Beranda KATEKESE Ajaran Gereja Kualitas Sekolah Katolik Menurun?

Kualitas Sekolah Katolik Menurun?

(Relevansi Kan. 803)

Rm. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr

•1.      Fenomena menurunnya kualitas sekolah Katolik

Sekolah katolik mau kemana? Apa yang masih bisa diandalkan dari Sekolah Katolik? Kualitas dan keunggulan sekolah Katolik yang mulai terlihat menurun, disadari oleh banyak pihak mulai dari umat Katolik sendiri bahkan para Uskup. Keprihatinan semacam itu juga dirasakan oleh para Uskup Waligereja Indonesia yang tergabung dalam KWI. Maka pada sesi hari studi sidang KWI November 2008 mengambil tema sentral tentang lembaga pendidikan katolik selain ada penyegaran bagi para Uskup Indonesia bidang politik menjelang 2009. Kembali pada persoalan sekolah Katolik yang kualitas dan keunggulanya mulai menurun, siapa yang bertanggungjawab? Lalu jika sekarang akan diupayakan perbaikan kualitas dan keunggulannya, bagaimana caranya? Bukankah Negara memiliki kewajiban untuk mengurus bidang pendidikan? Seperti kita ketahui dari media massa bahwa Pemerintah RI pada tahun 2009 mengalokasikan dana 20% dari total APBN untuk pendidikan. Dengan dana itu bangunan sekolah negeri yang rusak akan diperbaiki, gaji guru akan dinaikan minimal pegawai rendah Rp. 2.000.000,-. Pemerintah juga memrogramkan pendidikan dasar – menengah di sekolah negeri gratis. Jika demikian, apakah sekolah Katolik masih mampu bersaing dengan sekolah negeri dan masihkah sekolah Katolik dibutuhkan oleh masyarakat? Fenomena turunnya kualitas sekolah Katolik dan turunnya jumlah siswa, apalagi pendidikan Katolik dirasakan banyak umat mahal, gejala-gejala itulah menjadi fokus perhatian pada hari studi sidang KWI November 2008. Keuskupan Surabaya menjadi contoh penelitian dari panitia pengarah hari studi karena oleh Uskup Surabaya Mgr. V. Sutikno Wisaksono, Pr, tahun 2008 ditetapkan sebagai tahun pendidikan. Dengan pencanangan itu dimaksudkan agar pendidikan di sekolah Katolik di keuskupannya mulai berangsur membaik. Diskusi atas dasar data yang terkumpul dan usaha pemerhati pendidikan akan menjadi bahan pencerahan bagi para Uskup, di hari studi sidang KWI 2008. Memang, persoalan pendidikan di sekolah Katolik tidak akan kunjung berhenti, jika kesadaran beberapa pihak yang berkepentingan tidak menyadari pentingnya sekolah Katolik sebagai salah satu andalan kerasulan Gereja? Maka siapakah stake holdersekolah Katolik? Jawabannya: Uskup diosesan dan semua anggota Gereja. Kanon 803, §§ 1-2 menyatakan: “Sekolah Katolik ialah suatu sekolah yang dipimpin oleh otoritas gerejawi yang berwenang atau oleh badan hukum gerejawi publik atau yang diakui demikian oleh otoritas gerejawi melalui dokumen tertulis. Pengajaran dan pendidikan di sekolah Katolik harus berdasarkan azas-azas ajaran Katolik: hendaknya para pengajar unggul dalam ajaran yang benar dan hidup yang baik”. Lebih jauh, dalam kan. 800, § 2 “hendaknya orang beriman kristiani mendukung sekolah Katolik dengan membantu sekuat tenaga dalam mendirikan dan membiayai sekolah itu”. Dengan pernyataan kanon itu bisa disimpulkan bahwa stake holder sekolah Katolik adalah: Uskup, para Pastor Paroki, Umat beriman kristiani (orang tua siswa, pemerhati pendidikan Katolik), pendiri sekolah Katolik (tarekat religius). Kalau mau sekolah Katolik tetap berkualitas dan unggul maka semua pemangku kepentingan harus duduk bersama, berdiskusi dan mencari tindakan konkrit untuk menyelamatkan sekolah Katolik dari keterpurukannya. Sekolah Katolik tidak berdiri sendiri. Dia ada di tengah masyarakat dan arah kebijakan pendidikan nasional. Beberapa masalah berikut ini turut memengaruhi menurunnya kualitas pendidikan Katolik.

