut. Dalam Katekimus Gereja Katolik setidaknya ditekankan pentingnya
membentuk dan menyebarluaskan pandangan-pandangan umum yang sesuai dengan kebenaran (§
2495).

Komunikasi yang benar dan jujur tersebut membuahkan solidaritas yang kemudian
berdampak untuk memajukan pengetahuan dan perhatian untuk orang lain. Namun ujaran kebencian
yang dewasa ini menjadi praktik yang lazim terjadi membuat tataran dunia jauh dari sikap solidaritas,
terlebih untuk memajukan pengetahuan dan membangun perhatian kepada orang lain. Kekhawatiran
ini yang disorot jelas oleh Paus Fransiskus melalui Pesan Hari Komunikasi Sedunia ke-53. Dunia maya
yang sejatinya membuka peluang untuk memajukan perjumpaan dengan orang lain justru kehilangan
dayanya. Berbagai kekhawatiran di atas justru mewujudkan dunia maya yang mengerikan, merusak
relasi antar manusia, dan bahkan membuat manusia semakin terasing.

Peran Gereja dan Negara

Gereja tidak mau terlena dalam kekhawatiran tersebut. Gerak konkrit Gereja atas fenomena
media komunikasi sosial dan informasi sudah secara resmi terumus dalam beberapa dokumen Gereja.
Iswahardi (2003) setidaknya menyebutkan tiga dokumen Gereja yang terkait. Inter Mirifica (1963) dan
Communio et Progressio (1971) yang menegaskan manfaat positif media dalam kerasulan dan
pewartaan Injil yang dijalankan umat. Pentingnya pembelaan kebudayaan manusia yang terancam
oleh media massa, pembentukan komunikator Kristiani, perhatian pastoral bagi mereka yang bekerja
di media dan kerjasama dengan agama-agama lain untuk menjamin kehadiran keagamaan yang bersatu dalam inti komunikasi massa juga ditekankan Paus Yohanes Paulus II dalam Aetatis Novae
(1992).
Itu semua terjadi agar peran media komunikasi sebagai pewujud kesejahteraan umum dapat
berjalan dengan baik. Katekismus Gereja Katolik mencatat bahwa masyarakat mempunyai hak atas
informasi, yang berdasarkan kebenaran, kebebasan, dan solidaritas (§ 2494). Karenanya penting bagi
media yang bersifat dua arah: sebagai media yang menyediakan sumber informasi sekaligus
memungkinkan pengguna untuk berkomunikasi. Asas komunikasi dalam media sosial berupa
partisipasi, keterbukaan, percakapan, komunitas keterhubungan antara komunikator dan komunikan.
Sebagaimana disampaikan Paus Fransiskus dalam Hari Komunikasi Sedunia ke-53 bahwa
perlunya kesinambungan peran antara negara dan Gereja. Peran negara menyusun regulasi seputar
dunia maya dan melindungi tujuan pertamanya tentang jejaring yang bebas, terbuka, dan aman. Hal
tersebut terwujud misalnya dalam regulasi-regulasi represif berupa hukum yang mengatur pelaku
pemberitaan palsu dan ujaran kebencian. Walau saat ini hal tersebut sudah tertuang dalam UU ITE,
namun penting bagi pemerintah untuk dapat menerapkan Undang-Undang tersebut secara objektif.
Hal tersebut disampaikan dengan pertimbangan bahwa banyak yang menilai bahwa UU ITE saat ini
sangat bergantung pada rezim yang berkuasa. Pasal-pasal ‘karet’ justru dimanfaatkan segelintir orang
untuk mengekang kebebasan seseorang. Ini yang harus menjadi perbaikan kedepannya.

Di sisi lain, peran gereja memilliki peluang dan tanggung jawab untuk mendorong
pemanfaatan dunia maya secara positif. Faktor terbesar terjadinya pemberitaan palsu dan ujaran
kebencian adalah karena rendahnya literasi masyarakat Indonesia. Gereja harus peka pada realitas ini.
Literasi media dan informasi akan mengajak individu untuk berinteraksi dengan media dan informasi
yang ada. Interaksi tersebut bisa berupa: identifikasi informasi yang dibutuhkan, mengakses dan
menemukan informasi, mengevaluasi informasi, dan menggunakan informasi seara efektif dan etis.
Itu misalnya terwujud dalam menggiatkan kembali perpustakaan di setiap Gereja, pelatihan dan
kursus bagi umat dalam hal literasi, dan hal praktis lainnya.

Dalam menjalankan itu, etika dalam menghadapi kemajuan komunikasi dan teknologi harus
terus dijunjung tinggi. Ketika etika hadir sebagai dasar pedoman dalam kemajuan komunikasi dan
teknologi, masyarakat diharapkan bisa membedakan mana informasi baik yang dapat diterima dan
mana informasi yang buruk. Etika juga membentuk suatu perilaku masyarakat yang bersifat
membangun dan mempersatukan, seperti: melakukan kegiatan komunikasi dengan ramah, belajar
menjadi pendengar yang baik dalam proses komunikasi dan menilai kemajuan teknologi sebagai
sarana memperkenalkan Indonesia di kancah internasional.

