Beranda BERITA Lambang dan Motto Penggembalaan Uskup Agung Medan

Lambang dan Motto Penggembalaan Uskup Agung Medan

DALAM menjalankan karya penggembalaannya, seorang uskup wajib memilih lambang dan motto pastoralnya. Demikian juga untuk Uskup Agung Medan yang baru, Mgr. Kornelius Sipayung OFMCap.

Deus Meus Et Omnia” Allahku dan Segalaku merupakan motto yang dipilih Uskup Keuskupan Agung Medan (KAM) Mgr Kornelius Sipayung, OFMCap yang Sabtu (2/2/2019) telah ditahbiskan.

Kalimat “Deus Meus Et Omnia” merupakan doa dari seseorang mistikus yang sedang ekstasis. Sebuah doa berdimensi rangkap. Di satu sisi Deus Meus et Omnia merupakan pekik kekaguman dalam keheningan mendalam akan keagungan misteri ilahi dalam karya ciptaan dan kemuliaan karya penebusan.

Di sisi lain, Deus Meus et Omnia merupakan pengakuan atas ketidakberdayaan manusia dan ciptaan di hadapan Allah yang mengatasi langit.

Deus Meus et Omnia juga mengungkap ketidakberdayaan manusia seperti “cacing yang hina”  (meminjam kata-kata Fransiskus). MeskibegituAllah tetap mengindahkan dan mengingatnya.

Semboyan ini juga menggemakan kembali seruan Pemazmur: “Quid est homo, quod memor es eius, aut filius hominis, quoniam visitas eum?” yang artinya “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? (Mzm 8:5).

Kemurahan Allah yang membuat manusia hampir setara dengan-Nya, dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat, itulah pula yang termaktub dalam Deus Meus et Omnia Fransiskus.

Di hadapan misteri ini, Pemazmur, sebagaimana halnya Fransiskus, hanya mampu berseru, “Ya Tuhan, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi” (Mzm 8:10)

Ungkapan yang bernada mirip pernah terlontar juga dari Thomas Rasul. Di hadapan Yesus yang bangkit, dia terpana, kagum. Tetapi juga tak berdaya, kecil, menyadari iman yang masih secuil.

Thomas memekik tetapi dalam keheningan, “Dominus meus et Deus Meus” yang artinya “Ya Tuhanku dan Allahku” (Yoh 20:28). Inilah pengakuan final Kristologi dalam Injil keempat.

Keterpesonaan akan inkarnasi Allah ini mengubah seluruh hidup Fransiskus. Inkarnasi Allah menjadi model hidup kedinaan. Di hadapan keagungan Allah dan ketidakberdayaan sebagai manusia dan ciptaan, tiada kata lain yang sanggup terucap dari bibirnya selain “Deus Meus et Omnia” Allahku dan Segalaku.

Mengikuti Injil Tuhan Yesus Kristus, itulah program hidupnya. Kedinaan dan kemiskinan menjadi pilihan hidup menanggapi perintah Allah lewat Salib San Damiano untuk memperbaiki gereja yang hampir roboh.

Lambang

Adapun Lambang Bapa Uskup Mgr Kornelius, OFMCap adalah perisai yang terbagi menjadi tiga bagian horizontal. Bagian atas berisi gagasan teologis yang melandasi arah kebijakan pastoralnya lalu berturut-turut dua bagian berikutnya di tengah dan di bawah berisi kilas balik dari perjalanan hidup sampai ke tanah kelahirannya.

Di bagian atas, dengan latar belakang warna merah, adalah seekor burung merpati berwarna putih yang ditempatkan di tengah atas. Sementara disebelah ujung kiri bawah ditempatkan Bintang Betlehem berwarna putih, lalu seekor anak domba Allah berwarna putih ditempatkan di ujung kanan bawah.

Ketiga simbol ini melambangkan gagasan teologis yang dihayati Uskup Kornel, yakni teologi inkarnasi; sabda yang menjadi daging, yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria di Betlehem dan sebagai Anak Domba Allah, yang dikurbankan di altar salib di Golgota.

Berikutnya di bagian perisai tengah, dengan warna dasar putih adalah lambang Fransiskan. Bagian ini menunjukkan latar belakang Uskup Kornel yang merupakan pengikut Fransiskus dari Ordo Kapusin.

Dua tangan yang saling silang adalah lengan kanan Kristus dengan bekas paku pada telapak tangan-Nya, dan lengan kiri Santo Fransiskus dari Asisi, yang memperoleh anugerah stigma atau bekas luka Kristus pada telapak tangannya. Di bagian belakang, di tengah kedua lengan terdapat salib kecil dari kayu.

Sementara itu pada bagian bawah, berlatar belakang warna abu-abu keperakan yang adalah tanah kelahiran dan sekaligus juga menggambarkan situasi alami pastoral Keuskupan Agung Medan. Tiga buah gunung berwarna hijau melambangkan Pegunungan Bukit Barisan. Tanah subur berwarna coklat tua menggambarkan lahan pertanian.

Sedangkan riak air berwarna biru melambangkan Danau Toba. Gambar lima roti dan dua ikan diatas tanah subur dan riak air memiliki makna ganda. Di satu sisi melambangkan hasil dari bumi dan dari pekerjaan tangan manusia. Di sisi lain juga melambangkan ekaristi.

Di atas perisai ditempatkan sebuah galero atau topi khas klerus berwarna hijau, dengan 10 jumbai pada masing-masing sisinya. Di bagian tengah belakang perisai adalah kayu salib pancang berwarna kuning keemasan, dengan dua palang mendatar.

Galero hijau dengan 10 jumbai berikut salib pancang dengan dua palang mendatar ini merupakan penanda bahwa sang empunya lambang adalah seorang uskup agung.

Selanjutnya dibawah perisai adalah sebuah pallium, asesoris khas yang dianugerahkan Paus kepada para uskup agung metropolit. Pallium dibuat dari bulu domba asli dan dikenakan dengan dikalungkan atau disampirkan di pundak, laksana anak domba yang hilang yang dipanggul oleh sang gembala yang baik.