•2.      Beberapa masalah lembaga pendidikan nasional

Pembangunan pendidikan belum sepenuhnya mampu memberikan pelayanan secara lebih merata, berkualitas dan terjangkau. Antara lain ditunjukkan oleh masih tingginya penduduk buta aksara, rendahnya cakupan layanan pendidikan bagi anak usia dini, serta masih rendahnya angka partisipasi pendidikan, terutama untuk tingkat pendidikan menengah pertama sampai dengan pendidikan tinggi. Dengan kesenjangan yang masih cukup tinggi antar kelompok masyarakat, seperti antar penduduk kaya dengan penduduk miskin, antara lelaki dengan perempuan, dan antara penduduk di perkotaan dengan pedesaan, dan antar daerah. Sebagian besar penduduk tidak dapat memenuhi biaya pendidikan yang dirasakan mahal dan pendidikan juga dinilai belum mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat sehingga pendidikan belum dinilai sebagai bentuk investasi. Fasilitas pelayanan pendidikan khususnya untuk jenjang pendidikan menengah pertama ke atas belum tersedia secara merata. Khususnya di daerah terpencil dan kepulauan sehingga menyebabkan sulitnya anak-anak terutama anak perempuan untuk mengakses sarana pendidikan. Selain itu, fasilitas pendidikan khusus dan layanan khusus bagi anak-anak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa masih belum tersedia secara memadai. Kualitas pendidikan masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan peserta didik dan pembangunan yang terutama disebabkan oleh kurang dan belum meratanya pendidikan dan tenaga kependidikan baik secara kuantitas maupun kualitas, belum memadainya ketersediaan fasilitas belajar, terutama buku dan alat peraga, serta belum berjalannya sistem kendali mutu dan jaminan kualitas pendidikan, serta belum tersedianya biaya operasional yang dibutuhkan untuk pelaksanaan proses belajar mengajar secara bermutu. Sistem pengelolaan pendidikan belum sepenuhnya efektif dan efisien. Permasalahan pembangunan IPTEK adalah: (1) belum tersedianya sumberdaya manusia, (2) modal, (3) sarana dan prasarana, (4) informasi tentang penelitian dan pengembangan IPTEK yang cukup sehingga tidak tercapainya ambang kritis aktivitas penelitian dan pengembangan.

•3.      Menjadi berkualitas dan unggul dalam pendidikan

Obsesi kita adalah bagaimana usaha dan karya-karya Gereja menjadikan sekolah Katolik sebagai media: (1) pewartaan kabar gembira tentang kerajaan Allah, (2) mencerdaskan anak bangsa, (3) lebih berpihak kepada orang miskin. Penjelasan:sebagai (1) sekolah yang merupakan media pewartaan kabar gembira tentang kerajaan Allah. Seruan para bapak Gereja mau tidak mau harus didengarkan dan dilaksanakan seperti yang tecantum dalam dokumen Gravissimum Educationis tentang pentingnya sekolah Katolik. Di antara semua sarana pendidikan, sekolah mempunyai bobot khusus. Sekolah harus menjadi media mengembangkan kemampuan bakat-bakat intelektual dengan pewartaan yang tekun, mengembangkan kemampuan nilai yang tepat, mengembangkan kepekaaan terhadap nilai-nilai. Sekolah harus juga menjadi pusat kegiatan dan perkembangan yang harus didukung bersama oleh keluarga, semua warga negara, lembaga keagamaan dan juga oleh negara serta seluruh masyarakat manusia. Gereja dalam mewartakan iman dan memaklumkan “kepada segala zaman tujuan adikodrati, satu-satunya yang memberi arti penuh kepada hidup”. Gereja mendirikan sekolah-sekolah, karena Gereja memandang sekolah sebagai sarana isitimewa untuk memajukan pembentukan manusia seutuhnya, karena sekolah merupakan pusat pengembangan dan penyampaian konsepsi tertentu tentang dunia, manusia dan sejarah. Ditekankan juga oleh bapak konsili bahwa sekolah Katolik merupakan bagian dari tugas penyelamatan Gereja khususnya untuk pendidikan iman. Ciri khas sekolah Katolik adalah mengejar tujuan budaya dan menyelenggarakan pendidikan manusiawi kaum muda, menciptakan lingkungan hidup bersama di sekolah, yang dijiwai oleh semangat Injil, kebebasan dan cinta kasih, dan membantu kaum muda, supaya dalam mengembangkan kepribadian mereka, sekaligus berkembang sebagai ciptaan baru (bdk. GE, 8; Komdik KWI, Sekolah Katolik, 2008)

(2) Mencerdaskan anak bangsa: sekolah Katolik hendaknya menjadi unggul. Unggul dalam pembentukan kepribadian siswa. Maka pengajar di sekolah-sekolah Katolik harus unggul dalam pengajaran dan hidup baik. Guru adalah pengajar yang patut menjadi teladan melalui perilaku dan pengajarannya. Hendaknya para guru sadar bahwa merekalah pelaku utama pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh sebab itu, setiap penyelenggara pendidikan sekolah Katolik baik Keuskupan, tarekat maupun kaum awam kristiani hendaknya memerhatikan guru (pengajar), agar mereka disiapkan dengan baik, diberi penghidupan yang layak, dibina dan didampingi dalam ajaran moral kristiani. Sehingga mereka memiliki pengetahuan baik profan maupun keagamaan yang didukung oleh gelar yang sepadan, diperkaya dengan metodik dan didaktik (seni mendidik-mengajar) sesuai dengan zamannya. Dengan jalan itulah guru-guru sekolah Katolik dapat mencerdaskan anak bangsa sesuai dengan misinya. Untuk dapat mencapai sasaran itu maka Uskup Diosesan berhak untuk mengawasi dan mengunjungi sekolah-sekolah Katolik yang berada di wilayahnya termasuk sekolah-sekolah yang didirikan atau dipimpin oleh anggota-anggota tarekat religius..”(bdk. Kan. 806, §1)