Lidah dan Tangan Seorang Murid

Salah satu hal yang disorot Rasul Paulus adalah bagaimana etika dan moralitas seorang
pengikut Kristus harus dibangun terutama dalam relasinya dengan orang lain. Dalam bahasa teologis,
Rasul Paulus mengajak untuk meninggalkan manusia lama kita dan lebih menunjukkan ciri watak yang
dibentuk serupa dengan Allah dalam manusia baru. Itu terwujud dalam sikap tidak berkata dusta,
mampu mengendalikan diri dalam keadaan marah, tidak emosional, dan menjaga tutur kata (Lih. Ef
4:25-31). Bagi Rasul Paulus, etika dan moralitas orang percaya tidak cukup dijalankan dengan sekadar
tidak berdusta, namun kita diwajibkan untuk mengatakan yang benar (Ef 4:25a). Dalam bahasa Rasul
Yakobus, bertindak mengatakan yang benar menuntut sebuah kejujuran. ”Jika ya hendaklah kamu
katakan ya, jika tidak hendaklah kamu katakan tidak” (Yak 5:12).

Jika dikaitkan dengan fenomena globalisasi komunikasi dan informasi, standar moral dan etika
yang diungkapkan Rasul Paulus ini tentu lebih susah dipraktikkan pada zaman ini ketimbang di masa
Kota Efesus itu. Dalam Perjanjian Lama, Yesaya menegaskan bahwa karunia lidah seorang murid
mendorong kita untuk dapat berkata dengan baik dan menyenangkan (lih. Ams 16:24). Kata ‘lidah’
(lashown) dalam Yesaya 50:4 dapat pula diartikan sebagai bahasa atau kemampuan berbicara
(language). Ketika kita menggunakan lidah dengan baik, maka melalui itu juga kita dapat memberi
semangat baru kepada orang yang letih lesu (Yes 50: 4a). Ketika globalisasi informasi dan komunikasi
hadir dalam rupa berbagai macam gawai, tampaknya tidak hanya lidah seorang murid yang harus kita
lakukan, namun juga tangan seorang murid. Hal itu didasari dari keaktifan tangan dalam penggunaan
gawai. Melalui jari-jari kita, berbagai pesan, like, komentar, dan aktivitas lainnya kita lakukan setiap
hari melalui gawai kita.

Kita Adalah Sesama Anggota

Setelah mengusahakan lidah dan tangan seorang murid dalam menghadapi fenomena
globalisasi komunikasi dan informasi. Langkah selanjutnya yakni mengusahakan persatuan. Berbagai
ancaman perselisihan, konflik dan berujung pada disintegrasi akibat dari fenomena globalisasi
komunikasi dan informasi menuntut sikap kita untuk bersatu karena sejatinya gagasan tentang
jejaring sosial dalam jaringan merupakan sumber daya bagi persekutuan, bukan perpecahan.
Pesan itu yang disampaikan Rasul Paulus dalam Efesus 4:25 bahwa kita adalah sesama
anggota. Sebagaimana Allah itu Esa dalam Tritunggal-Nya, demikian juga kita sebagai orang percaya
hidup bersatu dalam keberagaman. Kata ‘anggota’ dalam bahasa aslinya adalah melos yang
sebenarnya merujuk ke anggota tubuh (a member of the human body). Metafora ini memang dipakai
dalam konteks tubuh secara biologis di mana anggota tubuh berarti jika hidup berdampingan dengan
anggota tubuh lainnya. Setiap anggota tubuh manusia juga unik dan punya perannya tersendiri.
Metafora itulah yang kemudian merujuk pada Gereja yang adalah tubuh Kristus, di mana kita
terhimpun bersama-sama didalam-Nya. Melalui metafora yang sama, Paus Fransiskus mengajak kita
untuk merenungkan jati diri kita yang berlandaskan persekutuan dan kebhinekaan. Kita sesama
anggota adalah ketergerakan kita untuk melihat orang lain bukan sebagai pesaing, namun
menganggap musuh-musuh kita sebagai pribadi.

Gereja sebagai tubuh Kritus juga tidak hanya menonjolkan satu sisi yakni sebagai persatuan
umat dengan Kristus saja, namun juga persatuan antara umat dengan umat lainnya. Tindakan ini tidak
terlepas dari sifat alamiah manusia yang merupakan makhluk sosial. Tindakan perangkulan yang
dilakukan Kristus setidaknya mengajak kita untuk menemukan kebhinekaan dengan cara yang baru
yakni keterkaitannya dengan sesama manusia lainnya. Hal itu didasari dari kebutuhan manusia untuk
berhubungan (interaksi) dengan orang lain serta adanya kebutuhan sosial untuk hidup berkelompok
dan berdampingan dengan orang lain.

DAFTAR REFERENSI

Ibrahim, Idi Subandy, dkk. 2014. Komunikasi dan Komodifikasi: Mengkaji Media dan Budaya dalam
Dinamika Globalisasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Iswarahadi, Y.I., 2003. Beriman dengan Bermedia: Antologi Komunikasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Konferensi Waligereja Indonesia . 2009. Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius.
Pope Francis. 2019. Message of His Holiness Pope Francis For The 53rd World Communications Day.
[Online]
http://w2.vatican.va/content/francesco/en/messages/communications/documents/papafrancesco_
20190124_messaggio-comunicazioni-sociali.html (diakses pada 17 Maret 2019,
pukul 19.50 WIB).

Ilustrasi: Holyart.com

Penulis: Jacko Ryan

Ditulis dalam rangka Lomba Esai PKSN KWI 2019