(3) Lebih berpihak kepada orang miskin. Tidak mudah saat ini dalam situasi ekonomi yang tidak menentu dan cenderung buruk, Gereja menyelenggarakan pendidikan sekolah Katolik dengan harga murah. Tapi tetaplah bisa terjadi bahkan harus menjadi perhatian utama Gereja Katolik yakni sekolah Katolik harus lebih melayani orang miskin. Bukan berarti tidak memerhatikan orang kaya. Mereka juga harus mendapat perhatian, hanya orang miskin harus mendapat perhatian utama. Semua anak bangsa terlebih anak-anak Katolik wajib mendapat pendidikan di sekolah Katolik. “Hendaknya para orang tua mempercayakan anak mereka kepada sekolah-sekolah dimana pendidikan Katolik diselenggarakan…”(bdk. Kan. 798). Dengan pernyataan ini mau ditegaskan bahwa kewajiban anak Katolik, diterima di sekolah Katolik, untuk dididik dan diajar oleh guru-guru yang unggul meskipun dia miskin harus menjadi sebuah cita-cita atau mimpi yang menjadi kenyataan. Mengapa pendidikan Katolik tidak bisa murah? Karena sekolah swasta tidak mendapat subsidi yang sama seperti negeri, karena biaya pendidikan dibebankan pada siswa, karena sekolah Katolik tidak memiliki income tetap yang memberikan daya dongkrak untuk membiayai gaji guru, peralatan sekolah, sarana-prasarana gedung dan perangkat lainnya. Tapi apakah kita menyerah dengan soal biaya dibandingkan dengan nilai luhur mendidik anak yang tidak mampu secara ekonomi tapi cerdas dan berkepribadian baik agar menjadi anak bangsa (Gereja) yang unggul dalam pelbagi segi untuk kemajuan negara dan masyarakat? Tidakkah ini karya yang luhur maka dibutuhkan keberanian dan kerja keras semua pihak pengelola sekolah Katolik.

•4.      Tiga pilar kunci agar sekolah Katolik berkualitas

Pertama, Sumber daya manusia (SDM), baik Guru sebagai penentu pendidikan, Penyelenggara pendidikan (Yayasan) maupun siswa sekolah (murid). Sekolah Katolik harus menjadikan “batu-batu yang dibuang itu menjadi batu penjuru bagi Gereja dan Bangsa Indonesia”. Pendidikan di sekolah katolik hendaknya menghasilkan siswa yang berkualitas (knowledgeskill dan attitude) serta memiliki spiritualitas yang dewasa sehingga out put sekolah Katolik dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan anak bangsa.

Kedua, Manajemen. Manajemen adalah seni melaksanakan dan mengatur, menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. R.W. Grifin mendefinisikan sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai tujuan. Sekolah Katolik harus memiliki manajemen yang baik sehingga setiap orang yang terlibat dan berkepentingan bekerja untuk mencapai tujuan sekolah Katolik.

Ketiga, Dana atau uang. Dana perlu untuk mendukung dan memperlancar kegiatan persekolahan. Dana menjadi penopang kehidupan sekolah. Dana yang terhimpun untuk membiayai semua aktivitas di sekolah. Maka setiap sekolah Katolik hendaknya memerhatikan dengan serius perihal pendanaan pendidikan sekolah Katolik. Kini zaman Gereja kaum awam, maka layak dan pantas kaum awam yang unggul dan berkompeten dalam bidang ekonomi (dana) dilibatkan agar sekolah Katolik tetap eksis. Cara pengelolaan yang profesional, akuntabel dan transparan, menjadi bagian penting pengelolaan keuangan sekolah. Kalau kita setuju bahwa sekolah Katolik menjadi: sarana pewartaan kabar baik tentang kerajaan Allah, mencerdaskan anak bangsa dan lebih berpihak kepada orang miskin, maka administrasi keuangan sekolah Katolik harus dibenahi dan menjadi prioritas karya kita. Dana yang terkumpul hendaknya dikelola untuk membantu terselenggaranya pendidikan di sekolah Katolik agar menjadi lebih baik, berkualitas dan unggul dan lebih perhatian kepada orang miskin (prinsip subsidiaritas-solidaritas). Semoga.